Rumah Kayu di Semarang Ini Jadi Saksi Bisu Sengitnya Pertempuran Melawan Penjajah, Ini Kisah di Baliknya
Pada dinding-dinding rumah itu masih terdapat lubang-lubang bekas peluru yang ditembakkan pada saat perang meletus.
Di kawasan Jalan Syuhada, Kota Semarang, ada sebuah rumah bersejarah yang menjadi saksi bisu sengitnya pertempuran pada zaman revolusi kemerdekaan tahun 1946. Pada dinding-dinding rumah itu masih terdapat lubang-lubang bekas peluru yang ditembakkan pada saat perang meletus. Diketahui sebanyak 74 anggota laskar pejuang gugur dalam peristiwa tersebut.
Mengutip ANTARA, rumah itu beralamat di Kampung Bugen, RT 05/RW 22, Kelurahan Tlogosari Kulon, Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang. Rumah itu terbuat dari kayu dan berbentuk limasan. Walaupun peristiwa itu sudah lama berlalu, di dinding kayu rumah itu masih banyak ditemukan bekas peluru.
-
Kapan rumah peristirahatan tersebut diduga digunakan? Bangunan ini diduga pernah digunakan untuk menampung sementara pasukan Mesir kuno dan juga firaun, selama kekuasaaan Thutmose III atau dari tahun 1479 sampai 1425 SM.
-
Mengapa Gereja Sidang Kristus di Sukabumi menjadi bangunan bersejarah? Jam sejenis ini kabarnya hanya ada dua di Indonesia, yaitu di Sukabumi dan Bukittinggi, sehingga gereja memiliki nilai historis yang kuat dan menarik untuk disimak.
-
Apa itu teras rumah klasik Jawa? Desain teras rumah klasik Jawa memiliki pesona unik yang menggabungkan keindahan estetika dengan kenyamanan fungsional. Menggunakan material alami yang ramah lingkungan, desain ini menonjolkan elemen seperti ukiran kayu yang rumit, tata letak simetris, dan pemanfaatan ruang terbuka yang efisien. Kombinasi ini menciptakan kesan harmonis dan alami yang sulit ditandingi oleh desain modern lainnya.
-
Kenapa rumah tersebut digunakan sebagai tempat persembunyian? Bapak sama ibu saya hatinya murni Republik. Jadi bapak ibu saya bermuka dua, harus baik sama penjajah tapi juga melindungi tentara republik
-
Apa itu Rumah Panjai? Secara tradisional, mereka tinggal di sebuah rumah kayu yang bentuknya memanjang. Mereka menyebutnya rumah panjai atau betang.
-
Apa itu rumah pintar? Melansir Investopedia, rumah pintar merujuk pada pengaturan rumah yang nyaman di mana peralatan dan perangkat dapat dikontrol secara otomatis atau dari jarak jauh dengan koneksi internet dan menggunakan perangkat seluler atau perangkat lain yang terhubung jaringan.
Lantas seperti apa sejarah rumah tua itu? Berikut selengkapnya:
Masih Asli
Ketua RT 05/RW 11 Kampung Bugen, Ponidi, menceritakan bahwa rumah tersebut adalah milik Haji Mustofa yang kemudian diwariskan kepada anak bungsunya, Musriatun. Ponidi adalah menantu Musriatun yang saat ini masih tinggal di rumah tersebut.
Walaupun dari luar lubang bekas peluru masih banyak ditemukan, dari dalam rumah bekas itu sudah tidak ditemukan lagi karena sudah ditambal dari dalam pada saat renovasi.
“Rumah ini masih asli. Dulu pernah direnovasi dengan cara ditempel kayu dari dalam. Kalau di luar masih dibiarkan asli seperti itu. Biar sejarahnya tidak hilang,” ujar Ponidi dikutip dari ANTARA pada Rabu (14/8).
Saksi Peristiwa Bersejarah
Rumah itu menjadi saksi peristiwa pertempuran yang terjadi di Semarang pada tahun 1946. Saat itu perkampungan telah dikosongkan dan warga mengungsi ke daerah Grobogan.
- Pesan Terakhir pada Kasus Penemuan Kerangka di Bandung: Aku Bawa Sampai Mati Semua Janji Manismu
- Residivis Tembak Kucing di Semarang Gara-Gara Kesal Sering Buang Kotoran di Rumahnya
- Menyusuri Bekas Rumah Pemotongan Hewan Peninggalan Belanda di Semarang, Kini Kondisinya Angker dan Terbengkalai
- Sederhana Berlapis Kayu & Berlantai Semen Namun Kini Hangus dan Jadi Abu, Ini 8 Potret Rumah Masa Kecil Fikoh LIDA Sebelum Terbakar
Pada saat perang itu, rumah tersebut menjadi markas 74 orang pejuang, 72 dari Laskar Sabilillah dan 2 orang dari Laskar Hizbullah. Mereka menjadikan rumah itu markas karena kondisinya kosong.
Namun Belanda mengetahui letak markas itu dan memborbardir rumah tersebut dengan senjata mitraliur dan tekidanto. Hujaman peluru dari Belanda membuat semua pejuang gugur di rumah tersebut.
Dikubur di Samping Rumah
Belanda kemudian mengubur mereka semua dalam satu lubang yang berada di depan rumah. Pemerintah kemudian memindahkan jasad mereka ke samping rumah dan membuatkan sebuah monumen berbentuk joglo untuk mengenang para pahlawan tersebut.
Pada tahun 1960, makam itu dibongkar lagi dan jasad para pejuang itu dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Giri Tunggal. Namun hanya 40 kerangka yang dipindahkan.
Di antara nama-nama pejuang yang gugur di tempat itu adalah Kiai Anwar dari Solo, Kiai Tohar dari Boyolali, Kiai Sarju dari Kepatihan Solo, Hasan Anwar sebagai pimpinan Sabilillah, dan Subakir sebagai pimpinan Hizbullah.
Jadi Tempat Ziarah
Selama ini, banyak masyarakat yang berziarah ke tempat tersebut. Masyarakat sekitar juga rutin menggelar haul pada tanggal 11 Muharram atau minggu kedua pada bulan Muharram.
Menjelang HUT ke-79 Republik Indonesia, Ponidi berharap keberadaan itu mendapat perhatian dari pemerintah. Apalagi plafon rumah sudah banyak yang jebol dan beberapa genting hilang. Rumah itupun sudah berkali-kali tergenang banjir.
“Bisa dilihat sendiri, sudah banyak yang rusak. Kalau kayu jatinya ini butuh perawatan. Kami berharap pemerintah memberikan perhatian,” pungkasnya dikutip dari ANTARA.