6 Februari 1925: Lahirnya Pramoedya Ananta Toer, Sastrawan Legendaris Indonesia
Siapa tak kenal dengan Pramoedya Ananta Toer? Pram, begitu sosoknya seringkali disapa, adalah seorang sastrawan terbesar dan berpengaruh asal Indonesia. Karya-karyanya sangat fenomenal, dan masih digandrungi hingga saat ini. Berikut kisah hidupnya.
Siapa tak kenal dengan Pramoedya Ananta Toer? Pram, begitu sosoknya seringkali disapa, adalah seorang sastrawan terbesar dan berpengaruh asal Indonesia. Karya-karyanya sangat fenomenal, dan masih digandrungi hingga saat ini. Mempelajari sastra Indonesia tak akan afdol tanpa menyebut dan membedah tulisannya.
Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, 6 Februari 1925, tepat hari ini 97 tahun yang lalu. Ia adalah putra sulung dari delapan bersaudara. Ayah Pram adalah seorang guru, sementara ibunya adalah putri dari seorang petinggi agama terkemuka di Rembang. Perpaduan ini membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang unik.
-
Siapa yang menarik Pramono Anung ke hadapan Prabowo Subianto? Ketua DPR RI sekaligus Ketua DPP PDIP Puan Maharani, terekam dalam kamera saat dirinya menarik bakal calon gubernur Jakarta Pramono Anung ke hadapan presiden terpilih Prabowo Subianto.
-
Bagaimana Prabowo Subianto merasakan pengalaman menjadi penerbang? "Saya barusan mendapat kehormatan, saya ikut dalam suatu penerbangan yang sebenarnya sangat singkat, tapi bagi saya pengalaman luar biasa," katanya.
-
Siapa yang bertemu dengan Prabowo dan Anies Baswedan? Susi Pudjiastuti mencuri perhatian publik setelah melakukan pertemuan dengan Prabowo dan Anies Baswedan.
-
Bagaimana Prajogo Pangestu menjadi orang terkaya di Indonesia? Forbes menuliskan, kekayaan mantan sopir Angkot itu bersumber dari usaha di sektor Petrokimia. Selain itu, kekayaan orang nomor satu di Indonesia tersebut juga berasal dari bisnis di sektor pertambangan.
-
Apa yang ditolak mentah-mentah oleh Prabowo Subianto? Kesimpulan Prabowo lawan perintah Jokowi dan menolak mentah-mentah Kaesang untuk menjadi gubernur DKI Jakarta adalah tidak benar.
-
Apa yang terjadi saat Pramono Anung dan Puan Maharani bertemu dengan Prabowo Subianto? Ketua DPR RI sekaligus Ketua DPP PDIP Puan Maharani, terekam dalam kamera saat dirinya menarik bakal calon gubernur Jakarta Pramono Anung ke hadapan presiden terpilih Prabowo Subianto.
Saat remaja, Pram pergi ke Jakarta dan bekerja sebagai juru ketik di bawah pendudukan Jepang selama Perang Dunia II. Pada tahun 1945 ketika Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya dan memberontak melawan kekuasaan kolonial Belanda, ia bergabung dengan kaum nasionalis, bekerja di radio dan memproduksi majalah berbahasa Indonesia.
Ia lantas ditangkap oleh pihak berwenang Belanda pada tahun 1947. Novel pertamanya yang berjudul Perburuan terbit pada tahun 1950. Karyanya itu menceritakan tentang pelarian seorang pemberontak anti-Jepang kembali ke rumahnya di Jawa. Berikut kisah hidup sang sastrawan legendaris Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.
Latar Belakang Keluarga
Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, 6 Februari 1925, sebagai putra sulung dari pasangan guru dan putri seorang petinggi keagamaan di Rembang. Ibunya adalah murid ayahnya di sekolah dasar pemerintah Hindia Belanda HIS atau Holandse Indische School, mengutip dari publikasi undip.ac.id.
Pada saat orangtuanya menikah, ibunya baru berusia 18 tahun dan ayahnya 32 tahun. Setelah pernikahan tersebut, ayahnya meninggalkan pekerjaannya untuk mengajar di sekolah swasta nasionalis Boedi Oetomo di Blora. Gajinya turun sangat drastis dari 200 gulden menjadi 18 gulden saat menjadi kepala sekolah di institusi pendidikan pribumi tersebut.
Ayah Pram bernama Mastoer yang kemudian akrab disapa Toer, dan ibunya bernama Siti Saidah. Ayah Pram merupakan keturunan priyayi Jawa yang berasal dari Kediri Jawa Timur. Sedang ibunya, Saidah, berasal dari keluarga santri di Rembang Jawa Tengah. Ayah Saidah adalah seorang penghulu.
Latar belakang dan kultur ibu Pram yang santri sangat berbeda dengan kultur ayahnya. Mastoer bercorak kejawen dan dalam beberapa hal percaya pada kepercayaan pagan. Bila dilihat maka Pram dari geneologisnya merupakan percampuran antara kultur santri dan kejawen. Perbedaan ini bukan hanya dalam keyakinan, melainkan juga dalam ranah sosial dan budaya.
Perjalanan Pendidikan
Pram menamatkan pendidikan sekolah dasarnya di Institut Boedi Oetomo di Blora. Kemudian ia melanjutkan pendidikan ke Sekolah Teknik Radio Surabaya (Radio Volkschool Surabaya) selama satu setengah tahun.
Ia tidak memiliki ijazah dari sekolah ini karena ijazah yang dikirimkannya ke Bandung untuk disahkan tidak pernah diterima kembali akibat kedatangan Jepang ke Indonesia pada awal tahun 1942.
Melansir dari ensiklopedia.kemdikbud.go.id, pada Mei 1942 Pramoedya Ananta Toer meninggalkan Rembang dan Blora untuk pergi ke Jakarta. Ia bekerja di Kantor Berita Domei.
Sambil bekerja, ia mengikuti pendidikan di Taman Siswa (1942—1943), kursus di Sekolah Stenografi (1944—1945) lalu menempuh kuliah di Sekolah Tinggi Islam Jakarta (1945) untuk mata kuliah Filsafat, Sosiologi, dan Sejarah.
Pada Agustus 1945, saat kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, dirinya sedang berada di Kediri. Setahun setelahnya, yakni tahun 1946 ia ikut menjadi prajurit resmi sampai mendapat pangkat Letnan II Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang ditempatkan di Cikampek, dengan sekutu Front Jakarta Timur.
Ia ditahan untuk pertama kalinya pada tahun 1947, tahun ketika dia menulis novel pertamanya, Perburuan (The Fugitive). Pembebasan datang dengan penarikan Belanda pada tahun 1949 dan ia menghabiskan sebagian besar tahun 1950-an bepergian ke luar negeri, pertama di Belanda dan kemudian di Uni Soviet dan Cina.
Karya dan Akhir Hidup
Perjalanan yang ia lakukan membuatnya menjadi lebih kiri dan anti-Jawa di surat kabar dan tulisan lainnya. Pram mengedit bagian dari surat kabar sayap kiri dan mengajar di sekolah jurnalisme di Jakarta.
Pada tahun 1950-1951 Pram bekerja sebagai redaktur Balai Pustaka dan menerima hadiah sastra dari Balai Pustaka atas novelnya yang berjudul Perburuan. Pada tahun yang sama ia menikah dengan wanita yang sering datang ke penjara, Husni Thamrin.
Di tahun berikutnya ia kemudian mendirikan Literary and Fitures Agency Duta hingga tahun 1954. Pram juga berselisih dengan pemerintah Presiden Sukarno sedemikian rupa pada tahun 1960 sehingga ia dipenjara selama sembilan bulan. Lima tahun kemudian terjadi kudeta yang gagal dan pemenjaraan lebih lanjut.
Skala penderitaan semasa ia ditahan di pulau Buru akhirnya terungkap melalui The Mute's Soliloquy, sebuah karya otobiografi yang diterbitkan beberapa dekade kemudian dengan banyak insiden yang ditulis pada secarik kertas yang diselundupkan oleh seorang imam Katolik yang simpatik.
Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun masih dapat menyusun serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, yang adalah 4 seri novel semi-fiksi sejarah Indonesia yang menceritakan perkembangan nasionalisme Indonesia dan sebagian berasal dari pengalamannya sendiri saat tumbuh dewasa.
Novel semi-fiksi lainnya, Gadis Pantai, ditulis berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995) dan Arus Balik (1995). Ia juga menulis buku berjudul Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi mengenai para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang.
Sementara Pramoedya dapat bertahan dari diktator dan penahanan, ia tidak dapat mengatasi penyakit yang dipicu oleh keterikatannya pada rokok kretek. Kesehatannya mulai memburuk dan ia menghembuskan napas terakhir pada 30 April 2006 di umur 80 tahun.