Mengintip Kediri Ratusan Tahun Lalu Melalui Cagar Alam Manggis Gn. Kluet Gadungan
Selain Cagar Alam Manggis Gadungan, cagar alam lainnya di Kabupaten Kediri yakni Cagar Alam Besowo Gadungan di Kecamatan Kepung. Dua cagar alam yang memiliki fungsi esensial di Kediri ini, sayangnya memang tidak terlalu kentara keberadaannya.
Tahun 1919 seorang Houtvester (Pejabat Kehutanan) dari Belanda, Sijfert Hendrik Koorders berhasil membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda akhirnya menetapkan sejumlah cagar alam sebanyak 55 lokasi di seluruh Indonesia.
Tujuh tahun sebelumnya tepatnya pada tanggal 22 Juli 1912, Kooders mendirikan Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda (Nederlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbescherming) yang berlokasi di Bogor seperti yang tercatat dalam buku Sang Pelopor karya Pandji Yudistira.
-
Kapan budaya rambut gondrong di Jawa mulai berubah? Diperkirakan setelah tahun 1900 ketika politik etis mulai diberlakukan dan makin banyak pribumi yang memperoleh kesempatan pendidikan, beberapa perubahan juga diterima dan makin menjadi nilai umum.
-
Kenapa Imah Saba Budaya Baduy dibangun? Mengenal Baduy dari Dekat Sebelum berinteraksi lebih dalam, agaknya tempat ini media pengenalan kepada para wisatawan agar bisa memahami kebudayaan serta tradisi yang melekat di Baduy.
-
Kapan Muhibah Budaya dalam rangkaian Banyuwangi Ethno Carnival digelar? Muhibah Budaya yang digelar Jumat malam (7/7/2023) tersebut menampilkan berbagai atraksi tari dari sejumlah daerah.
-
Apa yang menjadi ciri khas dari budaya Batak Toba? Rumah adat Batak yang dikenal sebagai Rumah Bolon ini menjadi salah satu ciri khas dari budaya Batak Toba.
-
Mengapa Gereja Merah Kediri disebut sebagai cagar budaya? Gereja Immanuel Kediri telah diakui sebagai cagar budaya sejak 2005. Penetapan ini berdasarkan SK Menteri No. PM.12/PW.007/MKP/05.
-
Kapan Gereja Merah Kediri ditetapkan sebagai cagar budaya? Gereja Immanuel Kediri telah diakui sebagai cagar budaya sejak 2005.
Koorders sendiri menjabat sebagai ketua perkumpulan tersebut sejak awal berdirinya hingga tahun terakhir kehidupannya (1912-1919), dan terus mendesak pemerintah kolonial Hindia Belanda menerbitkan Undang-undang Cagar-Cagar Alam (Natuurmonumenten Ordounantie) yang akhirnya terbit pada tahun 1916.
Dari rangkaian peristiwa tersebut kemudian lahirlah salah satunya yakni Cagar Alam Manggis Gadungan di Kecamatan Puncu, Kabupaten Kediri pada tahun 1919, melalui Surat Keputusan Gubernur Belanda GB No.83/Stb/No.392/1919. Memiliki luas awal 12 hektar, kini setelah pengukuran terbaru luasnya bertambah menjadi 13,36 hektar.
“Kalau pada zaman Belanda dulu Cagar Alam Manggis itu namanya Gn. Kluet Gadungan, mungkin maksudnya Kelud ya,” ujar Siti Nur Laili, Kepala Resort Konservasi Wilayah III penanggung jawab Cagar Alam Manggis dan Besowo Gadungan.
Selain Cagar Alam Manggis Gadungan, cagar alam lainnya di Kabupaten Kediri yakni Cagar Alam Besowo Gadungan di Kecamatan Kepung. Dua cagar alam yang memiliki fungsi esensial di Kediri ini, sayangnya memang tidak terlalu kentara keberadaannya.
Lindungi Pohon Leses yang Berumur Ratusan Tahun
©2021 Merdeka.com/ foto oleh: Laili/ Pohon Leses (Ficus albipila) Cagar Alam Manggis
Umumnya cagar alam di suatu daerah memiliki suatu ciri khas atau keistimewaan terkait flora maupun fauna yang dilindungi misalnya seperti Cagar Alam Waigeo Barat yang melindungi burung cenderawasih.
Sedangkan Cagar Alam Manggis sendiri sebenarnya tidak disebutkan kekhasannya atau keistimewaannya di Surat Keputusan Gubernur Belanda terdahulu. Hal itu pun yang akhirnya membuat BKSDA Kediri mencoba mencarinya sendiri.
“Berdasarkan pengamatan kami, di Cagar Alam Manggis itu ada pohon terbesar namanya pohon Leses. Pohon itulah yang jadi rumah ribuan kalong yang merupakan jenis Ficus albipila, jadi kita perkirakan, mungkin kekhususannya Cagar Alam Manggis itu untuk melindungi Ficus,” tutur Laili.
Pohon leses satu-satunya yang dimaksud ini, diduga sudah ada saat penetapan Cagar Alam itu sendiri, sehingga diperkirakan kini telah berusia sekitar satu abad lebih.
Pohon leses Cagar Alam Manggis tersebut memiliki keliling akar tampak sepanjang 700 cm atau 7 meter. Sedangkan tinggi batang bebas cabangnya yakni sekitar 15 meter.
Sedangkan Ficus lain yang tumbuh sebagai tumbuhan asli di Cagar Alam Manggis di antaranya meliputi pohon gondang (Ficus variegate), luwingan (Ficus hispida), ringin (Ficus benjamina), awar awar (Ficus septica), preh (Ficus sp), dan ringin walik (Ficus curzii).
Selain itu flora lainnya yang juga merupakan tumbuhan asli dalam cagar alam tersebut yaitu kemiri, bendo, cembirit, aren, kedoya, jingkat, pule, salam, suren, tutup, wadang, jambu hutan, kayu manis, randu, munung/siwil kutil, dan nongko nongkoan.
Dipercaya Sebagai Alas Simpenan Oleh Warga Sekitar
©2021 Merdeka.com/ animarda
Cagar Alam Manggis dikenal oleh warga sekitar sebagai Alas Simpenan. Konon, cagar alam tersebut memunculkan fenomena yang masih menjadi misteri hingga kini, yaitu perihal pasang surut air di daerah tersebut.
“Pada musim kemarau air di sumur bukannya surut maupun kering namun malah naik hingga 7 sampai 8 meter. Sebaliknya pada musim hujan airnya turun meski tidak mengganggu ketersediaan air warga,” terang Suprihadi, penjaga cagar alam tersebut sekaligus warga asli Manggis.
Dari latar itulah warga menyakini Cagar Alam Manggis sebagai “simpenan”, yang mungkin merujuk pada simpanan ketersediaan air di desa Manggis.
Habitat Monyet Ekor Panjang, Kalong, dan Kucing Hutan
©2021 Merdeka.com/ deanitaputri/ monyet ekor panjang di luar kawasan Cagar Alam Manggis Gadunga
Cagar Alam Manggis sendiri juga merupakan habitat puluhan monyet ekor panjang. Monyet tersebutlah yang kemudian secara alami mengundang masyarakat untuk memberikan makanan kepada mereka di sekitar luar kawasan cagar alam.
Secara tidak resmi, akhirnya kawasan tersebut menjadi destinasi wisata untuk melihat dan memberi makan monyet ekor panjang. Menurut keterangan Zaenab (56 tahun), perempuan yang memiliki kios dan berjualan sehari-hari di sekitar luar kawasan Cagar Alam Manggis tersebut, jarang sepi pelanggan meski pandemi Covid-19.
Sebab dalam sehari meski hanya sebentar, orang kerap mampir untuk memberi makan monyet dan istirahat sejenak di warungnya.
©2021 Merdeka.com/ foto oleh: Laili/ Burung Elang Ular Bido Cagar Alam Manggis
Sedangkan satwa yang dilindungi di Cagar Alam Manggis yakni burung raja udang, elang ular bido, landak, dan trenggiling. Selain itu, fauna lain yang mendiami Cagar Alam Manggis di antaranya yaitu ayam hutan, burung jarakan, burung cucak hijau, burung cemblek, burung mprit, burung matenan, burung perkutut, burung derkuku, burung kutilang, burung kokok beluk, burung bubut jawa, burung pelatuk, kalong, elang, tokek, tupai, bunglon hijau, kucing hutan, ular kobra dan masih banyak lainnya.
Sebagai Jendela Kediri Masa Silam
©2021 Merdeka.com/ foto oleh: arsip buku Sang Pelopor/ Potret Cagar Alam Manggis tempo dulu
Cagar Alam Manggis semakin dimantapkan keberadaannya di ketetapan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : SK.1861/Menhut-VII/KUH/2014. Di tahun tersebut pula sebuah jalan beraspal yang membelah Cagar Alam Manggis resmi ditutup.
Mulanya jalan yang diaspal tahun 1980-an itu dilalui banyak kendaraan mulai dari sepeda hingga truk. Keberadaan jalan itu pun mengancam keberlanjutan Cagar Alam Manggis.
Sebab menurut Laili, kendaraan yang berukuran besar akan kerap menggerus sedikit demi sedikit tanaman atau pohon di dekat aspal. Tak hanya itu, ditakutkan ada benih spesies tanaman asing yang terbawa oleh kendaraan-kendaraan yang lalu lalang yang kemudian tumbuh dan mengancam spesies tanaman asli Cagar Alam Manggis.
Tercatat pada laman Balai Besar KSDA Jawa Timur, fauna yang mendiami Cagar Alam Manggis juga terdapat Kijang dan Kancil. Sedangkan menurut Suprihadi, penjaga Cagar Alam Manggis maupun Laili, yang melakukan patroli setiap hari mengelilingi cagar alam tersebut, kini sudah tak menjumpai hewan-hewan itu.
“Mungkin keberadaan jalan itu sedikit banyak mempengaruhi kepunahan satwa-satwa yang ada di situ,” duga Laili.
Cagar Alam Manggis sendiri seperti cagar alam lainnya merupakan benteng terakhir perlindungan keanekaragaman hayati. “Kalau kita ingin tahu kondisi Kediri zaman dahulu itu seperti apa, hutannya itu ya seperti Cagar Alam Manggis itu, cagar alam itu menjadi benteng warisan terakhir plasma nutfah di sini.”
Sejak penutupan jalan beraspal tersebut, Laili mengatakan bahwa satwa-satwanya pun mulai berkembang biak lagi karena lebih bebas. Selain itu, BKSDA Kediri bersama relawan dan warga sekitar terus mengupayakan perlindungan Cagar Alam Manggis Gadungan.
“Kemarin akhir tahun 2020, kami bersama relawan dan warga sekitar menanami daerah buffer zone pohon-pohon jenis yang ada di dalam cagar alam serta pohon makanan monyet supaya tidak mengganggu kawasan pertanian sekitar cagar alam,” pungkas Laili.