Kandidat Kuat Warisan Budaya Tak Benda UNESCO, Ini Sejarah Reog Ponorogo Kesenian yang Berusia 200 Tahun Lebih
Selangkah lagi Reog Ponorogo jadi warisan budaya tak benda UNESCO
Selangkah lagi Reog Ponorogo jadi warisan budaya tak benda UNESCO
Kandidat Kuat Warisan Budaya Tak Benda UNESCO, Ini Sejarah Reog Ponorogo Kesenian yang Berusia 200 Tahun Lebih
Badan kebudayaan PBB, UNESCO menyatakan dosir (dossier) yang berisikan dokumen detail tentang reog sudah lengkap. Artinya, selangkah lagi Reog Ponorogo bisa jadi Warisan Budaya Takbenda (WBTB) yang diakui UNESCO.
- Kementerian Fadli Zon Bakal Usulkan Rendang jadi Warisan Budaya Unesco
- Mahasiswa Arkeologi Temukan Dua Prasasti Berusia 950 Tahun di Kuil, Jelaskan Soal Sejarah Sampai Irigasi
- Dalam Rapat UNESCO di Kroasia, Dewan Pers Sampaikan Kekhawatiran Draf RUU Penyiaran
- FOTO: Dorong Jadi Warisan Budaya Tak Benda UNESCO, Pawai Budaya Reog Ponorogo Tampil Meriah di Jakarta
Lebih dari 200 Tahun
Kesenian Reog Ponorogo sudah ada sejak lebih dari 200 tahun silam. Eksistensinya dapat dilihat dari naskah Pupuh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunagara III Ing Surakarta yang terdokumentasi dalam Serat Centini.
Sementara itu, menurut legenda, keberadaan seni reog sudah ada sejak masa Kerajaan Kediri abad XI. Legenda ini merujuk pada cerita prosesi lamaran Prabu Kelanasewandana dari Kerajaan Wengker kepada Dewi Sanggalangit dari Kerajaan Kediri. Kisah ini dianggap sebagai versi sejarah tertua dari kesenian reog.
Selain berdasarkan legenda Prabu Kelanasewandana, sejarah seni reog pada zaman Hindhu-Buddha dapat diketahui melalui cerita versi legenda Suryongalam.
Alkisah Demang Suryongalam dari Wengker bernama Ki Ageng Kutu membuat seni reog sebagai bentuk kritik kepada pemerintahan Raja Brawijaya V.
Sang raja dianggap tidak mampu melaksanakan tugas kenegaraan dengan baik karena dominasi permaisurinya.
Legenda ini menjadi salah satu pilihan alur cerita pada seni pertunjukan reog di Ponorogo. Pada pertunjukan reog versi legenda Suryongalam ada tiga peran yang dimainkan, yakni ganongan, jatilan, dan dadak merak.
Media Dakwah
Seni reog terus dikembangkan hingga periode awal masa islamisasi di tanah Jawa oleh Raja Katong (Bathoro Katong) pada akhir abad XV. Pada versi ini terdapat 4 peran yang dimodifikasi dari versi Bantarangin, yakni tari kelana, ganongan, jatilan dan dadak merak.
Kata “reog” berasal dari kata “riyokun” yang artinya khusnul khatimah. Maksudnya, perjuangan Bathoro Katong dalam menyebarkan agama Islam di Ponorogo diharapkan menjadi perjuangan yang diridai Tuhan.
Masa Penjajahan
Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, seni pertunjukan reog sempat dibatasi. Penjajah takut pertunjukan itu jadi momentum massa merencanakan pemberontakan.
Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, seni reog bebas dipentaskan. Bahkan, pada masa orde lama (1960) seni reog sering digunakan partai politik untuk mengumpulkan massa.
Menjelang tahun 1965, muncul beberapa organisasi kesenian, seperti BREN (Barisan Reog Nasional) didirikan oleh Partai Nasional Indonesia dan CAKRA (Cabang Reog Agama).
Pada tahun 1997, pemerintah mengadakan FRN (Festival Reog Nasional) dengan tujuannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengembangkan kesenian reog.
Awalnya, Reog Ponorogo berkembang di Desa Somoroto Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur. Kemudian menyebar ke seluruh kecamatan dan desa di wilayah Kabupaten Ponorogo, bahkan daerah-daerah lain.
(Foto: Pemkab Ponorogo)
Kisah yang Terkenal
Ada dua kisah legenda yang sering digunakan sebagai alur cerita dalam pertunjukan Reog Ponorogo, yakni legenda Suryongalam (Ki Ageng Kutu) dan legenda Bantarangin.
Alur cerita reog dari legenda Suryongalam (Ki Ageng Kutu) berisi sindiran politik yang dilakukan oleh Demang Suryongalam (Ki Ageng Kutu) terhadap pemerintahan Raja Brawijaya V yang dinilai lemah karena terlalu disetir oleh permaisurinya (Putri Campa).
Sementara untuk alur cerita reog versi legenda Bantarangin menitikberatkan pada cerita prosesi lamaran Prabu Kelanasewandana dari Kerajaan Bantarangin kepada Putri Sanggalangit dari Kerajaan Kediri.
Dulu vs Sekarang
Awalnya, seni pertunjukan ini hanya dimainkan oleh laki-laki. Pada perkembangannya, Reog Ponorogo dimainkan oleh laki-laki maupun perempuan.
Bahkan, saat ini terdapat grup reog perempuan, yang seluruh pemainnya merupakan perempuan. Secara umum dalam pertunjukan reog memang ada peran-peran yang khusus dimainkan oleh pemain laki-laki dan perempuan.
Pemain laki-laki biasanya berperan sebagai penari barong, warok, bujangganong, dan klanasewandana. Perempuan berperan menjadi jatil dan pengrawit.