Penderitaan itu Pedih Jenderal
Dokumen forensik memastikan para jenderal yang terbunuh akibat G30S tidak mengalami penyiksaan. Lantas kenapa surat kabar tentara langsung punya cerita lengkap kekejaman hanya dua hari sesudah kudeta?
"Penderitaan itu pedih jenderal, pedih. Coba rasakan sayatan silet ini, juga pedih tapi tidak sepedih penderitaan rakyat," kata seorang perempuan. Dia pun mulai menyayatkan silet itu pada wajah Mayjen Soeprapto.
Kisah penyiksaan para jenderal ini menjadi warna dalam Pengkhianatan G30S/PKI besutan sutradara Arifin C. Noer. Film yang wajib ditonton setiap 30 September di era Orde Baru ini mengisahkan penyiksaan yang dilakukan anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) kepada para jenderal.
-
Bagaimana Suparna Sastra Diredja tergabung dalam PKI? Pergerakannya yang masif bersama rakyat membuatnya banyak terlibat di Partai Komunis Indonesia terutama setelah pemilihan 1955. Di sana ia menjadi anggota dewan yang mengurusi konstitusi baru pengganti undang-undang dasar semetara.
-
Siapa yang menjadi tokoh penting dalam pergerakan nasional Indonesia, yang juga terlibat dalam berdirinya PKI? Alimin bin Prawirodirjo, Tokoh PKI yang Ditetapkan Sebagai Pahlawan Nasional Indonesia Seorang tokoh pergerakan nasional asal Surakarta ini terlibat aktif dalam pergerakan nasional Indonesia, organisasi politik maupun ikut serta dalam berdirinya PKI. Namanya mungkin tidak begitu dikenal masyarakat Indonesia, bahkan jarang sekali muncul di buku-buku sejarah. Namun, peran selama hidupnya cukup memberikan pengaruh besar terhadap bangsa dan negara ini.
-
Mengapa G30S PKI menjadi salah satu peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia? Bagaimana tidak, G30S PKI dikenal sebagai salah satu upaya penghianatan besar yang pernah terjadi di Indonesia.
-
Kenapa Pemilu 1955 penting dalam sejarah politik Indonesia? Pemilu 1955 sangat berpengaruh dalam sejarah politik Indonesia karena merupakan pemilu pertama setelah 6 tahun perang kemerdekaan.
-
Kenapa PKI dan TNI AD berkonflik? Rivalitas antara PKI dan TNI AD mencapai puncaknya tahun 1965.
-
Bagaimana TNI AU mengebom Purwodadi yang dikuasai PKI? TNI AU Mengebom Purwodadi yang dikuasai PKI. Serangan udara itu berhasil membuat pasukan PKI kocar-kacir dan batal melakukan eksekusi pada sejumlah tawanan. Kadet Udara I Aryono menerbangkan pesawat, sementara Kapten Mardanus duduk di belakangnya menjadi observer udara. Mereka terbang rendah kemudian menjatuhkan bom di komplek kantor kabupaten. Misi itu sukses.
Setelah PKI ditumpas oleh pasukan Soeharto, disebarluaskan propaganda jika Gerwani merupakan gerakan yang mewakili PKI. Semua pimpinan Gerwani yang berhubungan dengan PKI pun ditangkap, disiksa dan diperkosa.
Apakah para jenderal mengalami penyiksaan sebelum dibunuh? Salah seorang saksi hidup peristiwa itu, Rudianto Nurhadi sedikit membeberkan. Menurut anak ketiga Mayjen Mas Tirtodaro Haryono, sang ayah diberondong puluhan peluru dalam kamar pribadinya. Setelah Haryono dipastikan tewas, pasukan Cakrabirawa menyeret jenazah dan diangkut ke Lubang Buaya.
"Ayah saya melawan tapi tak pegang senjata karena ayah saya tak pernah pegang senjata doi rumah. Dia dalam posisi tak bersenjata, waktu melawan dihabisi di dalam rumah, dalam kamar pribadi," cerita Rudianto kepada merdeka.com awal pekan ini.
Diorama penyiksaan PKI di Monumen Lubang Buaya (c) 2013 Merdeka.com/imam buhori
Lalu bagaimana dengan jenderal lainnya, terutama adanya kabar para jendral ada yang disilet-silet dan dipotong alat kelaminnya. Pada 4 Oktober 1965, Pangkostrad dan Pangkopkamtib Mayor Jenderal Soeharto mengeluarkan perintah kepada lima dokter untuk melakukan visum et repetum.
Mereka adalah dr. Brigardir Jenderal Roebiono Kertopati (perwira tinggi yang diperbantukan di RSP Angkatan Darat), dr. Kolonel Frans Pattiasina (perwira kesehatan RSP Angkatan Darat), Prof. dr. Sutomo Tjokronegoro (ahli Ilmu Urai Sakit Dalam dan ahli Kedokteran Kehakiman, juga profesor di FK UI), dr. Liauw Yan Siang (lektor dalam Ilmu Kedokteran Kehakiman FK UI), dan dr. Liem Joe Thay (atau dikenal sebagai dr. Arief Budianto, lektor Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI).
Ketika diperiksa, ketujuh mayat telah dalam keadaan membusuk dan diperkirakan tewas empat hari sebelumnya. Menurut mereka, ketujuh perwira tinggi dan pertama Angkatan Darat ini tewas mengenaskan dengan tubuh dihujani peluru dan tusukan. Sementara itu, sebagian besar hasil visum et repetum menyatakan adanya kekerasan berupa terkena benda tumpul di tengkorak dan bagian tubuh lainnya.
Sejarahwan LIPI, Asvi Warman Adam sedikit menyangsikan hasil visum ini. Menurut dia, para jenderal tidak mengalami penyiksaan sebagaimana dipropagandakan Orde Baru. Pendapat Asvi ini merujuk pada makalah pakar politik Indonesia dari Cornell University, Amerika Serikat, Ben Anderson dalam jurnal Indonesia edisi 1987.
"Mereka ada yang tertembak di rumahnya, ada juga yang dibunuh di Lubang Buaya. Itu tidak terbantahkan lagi," kata Asvi ketika berbincang dengan merdeka.com di Jakarta, Kamis (29/9).
Monumen Lubang Buaya (c) Wikimedia Commons/Chris Woodrich
Menghindari istilah adanya penyiksaan, kata Asvi, luka karena benda tumpul yang terjadi di kepala dan bagian tubuh para jenderal kemungkinan besar disebabkan oleh tubuh mereka pasca dimasukan ke dalam lubang maut. "Bahwa ada yang kena benda tajam. Tapi apakah itu terantuk waktu di Lubang Buaya kan bisa saja," jelas dia.
Berbeda dengan Letjen Ahamad Yani dan Brigjen D.I Panjaitan yang dibunuh di rumahnya, Mayjen Soeprapto tewas setelah tiba di Lubang Buaya. Soeprapto sendiri kala itu disebut mengalami pinyiletan di alat kelamin dan wajahnya. Dalam visum versi Orde Baru, ditemukan luka dan pukulan benda tumpul yang menyebabkan patah tulang di bagian kepala dan muka Soeprapto.
Ben Anderson tidak menemukan adanya sayatan pada alat kelamin dan wajah Soeprapto. Hal ini tentu berbeda dengan hasil visum yang sempat ditulis Orde Baru yang ditulis dalam Harian Berita Yudha 9 Oktober 1965.
Propaganda Gerwani
Surat kabar Berita Yudha 11 Oktober 1965 lah yang memberitakan pertama kali tentang keadaan mayat para jenderal ketika ditemukan di dalam sumur. Kabar ini justru berlainan dengan apa yang dinyatakan dalam otopsi. Surat kabar itu menulis bahwa mata para jenderal telah dicungkil dan alat kelamin beberapa jenderal telah dipotong.
Berita lain juga menulis tentang perempuan-perempuan (Gerwani) yang menari-nari dengan telanjang, dan beberapa gadis remaja melakukan permainan seksual dengan para jenderal. Propaganda pun terus menerus dilancarkan, termasuk slogan 'Gerwani Tjabo (pelacur), Gantung Gerwani, dan Ganyang Gerwani.
Surat kabar Berita Yudha merupakan media yang diterbitkan oleh militer kala itu. Diterbitkan 9 Februari 1965 dengan mengakuisi koran Berita Indonesia, dinyatakan oleh Men/Pangad Letjen TNI A. Yani untuk membendung dominasi propaganda komunis.
Poster film propaganda G30S PKI (c) merdeka.com
Koran tersebut diterbitkan sebagai rencana mereka mengucilkan pihak komunis dalam arena informasi. Sebab sebelumnya PKI selalu diuntungkan lewat kebijakan pers yang dikeluarkan Presiden Soekarno.
Menurut Asvi, kampanye itu adalah salah satu cara untuk menyudutkan kelompok kiri termasuk Gerwani. Tujuannya, kata dia agar menimbulkan kemarahan di masyarakat terhadap setiap pendukung ideologi komunisme.
"Buahnya (dari kampanye itu) ada pembantaian lanjut di masyarakat," kata Asvi.
Korban dari kampanye setelah peristiwa malam jahanam di kisaran 500 ribu hingga tiga juta orang di seluruh Indonesia. Nyaris seluruhnya tidak pernah terbukti bersalah melakukan makar. Dan mereka yang terbunuh menanggung dosa ganda, atas tudingan terlibat pembunuhan, bahkan penyiksaan, para jenderal di Lubang Buaya.
Baca laporan khusus lain merdeka.com atas peristiwa Gestok 1965:
Kisah cinta Letnan Pierre Tendean-Rukmini yang berakhir pilu
Lonceng kematian untuk jenderal pendukung Gerakan 30 September
Keluh kesah korban tragedi 65, dicueki pemerintah diintai intel
Korban minta tragedi 65 ditindaklanjuti atau Indonesia dicap buruk
'Kami korban tragedi 65 dianggap seperti teroris'
Lagi, Jokowi diharap minta maaf terhadap korban tragedi '65
Ini 10 kejahatan kemanusiaan pemerintah dalam tragedi 65 versi IPT
IPT nyatakan Indonesia bersalah lakukan pembantaian massal 1965