Toxic Masculinity Adalah Tekanan Budaya Perilaku Pria, Ketahui Dampaknya
Toxic masculinity adalah suatu tekanan budaya bagi kaum pria untuk berperilaku dengan cara tertentu. Toxic masculinity ini dikaitkan dengan nilai-nilai yang dianggap harus ada dalam diri seorang pria. Di mana pria harus kuat, tidak boleh lemah, harus bisa menjaga, harus memiliki kuasa.
Dalam budaya Indonesia, tentu Anda sudah pernah mendengar berbagai aturan yang biasanya ditujukan pada pria. Misalnya seorang pria atau anak laki-laki harus kuat atau tidak boleh menangis sekalipun mengalami hal sedih. Bukan hanya itu, laki-laki sering kali dianggap harus bisa menyelesaikan masalah seorang diri tanpa menerima bantuan.
Tampaknya, anggapan semacam ini masih berlaku di masyarakat, termasuk Indonesia. Bahwa laki-laki harus berperilaku sesuai dengan anggapan tersebut agar diterima dan dianggap normal di masyarakat. Namun sebagian orang menganggap konsep ini kurang tepat dan justru akan menimbulkan banyak dampak bagi kesehatan mental laki-laki.
Orang yang mengkritisi anggapan ini biasa menyebutnya dengan istilah toxic masculinity.
-
Apa yang diterima Pemprov Jateng dari Balai Bahasa? Pada Kamis (10/8), Pemprov Jateng menerima hibah dari Balai Bahasa berupa bangunan gedung permanen dan perangkatnya.
-
Kenapa Jaka merantau? Dengan penuh tekad, Jaka pun memutuskan untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah dan mewujudkan semua impian mereka berdua.
-
Kenapa bantuan pangan diberikan di Jateng? “Bantuan ini sebagai bentuk kepedulian dan perhatian pemerintah kepada masyarakat. Hingga saat ini masih banyak masyarakat yang masih membutuhkan,” kata Nana.
-
Siapa yang mengingatkan masyarakat untuk tetap waspada terhadap bencana kekeringan di Jateng? Namun Pak Suharyanto mengingatkan masyarakat bahwa meski tidak ada dampak El Niño, namun bencana kekeringan di Jawa Tengah masih mungkin terjadi, sehingga tetap perlu waspada.
-
Siapa yang menerima bantuan pangan di Jateng? Ada sebanyak 3.583.000 keluarga penerima manfaat di Jawa Tengah yang bakal menerima bantuan tersebut.
-
Bagaimana warga Jateng merayakan kemenangan Timnas Indonesia? Setelah pertandingan selesai, mereka larut dalam euforia. Beberapa warga menyalakan kembang api untuk merayakan kemenangan bersejarah itu.
Toxic masculinity adalah suatu tekanan budaya bagi kaum pria untuk berperilaku dengan cara tertentu. Toxic masculinity ini dikaitkan dengan nilai-nilai yang dianggap harus ada dalam diri seorang pria. Di mana pria harus kuat, tidak boleh lemah, harus bisa menjaga, harus memiliki kuasa, dan tidak boleh menunjukkan perasaan tertentu seperti menangis.
Jika hal ini terus diterapkan dalam kehidupan masyarakat, maka kaum laki-laki tidak bisa hidup dengan apa adanya. Terdapat beban sosial dan budaya yang harus diperankan, meskipun dalam kondisi tertentu seorang laki-laki tidak bisa melakukan hal tersebut. Dengan begitu, masyarakat perlu memahami apa yang dimaksud dengan toxic masculinity.
Melansir dari situs Verywell Mind, kami merangkum beberapa informasi mengenai toxic masculinity adalah sebagai berikut.
Mengenal Toxic Masculinity
©2019 Merdeka.com/Pixabay
Untuk mengetahui konsep toxic masculinity yang pertama bisa dipahami melalui pengertiannya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa toxic masculinity adalah sebuah tekanan budaya bagi laki-laki untuk berperilaku dengan cara tertentu. Dalam hal ini, muncul standar bahwa pria perlu bertindak tegas dan tidak boleh menunjukkan semua emosi yang bisa dirasakannya.
Bukan hanya itu, budaya toxic masculinity yang ada di masyarakat juga dikaitkan dengan nilai-nilai tertentu yang dianggap harus ada pada diri seorang laki-laki. Berikut beberapa nilai yang dianggap mencerminkan sikap pria yang maskulin:
- Ketangguhan: Ini adalah gagasan bahwa pria harus kuat secara fisik, tidak berperasaan, dan berperilaku agresif.
- Antifeminin: Ini melibatkan gagasan bahwa pria harus menolak apa pun yang dianggap feminin, seperti menunjukkan emosi atau menerima bantuan.
- Kekuasaan: Ini adalah asumsi bahwa laki-laki harus bekerja untuk mendapatkan kekuasaan dan status (sosial dan finansial) sehingga mereka dapat dihormati oleh orang lain.
Beberapa nilai dasar tersebut berkembang di masyarakat sehingga terbangun standar budaya dan sosial yang harus diperankan oleh seorang laki-laki. Dalam hal ini, banyak kritik yang menyatakan bahwa laki-laki tidak harus memunuhi dan melakukan semua nilai-nilai tersebut.
Jika hal ini terus berlaku di masyarakat, tentu dapat mengurangi kesempatan yang sama bagi pria untuk berperilaku apa adanya. Sebab, dalam berbagai macam keadaan mungkin pria tidak bisa berperilaku seperti yang diharapkan masyarakat, dan itu merupakan suatu hal yang wajar sebagai manusia.
Sebuah Kebiasaan yang Tidak Sehat
Dikatakan, toxic masculinity adalah suatu kebiasaan yang tidak sehat. Dalam hal ini, seorang laki-laki yang dianggap maskulin harus mempunyai tubuh atau fisik yang kuat dan tidak lemah. Akibatnya, hal ini akan memberikan tekanan tersediri bagi laki-laki untuk memenuhi nilai tersebut. Bahkan laki-laki juga memiliki kecenderungan untuk memaksakan diri secara fisik agar menjadi kuat.
Tidak heran, jika sebagian pria kemudian enggan pergi ke dokter ketika tubuh atau fisiknya sedang sakit. Sebab, mengunjungi dokter untuk pemeriksaan fisik tahunan, misalnya, bertentangan dengan keyakinan beberapa pria tentang ketangguhan. Selain menghindari pengobatan, toxic masculinity juga mendorong terjadinya perilaku tidak sehat.
Sebuah studi tahun 2007 menemukan bahwa semakin banyak pria menyesuaikan diri dengan norma maskulin, semakin besar kemungkinan mereka untuk terlibat dalam perilaku berisiko, seperti minum minuman keras , menggunakan tembakau, dan menghindari sayuran.
Stigma Kesehatan Mental
©Shutterstock/Yuri Arcurs
Selain suatu kebiasaan yang tidak sehat, toxic masculinity adalah suatu budaya yang dapat memberikan stigma kesehatan mental bagi pria. Dalam hal ini, toxic masculinity juga membuat pria enggan mendapatkan perawatan kesehatan mental seperti gangguan depresi, masalah kecemasan, dan yang lainnya. Sebab, hal ini dianggap sebagai suatu kelemahan yang bertentangan dengan nilai-nilai maskulinitas yang dibangun di masyarakat.
Bukan hanya itu, toksik maskulinitas mungkin juga menekankan bahwa pria tidak pantas membicarakan perasaan mereka. Menghindari percakapan tentang masalah atau emosi dapat meningkatkan perasaan terisolasi dan kesepian. Bukan hanya meningkatkan perasaan kesepian, hal ini juga mengurangi kesempatan pria untuk mendapatkan bantuan saat mengalami masalah kesehatan mental.
Perilaku Membantu
Selain memberikan dampak pada kesehatan mental, toxic masculinity adalah suatu tekanan budaya yang dapat membatasi perilaku pria dalam hal tolong menolong. Pria yang menganggap dirinya lebih maskulin cenderung tidak terlibat perilaku menolong. Itu berarti pria tidak akan campur tangan ketika mereka menyaksikan penindasan atau melihat seseorang diserang.
Sebuah studi tahun 2019 menemukan bahwa maskulinitas beracun dapat mencegah pria menghibur korban, meminta bantuan, dan membela pelaku. Pria yang mendukung keyakinan bahwa pria harus kuat dan agresif lebih cenderung melihat konsekuensi sosial negatif yang terkait dengan campur tangan sebagai pengamat aktif. Bukan hanya itu, dalam kasus kekerasan seksual, pria yang paling mengidentifikasi perilaku maskulin cenderung tidak menghentikan serangan tersebut.