Dibuat dengan Semangat Konservasi, Ini 3 Fakta Unik Kopi Owa yang Langka
Selain memiliki hutan tropis yang masih alami, kawasan Hutan Petungkriyono juga punya kuliner unik, salah satunya adalah Kopi Owa. Kopi ini dibudayakan dengan semangat konservasi. Proses panen hingga produksinya masih dilakukan secara tradisional.
Selain memiliki hutan tropis yang masih alami, kawasan Hutan Petungkriyono juga punya kuliner unik, salah satunya adalah Kopi Owa.
Warga Desa Sokokembang, Kecamatan Petungkriyono, mengembangkan usaha Kopi Owa Jawa. Penanaman kopi itu dilakukan langsung di area Hutan Petungkriyono.
-
Kenapa Jaka merantau? Dengan penuh tekad, Jaka pun memutuskan untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah dan mewujudkan semua impian mereka berdua.
-
Kapan Beji Sirah Keteng dibangun? Mengutip Instagram @purbosasongko_dalang, Situs Beji Sirah Keteng dibangun pada masa pemerintahan Raja Sri Jayawarsa.
-
Apa yang diterima Pemprov Jateng dari Balai Bahasa? Pada Kamis (10/8), Pemprov Jateng menerima hibah dari Balai Bahasa berupa bangunan gedung permanen dan perangkatnya.
-
Bagaimana cara membuat Jenang Saren? Mengutip Kemdikbud.go.id, bahan utama yang digunakan untuk membuat jenang saren adalah tepung ketan dan gula jawa.
-
Kenapa Candi Jago dibangun? Sejarah Candi Jago dibangun atas inisiasi Raja Kertanegara untuk menghormati mendiang sang ayah, Raja Sri Jaya Wisnuaedhana (1248-1268).
-
Bagaimana cara membuat kue jipang? Berasnya dimasukkan ke situ,” ungkap pemilik kanal YouTube Brent Sastro sembari menunjuk sebuah alat pemanas yang dihubungkan ke gas elpiji. Di sebelahnya, tampak sebuah wajan berisi air gula yang dicampur minyak sedang dipanaskan.
Pada zaman Belanda, area hutan Petungkriyono bagian Desa Sokokembang dimanfaatkan sebagai perkebunan kopi. Namun alih-alih melanjutkan membudidayakan kopi, saat Belanda pergi para warga justru memburu Owa Jawa yang dianggap lebih memiliki nilai jual.
Namun seiring waktu mereka sadar bahwa habitat Owa Jawa harus dijaga. Berkat bantuan dari lembaga penelitian dari Yogyakarta, budidaya kopi kembali dihidupkan.
Lantas apa yang membedakan Kopi Owa dibanding kopi lainnya? Berikut selengkapnya:
Awal Budi Daya Kopi Owa
©YouTube/SwaraOwa
Dikutip dari kanal YouTube SwaraOwa, kebangkitan kembali Kopi Owa dimulai bersamaan saat konservasi Owa Jawa mulai digalakkan, tepatnya pada tahun 2007. Pada saat itu, perburuan Owa Jawa masih begitu marak.
Tahun 2010, para peneliti muda bersama para penggiat konservasi dari UGM mulai mengembangkan proyek pemberdayaan masyarakat sekitar hutan yang berfokus pada kopi. Pemberian nama “Owa” itu dimaksudkan bahwa selain bernilai ekonomis, penjualan produk kopi itu secara langsung juga turut berperan serta pada pelestarian hewan langka asli Pulau Jawa itu.
Tumbuh Liar di Hutan
©YouTube/SwaraOwa
Berbeda dengan kebanyakan kopi yang memiliki ladang pertaniannya sendiri, tanaman Kopi Owa dibiarkan tumbuh liar di hutan. Kopi ini tumbuh pada ketinggian 250-900 mdpl dan memiliki empat jenis, yaitu robusta, excelsa, liberika, dan arabika. Dari keempat jenis itu, yang paling banyak ditemui adalah kopi jenis robusta.
Karena tumbuh liar tanpa pupuk dan pestisida, Kopi Owa tergolong kopi organik. Hasil biji kopi dipanen dan diolah secara tradisional oleh masyarakat yang juga turut mempertahankan fungsi hutan sebagai habitat Owa Jawa.
Perkembangan Kopi Owa
©YouTube/SwaraOwa
Dikutip dari Wikipedia, produksi Kopi Owa dikelola oleh kelompok konservasi Swara Owa. Sebagian dari keuntungan penjualan kopi ini digunakan untuk kemaslahatan alam dan Owa Jawa. Karena masih dikelola secara tradisional, produksinya pun menjadi terbatas.
Masyarakat dan pihak swasta pun dilarang untuk membuka lahan kebun kopi baru. Meski demikian para pebisnis kopi tertarik untuk mengembangkan kebun kopi baru yang berpotensi mengancam habitat Owa Jawa.
Seiring berkembangnya waktu, keberadaan Kopi Owa ini mulai dikenal luas. Bahkan pada Oktober 2022 lalu, produk Kopi Owa ini merupakan salah satu produk yang dikenalkan di acara Malioboro Coffee Night Festival. Untuk 100 gramnya, kopi ini dijual Rp15.000 untuk robusta dan Rp20.000 untuk arabika.