Kisah Perjalanan Pak Heru, Pria Asal Semarang yang Jadi Musafir Selama 13 Tahun
Telah 13 tahun Pak Heru menjalani hidup sebagai seorang musafir. Kepada Adi Sinau Hurip, Pak Heru membagikan kisah perjalanannya sebagai seorang musafir. Di sana ia mengaku banyak mengambil pelajaran hidup.
Saat ditemui Adi Sinau Hurip, Pak Heru tampak sedang beristirahat pada sebuah bangunan yang tidak terpakai. Biasanya tempat itu digunakan para musafir tanah Jawa untuk beristirahat. Pak Heru merupakan salah seorang musafir yang berasal dari Semarang.
Sebelumnya, Pak Heru mengaku memilih jadi musafir karena terinspirasi dari para Wali Songo, terutama Sunan Kalijaga.
-
Kenapa Jaka merantau? Dengan penuh tekad, Jaka pun memutuskan untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah dan mewujudkan semua impian mereka berdua.
-
Kapan Beji Sirah Keteng dibangun? Mengutip Instagram @purbosasongko_dalang, Situs Beji Sirah Keteng dibangun pada masa pemerintahan Raja Sri Jayawarsa.
-
Apa yang diterima Pemprov Jateng dari Balai Bahasa? Pada Kamis (10/8), Pemprov Jateng menerima hibah dari Balai Bahasa berupa bangunan gedung permanen dan perangkatnya.
-
Bagaimana cara membuat Jenang Saren? Mengutip Kemdikbud.go.id, bahan utama yang digunakan untuk membuat jenang saren adalah tepung ketan dan gula jawa.
-
Kenapa Candi Jago dibangun? Sejarah Candi Jago dibangun atas inisiasi Raja Kertanegara untuk menghormati mendiang sang ayah, Raja Sri Jaya Wisnuaedhana (1248-1268).
-
Bagaimana cara membuat kue jipang? Berasnya dimasukkan ke situ,” ungkap pemilik kanal YouTube Brent Sastro sembari menunjuk sebuah alat pemanas yang dihubungkan ke gas elpiji. Di sebelahnya, tampak sebuah wajan berisi air gula yang dicampur minyak sedang dipanaskan.
“Kalau saya melihat para Wali Songo, itu syi’ar agama Islam tidak dilakukan di dalam masjid, tapi di jalan. Artinya ada apa di situ, ada rahasia apa? Terutama Sunan Kalijaga. Itu yang ingin saya buka. Ternyata setelah saya dalami, memang ada kenikmatan dan kelebihannya sendiri. Kenikmatannya, sepi. Jadi kita bisa fokus. Terus kalau kelebihannya, tidak banyak aturan di masjid, apalagi waktu pandemi pergi ke masjid saja nggak boleh,” kata Pak Heru dikutip dari kanal YouTube Sinau Hurip pada Sabtu, 1 Oktober 2022.
Pada kesempatan itu, Pak Heru berbagi ceritanya selama menjalani hidup sebagai seorang musafir. Seperti apa kisahnya? Berikut selengkapnya:
Perjalanan ke Ujung Kulon
©Liputan6.com/Angga Yuniar
Pak Heru menceritakan pengalaman paling menakutkan selama ia menjadi musafir. Waktu itu ia menempuh perjalanan ke Ujung Kulon. Ia hendak mengunjungi makam salah seorang wali bernama Sang Hyang Sirah.
Ia mengatakan, makam itu letaknya persis di pinggir laut. Dalam perjalanan ke makam yang terletak di ujung barat pulau Jawa itu, ia mengaku sering bertemu badak bercula satu.
“Ke sana itu saya bawa bekal. Tapi kalau misal kehabisan ya saya makan seadanya. Misalnya daun-daunan. Jangankan di hutan, di jalan saja sering kehabisan,” ujar Pak Heru sambil tertawa.
Pak Heru mengatakan, dalam perjalanan ke Ujung Kulon itu ia merasa senang, karena ia sudah meniatkan diri sejak awal untuk menuju ke sana. Menurutnya segala hambatan yang ia jumpai selama perjalanan merupakan hal yang biasa.
Berteman dengan Sepi
©ehiyo.com
Sudah 13 tahun Pak Heru menjalani hidup sebagai musafir. Rencananya, ia akan menjadi musafir setelah 15 tahun dan setelah itu kembali ke masyarakat.
Dalam setiap perjalanannya, Pak Heru berjalan sendiri dan sering merasa kesepian. Namun baginya, kesepian adalah teman akrab.
Ia pun mengatakan kalau jadi musafir itu sebenarnya banyak tidak enaknya, salah satunya dianggap orang gila. Namun baginya, menjadi musafir adalah sebuah pilihan hidup.
“Kalau dibilang gitu, kita sakit hati ya nggak ada manfaatnya. Pokoknya diterima saja apa adanya,” kata Pak Heru dikutip dari kanal YouTube Sinau Hurip.
Tidak Memaksakan Diri
©YouTube/Sinau Hurip
Dalam menjalani ritual hidup sebagai seorang musafir, Pak Heru tak mau menyiksa diri. Salah satu contohnya, selama menjadi musafir ia mengaku belum pernah tidur di bawah jembatan karena ada tempat lain yang lebih layak dan diizinkan oleh pemiliknya.
“Bukannya saya tidak mau tidur di sana, hanya saja saya berpikir kenapa harus menyiksa diri. Kita kan punya akal. Yakin harus, tapi akal juga harus tetap dijalankan. Kalau dipaksakan malah mudharat,” kata Pak Heru.