Kasus COVID-19 di Pesantren Jateng Bak Fenomena Gunung Es, Ini Penjelasannya
Di Provinsi Jawa Tengah, klaster pesantren menjadi penyumbang terbesar kasus COVID-19. Walaupun begitu, penanganan kasus di sana masih belum berjalan optimal. Bahkan pengurus Nadlatul Ulama (NU) Jawa Tengah menyebut kasus COVID-19 di pondok pesantren bagaikan fenomena gunung es yang tak dapat diperhitungkan.
Di Provinsi Jawa Tengah, klaster pesantren menjadi penyumbang terbesar kasus COVID-19. Walaupun begitu, penanganan kasus di sana masih belum berjalan optimal. Bahkan Sekretaris Pengurus Wilayah (PW) Rabithah Ma’adhid Islamyah Nadlatul Ulama (RMINU) Jateng, K.H. Abu Choir menyebut serangan COVID-19 di pondok pesantren bagaikan fenomena gunung es yang tak dapat diperhitungkan.
Bahkan Abu menjelaskan bahwa masih banyak pesantren lain yang sampai saat ini masih tertutup jika di lingkungannya ditemukan kasus COVID-19. Padahal, kunci penanganan COVID-19 harus dilakukan dari kalangan pesantren itu sendiri.
-
Kenapa Jaka merantau? Dengan penuh tekad, Jaka pun memutuskan untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah dan mewujudkan semua impian mereka berdua.
-
Kapan Beji Sirah Keteng dibangun? Mengutip Instagram @purbosasongko_dalang, Situs Beji Sirah Keteng dibangun pada masa pemerintahan Raja Sri Jayawarsa.
-
Apa yang diterima Pemprov Jateng dari Balai Bahasa? Pada Kamis (10/8), Pemprov Jateng menerima hibah dari Balai Bahasa berupa bangunan gedung permanen dan perangkatnya.
-
Bagaimana cara membuat Jenang Saren? Mengutip Kemdikbud.go.id, bahan utama yang digunakan untuk membuat jenang saren adalah tepung ketan dan gula jawa.
-
Kenapa Candi Jago dibangun? Sejarah Candi Jago dibangun atas inisiasi Raja Kertanegara untuk menghormati mendiang sang ayah, Raja Sri Jaya Wisnuaedhana (1248-1268).
-
Bagaimana cara membuat kue jipang? Berasnya dimasukkan ke situ,” ungkap pemilik kanal YouTube Brent Sastro sembari menunjuk sebuah alat pemanas yang dihubungkan ke gas elpiji. Di sebelahnya, tampak sebuah wajan berisi air gula yang dicampur minyak sedang dipanaskan.
“Pesantren cenderung tertutup itu karena dua sebab. Pertama, masih ada stigma negatif kalau COVID-19 itu aib. Selain itu ada ketakutan pesantren harus tutup kalau ada kasus COVID-19,” kata Abu dikutip dari Liputan6.com pada Minggu (25/10). Berikut selengkapnya:
Satgas Sulit Masuk Pesantren
©2020 liputan6.com
Menurut Abu, selama ini petugas Satgas COVID-19 mengalami kesulitan dalam melakukan peninjauan di pesantren. Baginya, kesulitan itu terjadi karena kurangnya koordinasi antara pemerintah dengan pesantren. Hal inilah yang membuat mereka kemudian menutup diri. Padahal, sejauh ini sudah ada 12 pondok pesantren di Jateng yang terpapar COVID-19. Dari tiap pesantrennya, bahkan total kasus positif mencapai ratusan.
Berkaca dari kenyataan itu, Abu berharap para pengasuh pondok pesantren lebih terbuka dan berkoordinasi dengan pemangku wilayah dalam melakukan penanganan. Apalagi, saat ini klaster pesantren menjadi penyumbang terbanyak klaster COVID-19 di Jawa Tengah.
Pesantren Jangan Takut
©2020 liputan6.com
Dari delapan klaster di Jawa Tengah, klaster pesantren menjadi yang terbanyak dalam menyumbang kasus COVID-19. Per 15 Oktober, kasusnya mencapai 854 orang. Walaupun begitu, Staf Ahli Satgas COVID-19 Jateng Budi Laksono meminta agar pesantren jangan takut dan lebih terbuka dalam menangani pandemi COVID-19.
“Satgas berharap pada semua orang di komunitas termasuk di pondok pesantren untuk biasa menjalankan protokol kesehatan 3M (mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak). Memang ini perilaku baru tapi bukan berarti mengubah budaya kita, terutama untuk hormat pada kiai. Saya rasa kalau nggak cium tangan dengan kiai, pahala kita nggak akan berkurang kok,” kata Budi dikutip dari Liputan6.com pada Minggu (25/10).