36 Jam Misi Kemanusiaan Jalan Pulang WNI dari Wuhan
Terbayang jelas kesibukan malam itu. Sebagai gambaran, malam itu ada tujuh penerbangan dengan misi evakuasi warga dari sejumlah negara. Namun jumlah petugas yang melayani sangat minim. Sehingga pengecekan penumpang membutuhkan waktu panjang.
The Red Team. Mungkin nama yang asing di telinga. Namun, tim yang beranggotakan lima orang ini punya peran besar dalam 36 jam misi kemanusiaan di Kota Wuhan-ibukota provinsi Hubei di China, awal Februari 2020. Tim ini membuka jalan kepulangan Warga Negara Indonesia (WNI) dari Wuhan saat masa awal Pandemi Covid-19 melanda negeri tirai bambu.
Sebagian besar WNI di Wuhan adalah mahasiswa. Ketika wabah Covid-19 melanda, keselamatan nyawa mereka menjadi tanggung jawab negara. Instruksi datang langsung dari Presiden Joko Widodo di Jakarta. Menjemput pulang WNI adalah jalan satu-satunya.
-
Kapan Pertempuran Wuhan terjadi? Pertempuran ini berlangsung pada 11 Juni 1938, mencakup serangkaian operasi militer yang terjadi antara pasukan Kekaisaran Jepang dan pasukan Republik Tiongkok di wilayah Wuhan, yang merupakan pusat politik, militer, dan ekonomi yang penting bagi Tiongkok pada masa itu.
-
Bagaimana Pertempuran Wuhan berakhir? Pada 25 Oktober 1938, pasukan Jepang berhasil memasuki Wuhan setelah mengalahkan pertahanan Tiongkok.
-
Kapan virus corona ditemukan? Virus virus adalah sekelompok virus yang meliputi SARS-CoV (virus korona sindrom pernafasan akut parah), MERS-CoV (sindrom pernapasan Timur Tengah coronavirus) dan SARS-CoV-2, yang menyebabkan Covid-19.
-
Di mana TNI dibentuk? Dahulu TNI dibentuk dan dikembangkan dari sebuah organisasi bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR).
-
Siapa yang kagum dengan kekuatan TNI? Gamal Abdul Nasser Adalah Sahabat Dekat Presiden Sukarno Keduanya menjadi pelopor gerakan Non Blok. Karena dekat, Nasser bicara terus terang pada Presiden Sukarno.
-
Siapa yang memimpin pasukan Tiongkok dalam pertempuran Wuhan? Lebih dari satu juta pasukan Tentara Revolusioner Nasional dari Zona Perang Kelima dan Kesembilan ditempatkan di bawah komando langsung Chiang Kai-shek, mempertahankan Wuhan dari Tentara Area Tiongkok Tengah dari Tentara Kekaisaran Jepang yang dipimpin oleh Shunroku Hata.
Tapi ini tidak semudah membalik telapak tangan. Saat itu pemerintah setempat mengunci akses keluar masuk kota Wuhan. Tak ada satu pun yang bisa menembus garis perbatasan. Kecuali mengantongi surat izin dari pemerintahan.
Sejak 26 Januari 2020, hampir setiap hari Dubes RI di Beijing, Djauhari Oratmangun, memimpin rapat merumuskan strategi evakuasi WNI. Pemutakhiran data WNI dikejar. Rapat video conference dengan Jakarta terus dilakukan. Termasuk komunikasi dengan pemerintah setempat.
Rapat marathon akhirnya membuahkan keputusan. Misi kemanusiaan pun bisa dilaksanakan pada 1 Februari 2020. "Sebanyak kurang lebih 250 WNI berkeinginan kembali. Maka KBRI menyarankan agar penarikan dilaksanakan dengan melibatkan personel yang seminimal mungkin, dalam tempo yang sesingkat mungkin, berjalan normal, dan tidak menimbulkan kegaduhan," ujar Atase Udara KBRI Beijing Kolonel Pnb Eko Adi Nugroho bercerita kepada merdeka.com, belum lama ini.
Dengan berbagai pertimbangan, pesawat komersil Batik Air yang merupakan anak perusahaan Lion Air dipilih untuk menjemput sekitar 250 WNI dari Kota Wuhan. Batik Air memiliki satu unit pesawat A330-300 CEO dengan kapasitas 374 penumpang dan 18 orang kru. Izin penerbangan diajukan ke pihak otoritas penerbangan China, yaitu Resumption of Flight maskapai Lion Air.
Bukan hal mudah mendapatkan izin. Tak hanya Indonesia, Amerika Serikat pun merasakannya. Mereka mengajukan flight approval dan landing permit berkali-kali, tapi ditolak. Setelah negosiasi dan pengajuan ke empat kali, akhirnya baru diizinkan mendarat di Wuhan.
Dari pengalaman Amerika, KBRI di Beijing mengirim The Red Team. Tim ini membawa misi untuk memuluskan jalan pulang bagi WNI berada di provinsi Hubei. Peran anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dilibatkan. Kolonel Eko salah satu anggota tim itu.
"KBRI mengirim the Red Team ke Wuhan untuk mengoordinir penarikan WNI di kota Ensizhou, Yichang, Xianning, Jingzhou, Liantao, Huangshi dan Wuhan. Anggotanya satu orang dari kantor Pensosbud, tiga dari kantor protokol dan konsuler kemudian satu dari kantor atase pertahanan yakni saya," ujar dia.
"Red Team diambil dari topi warna merah KBRI," katanya melanjutkan.
Tepat 31 Januari 2020, misi Kemanusiaan dimulai dengan pengiriman The Red Team. Blokade dan pengamanan ketat membuat The Red Team tidak bisa langsung ke mudah memasuki wilayah Wuhan. Tim terbang dari Beijing pukul 07.15 LT dan mendarat pukul 10.00 LT di Changsha. Sebuah kota yang berada di Provinsi Hunan, letaknya paling dekat dengan perbatasan provinsi Hubei.
"Selanjutnya tim bergerak ke perbatasan kedua provinsi dengan bus yang berhasil disewa oleh salah satu anggota tim yang beberapa hari sebelumnya mendahului masuk Changsha," cerita Kol Eko.
Perjalanan darat ditempuh tiga jam. Eko menyaksikan langsung 'kota mati' tersebut. Deru mesin bus memecah kesunyian kota. Untuk sampai ke Wuhan, tim harus berganti bus sewaan saat tiba di perbatasan kedua provinsi. "Menuju Kota Wuhan, kami harus melewati 3 kali check point. Seperti mau perang saja. Segala sesuatunya diperiksa secara detil."
Masih tergambar dalam ingatannya saat petugas keamanan dengan tatapan tajam, memeriksa lembar demi lembar dokumen kendaraan dan dokumen dibawa penumpang. Termasuk pemeriksaan kesehatan para penumpang. Seakan tak ingin kecolongan masuknya virus Covid-19 melalui perbatasan.
"Diperlukan dokumen dari Foreign Affair Office/FAO provinsi Hubei maupun FAO kota Wuhan yang harus ditunjukkan oleh pengemudi ke petugas. Karena tidak semua kendaraan boleh memasuki kota Wuhan, jadi hanya kendaraan dan daftar penumpang yang sudah disetujui oleh FAO provinsi maupun FAO kota setempatlah yang bisa melanjutkan perjalanan," jelasnya.
Setelah melalui perjalanan darat yang menegangkan dan menembus sejumlah pemeriksaan, akhirnya The Red Team tiba di Wuhan. Jarum jam menunjukkan pukul 4 sore waktu Wuhan. Terlambat dua jam dari rencana awal. Salah satunya karena berlapisnya pos pemeriksaan yang harus dilewati.
Sekilas Wuhan seperti kota tak berpenghuni. Jalanan sepi. Seluruh pertokoan terkunci rapat. Bahkan restoran siap saji berjargon 24 jam pun dilarang beroperasi.
Kondisi ini menjadi catatan sejarah. Kota berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa, untuk pertama kalinya mengurung diri. Atas nama kesehatan dan keselamatan jiwa, mencegah penyebaran virus Corona.
"Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi tim untuk mendapatkan makanan dan membeli peralatan maupun logistik untuk mendukung kegiatan selanjutnya," ucap dia.
Eko dan tim memilih sebuah penginapan. Tidak ada ramah tamah petugas yang biasa menyapa tamu penginapan. Meja resepsionis tak dijaga. Hanya ada seorang petugas berpakaian APD lengkap.
Petugas itu langsung memeriksa suhu tubuh tamu yang datang. Kemudian mengarahkan Tim Red Team menuju lantai 15. Di dalam lift, aroma disinfektan menyengat hidung. Tombolnya pun dilapisi plastik semi transparan.
"Hotel atau penginapan di Wuhan untuk orang asing juga harus mendapat persetujuan dari FAO setempat, hal tersebut sudah dikoordinasikan oleh staf di KBRI sebagai posko utama evakuasi yang berperan penting dalam proses penyewaan kendaraan maupun penginapan," katanya.
Tak ingin berlama-lama, malam itu tim langsung menemui para mahasiswa Indonesia yang terdekat dengan penginapan. Setidaknya 28 orang mahasiswa dan mahasiswi yang bisa berkumpul, langsung diberikan pengarahan untuk kepulangan ke tanah air.
Sejumlah bus sudah disewa untuk membawa para WNI menuju bandara Tianhe International Airport di Kota Wuhan. Tapi bus-bus itu masih menunggu tertahan di perbatasan. Terganjal surat izin FAO. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan.
"Karena jika besok bus tidak bisa berangkat, semua yang sudah direncanakan akan sia-sia. Dipastikan tidak ada WNI yang bisa merapat ke bandara."
Misi Tak Boleh Gagal
Misi tidak boleh gagal. Tim ini terus mengupayakan agar izin jalan dari FAO untuk bus-bus sewaan bisa dikeluarkan. Jelang tengah malam, kabar baik datang. "Ada berita bahwa FAO akan mengeluarkan surat izin jalan bus sewaan besok pagi. Alhamdulillah, bisa tidur tenang malam itu," ucap Eko tersenyum.
Keesokan harinya 1 Februari 2020, saat jarum jam menunjukkan pukul 09.30 waktu Wuhan, Eko beserta tim sudah sibuk melakukan berbagai pengecekan. Mulai dari armada bus hingga titik penjemputan WNI. Setiap titik penjemputan sudah ditunjuk seorang WNI menjadi koordinator. Termasuk di Kota Ensizhou. Kota terjauh dari Wuhan. Jaraknya 521 km.
"Di Wuhan sendiri ada sekitar 109 WNI yang akan dijemput beberapa bus," ujarnya.
Satu per satu bus mulai menjemput WNI di titik yang ditentukan. Tim menerima kabar dari salah satu koordinator penjemputan. Ada kendala di titik check point. Lagi-lagi soal perizinan. Bus mereka terhenti di check point karena petugas tidak menerima data tentang perjalanan bus. Tim bergerak. Meminta bantuan posko utama.
Perjuangan membawa pulang WNI memang harus dilalui dengan berbagai cara. Salah satunya saat seorang anggota tim ikut menjemput WNI di kota Wuhan harus melompati pagar kampus karena gerbang terkunci. Petugas jaga tidak ada. Di satu sisi, evakuasi WNI harus dilakukan hari itu juga.
Masih membekas dalam ingatan. Ada satu mahasiswi Indonesia bermukim di kampung terpencil tidak berhasil dijemput. Warga setempat menilai kampung itu masih steril dari virus corona. Sehingga mereka mengadang bus penjemput. Tidak ada yang boleh keluar maupun masuk kampung itu.
"Dengan sangat terpaksa kami putuskan untuk ditinggal," Eko menegaskan.
Saat hari penjemputan itu, ada yang mengusik pikiran Eko. Tertuju ke Bandara Tianhe, Wuhan. Status landing permit dari Civil Aviation Administration of China/CAAC. Hasil koordinasi awal, pihak otoritas penerbangan China memberikan slot pesawat Batik Air untuk mendarat pada jam 7 malam. Dan harus kembali mengudara maksimal jam 5 pagi keesokan harinya.
Kabar baik menghampiri lagi. Pesawat Batik Air yang akan membawa pulang WNI diizinkan mendarat di Bandara Tianhe. Keterlambatan surat resmi menunda waktu keberangkatan pesawat dari Jakarta yang semula dijadwalkan berangkat jam 12.00 Wib menjadi jam 13.00 Wib. Sehingga pesawat diperkirakan mendarat sekitar jam 8 malam waktu Wuhan. Satu jam lebih lambat dari perencanaan awal.
Jalan Pulang WNI dari Wuhan
Kolonel Eko membagi The Red Team menjadi dua grup. Dua orang bersiaga di Bandara Tianhe dan mempersiapkan sekaligus mengkoordinir WNI tiba di Terminal 3. Sementara satu orang lagi ikut menjemput WNI di kota Wuhan dengan bus yang sudah disewa.
Dua orang lainnya bertugas menemui Deputy Director General FAO provinsi Hubei Mr. Feng Xiguo sebelum para WNI meninggalkan Wuhan. Pertemuan dengan FAO tidak bisa dilewatkan. Mengingat keputusan akhir pemulangan WNI merupakan wewenang FAO provinsi Hubei. Kerja sama dan bantuan pun sudah diberikan agar WNI bisa dijemput pulang ke tanah air.
Setelah semua dirasa selesai, rasanya tinggal selangkah lagi pulang ke Indonesia. Tapi masalah teknis terjadi di Bandara. Layar yang biasa memberi informasi kepada penumpang mengenai check-in counter dan jam keberangkatan pesawat tidak difungsikan seperti biasa.
"Proses check-in dilakukan secara manual," Eko mengungkapkan.
Tiket hanya bertulis tangan petugas ground handling dan diserahkan kepada tim untuk selanjutnya dibagikan secara manual satu per satu. Kondisi serba manual itu dimanfaatkan tim untuk melakukan pengecekan kembali WNI yang akan diberangkatkan pulang.
Dari jumlah awal 250 WNI, beberapa di antaranya memutuskan tidak ikut evakuasi. Satu orang WNI memang tidak berhasil dijemput. Di samping itu, tiga orang WNI batal pulang karena tak lolos tes kesehatan. Sehingga jumlah penumpang sebanyak 243 orang termasuk The Red Team.
"Ketiganya ditempatkan di ruang khusus untuk pemeriksaan lanjutan. Kami coba menghubungi FAO menyampaikan kondisi tersebut dan memberikan WeChat ID ketiganya sehingga mereka bisa berhubungan dengan salah satu staf FAO yang ditugaskan memantau flight kepulangan WNI ke Indonesia," tambahnya.
Sebanyak 243 WNI sudah mengantongi tiket kepulangan ke Indonesia. Namun ketidakjelasan informasi di Bandara membuat suasana kepulangan diliputi kekhawatiran.
Baru sekitar pukul 22.30 waktu setempat, semua barang bawaan WNI bisa dimasukkan dalam pesawat. Setelah itu mereka antre untuk pemeriksaan imigrasi, suhu badan, dan lainnya. Semua dilakukan manual.
Terbayang jelas kesibukan malam itu. Sebagai gambaran, malam itu ada tujuh penerbangan dengan misi evakuasi warga dari sejumlah negara. Namun jumlah petugas yang melayani sangat minim. Sehingga pengecekan penumpang membutuhkan waktu panjang.
Informasi mengenai pintu keberangkatan bagi WNI pun jadi masalah. Beberapa kali nomor pintu keberangkatan berubah. Salah satu anggota The Red Team memastikan ulang.
"Perlu menunggu sekitar 10 menit sebelum akhirnya seorang petugas dengan APD berwarna kuning datang terengah-engah di pintu keberangkatan yang membuat kami mengurungkan niat untuk menumpahkan kekesalan kami," ucap dia.
Akhirnya bisa bernapas lega saat diumumkan bahwa penumpang Batik Air rute Wuhan - Natuna mulai diizinkan masuk ke dalam pesawat. Dua petugas dengan APD lengkap memeriksa tiket penumpang satu persatu.
Dimulai dari penumpang keluarga, wanita dan terakhir penumpang pria. Memastikan data sesuai dengan daftar penumpang yang lolos pemeriksaan imigrasi, security dan kesehatan. "Akhirnya setelah proses panjang dan menguras kondisi fisik maupun mental, 243 penumpang Batik Air bergiliran memasuki pesawat."
Di dalam pesawat, mereka disambut tim gabungan yang terdiri dari kru pesawat, Kemenlu, Kemenkes, Puskes TNI, Koopsus TNI dan Bais TNI. Para petugas ini kembali memeriksa suhu tubuh satu persatu sebelum kemudian menyerahkan paspor dan telepon genggam untuk sementara.
Setelah melalui proses panjang sejak 31 Januari, tepat pukul 03.44 LT tanggal 2 Februari penerbangan dengan kode BTK8619 lepas landas dari Tianhe International Airport menuju tanah air.
"Usai sudah tugas kami setelah selama kurang lebih 36 jam di Wuhan, bekerja dengan berpedoman pada pelibatan personel yang seminimal mungkin, dalam tempo yang sesingkat mungkin, berjalan normal, dan tidak menimbulkan kegaduhan," ujar Kolonel Eko mengenang bangga keberhasilan misi The Red Team.
(mdk/ang)