Tinggalkan Pekerjaan di Kota Besar Pilih Pulang Kampung agar Dekat dengan Anak Istri, Kisah Pedagang Kelontong Asal Tuban Ini Bikin Haru
Pendapatannya saat ini jauh lebih sedikit tapi ia mengaku bahagia
Pendapatannya saat ini jauh lebih sedikit tapi ia mengaku bahagia
Tinggalkan Pekerjaan di Kota Besar Pilih Pulang Kampung agar Dekat dengan Anak Istri, Kisah Pedagang Kelontong Asal Tuban Ini Bikin Haru
Merantau ke kota besar jadi impian sebagian orang. Kota besar jadi tujuan orang untuk mencari penghidupan lebih layak. Faktor inilah yang memotivasi Mafianto (41), warga Desa Mojomalang, Kecamatan Parengan, Kabupaten Tuban, merantau ke Kota Surabaya puluhan tahun silam.
- Tinggalkan Kota Demi Meneruskan Pekerjaan Ortu, Pemuda Ini Kembangkan Petani Bambu Cendani Untuk Memajukan Perekonomian Desa
- Tinggalkan Pekerjaan Mapan, Pasutri Asal Kediri Pilih Jualan Bawang Merah, Kini Omzetnya Capai Ratusan Juta Rupiah per Bulan
- Kerja jadi Tukang Besi di Kanada, Potret Tengku Firmansyah Bawa Bekal Nasi Telur Dadar Bikinan Istri
- Cerita Wanita Calon Pekerja Luar Negeri, Berharap Gaji Besar Meski Tidak Sesuai Prosedur
Mengutip artikel Laju Urbanisasi dan Pertumbuhan Kota di Indonesia karya Abdul Rahman (Jurnal Predestination Universitas Negeri Makassar, 2023), kota besar menjadi tujuan urbanisasi karena merupakan pusat fasilitas infrastruktur ekonomi, pendidikan, kesehatan, serta hiburan.
Selain itu, urbanisasi disebabkan oleh sulitnya mendapatkan akses pekerjaan di perdesaan, alih kepemilikan lahan, dan kurangnya ketersediaan infrastruktur daerah.
Jarak yang jauh membuat Mafi tak bisa setiap saat pulang, ia pulang sekitar dua pekan sekali untuk bertemu istri dan anaknya.
Pulang Kampung
Puluhan tahun bekerja di ibu kota Provinsi Jawa Timur dengan gaji relatif besar ternyata tak membuat Mafianto bahagia. Ia tak ingin selamanya hidup di perantauan dan terpisah dengan keluarga.
“Bagi saya merantau ada masanya. Masak iya mau meninggalkan keluarga terus sampai tua. Mumpung waktu itu usia saya baru 30-an jadi memutuskan pulang kampung dan pindah profesi dengan segala risiko dan konsekuensi,” ungkap bapak satu anak itu saat ditemui Merdeka.com di Pasar Banjarejo Bojonegoro, Rabu (13/3/2024).
Kendati penghasilannya dari berdagang tak sebesar gajinya saat bekerja di Surabaya, tapi Mafi mengaku lebih bahagia.
“Alhamdulillah sekarang tiap hari bisa ketemu anak istri. Meskipun tahun pertama kedua saya dagang itu minus ya, tapi saya tetap berusaha agar toko semakin berkembang,” lanjut Mafi.
Kisah Inspiratif
Jatuh Bangun
Tahun-tahun pertama berdagang adalah masa terberat Mafi setelah memutuskan pulang kampung. Beruntung, ia bertemu Mantri BRI (petugas penyalur kredit) di pasar tempatnya berdagang.
“Dibantu BRI dikasih pinjaman (Kredit Usaha Rakyat atau KUR) untuk tambah modal. Toko semakin berkembang hingga jadi seperti sekarang. Sampai sekarang juga masih pakai KUR BRI untuk modal usaha, sudah sekitar 6 tahun saya jadi nasabah (KUR BRI),” papar Mafi.
Terpisah, Kepala BRI Unit Banjarejo Bojonegoro Taufik Nurhidayat menuturkan, penyaluran KUR di wilayah kerja BRI Unit Banjarejo didominasi oleh sektor perdagangan.
“Sekitar 80% nasabah KUR BRI Banjarejo itu pedagang, karena ini termasuk wilayah kota ya jadi yang paling berkembang memang sektor perdagangan,” ujar Taufik saat ditemui Merdeka.com, Rabu (13/3/2024).
Taufik menambahkan, BRI tidak hanya memberikan pinjaman modal usaha melalui program KUR, tetapi juga mendampingi para nasabah pelaku UMKM agar usahanya semakin berkembang.
Senada dengan klaim Taufik, Mafi juga merasakan sejumlah manfaat lain sebagai nasabah KUR BRI. Saat Pasar Banjarejo Bojonegoro ditetapkan sebagai pasar percontohan dan disinkronkan dengan aplikasi Newpasar.id milik BRI, para pedagang di pasar tersebut yang merupakan nasabah BRI mendapat tiket emas sebagai mitra.
“Dibikinkan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard), terus toko saya dimasukkan ke aplikasi Newpasar.id, dilibatkan kalau ada bazar-bazar” imbuh Mafi.
Pada pembukaan Pasar Ramadan BRI Bojonegoro beberapa waktu silam misalnya, ia berhasil menjual sekitar 30 paket sembako hanya dalam hitungan jam, yakni mulai pukul 15.00 WIB hingga pukul 18.00 WIB. Penjualan ini belum termasuk hasil yang ia dapatkan saat membuka toko kelontongnya sejak pagi hingga siang hari.
“Hasil berdagang tidak sampai separuhnya gaji saya di Surabaya, tapi saya bersyukur bisa punya usaha sendiri. Waktunya lebih fleksibel, lebih banyak bersama keluarga,” tandas Mafi.