Gang para pemadat dan pemburu syahwat di Batavia
Gang para pemadat dan pemburu syahwat di Batavia. Selain Gang Mangga dan Gang Hauber, ada tempat lain di era berbeda yang juga dikenal sebagai tempat mesum dan madat. Gang itu disebut Gang Madat. Kini Gang Madat sudah berganti nama menjadi Jalan Kesejahteraan.
Megah dan gagahnya Ibu Kota Jakarta tidak dibangun dalam semalam. Butuh proses ratusan tahun untuk membuat wilayah yang dulunya rawa kini menjadi pusat hiruk pikuk di Nusantara. Jakarta bukan cuma dikenal dari jalan-jalan, tetapi dari gang-gang sempit.
Saat ini tercatat ada ribuan gang terdapat di Ibu Kota. Akar kata gang dari bahasa Belanda, bermakna koridor atau jalan sempit. Namun kini tak banyak yang tak sesuai lagi. Jalan besar muat dua mobil pun disebut gang. Dari gang-gang inilah salah satu peradaban Jakarta terbentuk. Namun tidak melulu hal baik.
Dalam Sejarah Prostitusi di Jakarta yang dirilis oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Jakarta, pelacuran dimulai sejak Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jan Pieterszoon Coen meruntuhkan Jayakarta dan mendirikan kota baru (Batavia) di atasnya. Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Sumberdaya Regional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PSDR-LIPI) menunjukkan, sejak masa inilah sistem pergundikan yang jadi cikal bakal prostitusi dimulai di Jakarta.
Ridwan Saidi, Budayawan Betawi mengatakan, konsentrasi prostitusi pertama di Batavia adalah di kawasan Macau Po. Disebut demikian karena pekerja seksnya berasal dari Macau. Mereka ditempatkan di sebuah rumah bertingkat di seberang Stasiun Beos (Stasiun Jakarta Kota). Mereka didatangkan oleh para germo Portugis dan China buat menghibur serdadu Belanda.
Leonard Blusse dalam bukunya yang berjudul Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia memaparkan, Gubernur Jenderal J.P. Coen menyadari bahwa manusia tak bisa hidup tanpa wanita. JP Coen pun harus menghadapi keharusan menyediakan wanita-wanita Belanda yang sudah siap kawin. Wanita-wanita ini ternyata merupakan karyawan JP Coen di kawasan Timur, termasuk Batavia. Namun, pada kenyataannya, noni-noni Belanda itu merasa merana dan kesepian ketika berada di daerah tropis. Sejak 1635, dewan komisaris dari Heeren Zeventien (XVII) mengubah strategi dengan mengikuti cara-cara kolonisasi Portugis, yaitu menggalakkan perkawinan dengan perempuan Asia untuk menciptakan perempuan campuran yang patuh, khususnya di Batavia.
Peraturan kala itu, seorang pria Belanda yang menikah dengan perempuan pribumi tak boleh membawa keluarganya ke Belanda. Peraturan ini mengakibatkan banyak pegawai Kompeni (VOC) lebih suka mengawini nyai-nyai pribumi. Hal ini karena bila dia memutuskan kembali ke Belanda bisa terhindar dari ikatan dengan gundik-gundik dan anak-anaknya untuk kemudian di negeri sendiri memilih istri yang diimpi-impikan. Sistem pergundikan ini sudah ada sebelum Belanda tiba di Batavia. Menurut Blusse, sistem ini ditentang para pembesar gereja di Batavia. Sistem pergundikan ini pun menghasilkan sejarah panjang keberadaan para nyai.
Dari kawasan Macau Po, seiring dengan perkembangan kota Batavia, keberadaan rumah bordil meluas ke Gang Mangga (kini sekitar Jalan Pangeran Jayakarta). Namun kelamaan, kompleks prostitusi Gang Mangga kalah bersaing dengan Soehian (rumah bordil) dibikin orang Tionghoa. Pemerintah Belanda menutup tempat itu, tetapi kemudian tumbuh kembali di Gang Hauber (Petojo) dan Kali Got (Sawah Besar).
-
Pajak apa yang diterapkan di Jakarta pada masa pasca kemerdekaan? Di dekade 1950-an misalnya. Setiap warga di Jakarta akan dibebankan penarikan biaya rutin bagi pemilik sepeda sampai hewan peliharaan.
-
Siapa yang meneliti sejarah Sidoarjo? Mengutip artikel berjudul Di Balik Nama Sidoarjo karya Nur Indah Safira (Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo, 2000), Kabupaten Sidoarjo terkenal dengan sebutan Kota Delta yang merujuk pada sejarah daerah ini yang dulunya dikelilingi lautan.
-
Dimana tempat wisata sejarah di Jakarta yang memiliki penjara bawah tanah? Menariknya, di bawah museum fatahilah ini terdapat berbagai penjara bawah tanah yang bisa kamu kunjungi dan dapat merasakan bagaimana di dalam penjara tersebut.
-
Apa yang diresmikan oleh Jokowi di Jakarta? Presiden Joko Widodo atau Jokowi meresmikan kantor tetap Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) Asia di Menara Mandiri 2, Jakarta, Jumat (10/11).
-
Bagaimana KEK Singhasari memanfaatkan sejarah? Keunggulan lain dari KEK Singhasari yakni adanya sektor pariwisata dengan tema heritage and sejarah. Hal ini dilatarbelakangi nilai situs sejarah kerajaan Singhasari.
-
Kenapa tempat wisata sejarah di Jakarta cocok untuk ngabuburit? Nah, untuk masyarakat Jakarta, momen ngabuburit menjadi aktivitas yang menarik untuk dilakukan dengan berpergian ke beberapa destinasi wisata. Di tengah gemerlapnya pusat kota Jakarta yang modern, terselip berbagai tempat wisata bersejarah yang menjadi saksi bisu perkembangan kota ini dari masa ke masa.
Gang Sadar di Petojo ©2017 Merdeka.com
Kini wajah Gang Hauber sudah berubah drastis. Jalan sempit ini pun sudah berganti nama menjadi Gang Sadar I. Gang Sadar I adalah jalan penghubung antara Jalan AM Sangaji dan Jalan Cideng Timur. Kawasan itu kini berubah menjadi perkantoran dan hunian.
"Dulu memang di sini (Gang Sadar) tempat mesum, tempat prostitusi dari Zaman Belanda. Dulu terkenalnya Gang Hauber. Di gang ini (Gang Sadar I) dan gang sebelah (Gang Sadar II)," ujar Mustaji (67) pekerja bengkel di Jalan AM Sangaji, Jumat (17/2) lalu.
Mustaji yang asli Petojo mengatakan, cerita dari orang dulu, Gang Hauber memang menjadi salah satu tempat pelacuran terbesar di Ibu Kota. Nama Gang Hauber masih beken di tahun 1950-an. Namun, Walikota Jakarta Raden Soediro (Menjabat 1 Juli 1951-1953) nama Gang Hauber kemudian diganti menjadi Gang Sadar.
"Diganti jadi Gang Sadar di zaman Soediro. Lupa tahunnya. Tapi sejak itu namanya sudah enggak pakai Gang Hauber. Yang kenal istilah Gang Hauber pasti orang lama, atau mereka yang suka baca sejarah," ujar Mustaji.
Selain Gang Mangga dan Gang Hauber, ada tempat lain di era berbeda yang juga dikenal sebagai tempat mesum dan madat. Gang itu disebut Gang Madat. Kini Gang Madat sudah berganti nama menjadi Jalan Kesejahteraan. Letaknya di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Gang Madat dulunya adalah surga penikmat candu (opium) dan juga prostitusi.
Sejarah Gang Madat tidak bisa dilepaskan dari kiprah Reinier de Klerk, Gubernur Jenderal VOC tahun 1777-1790 yang membangun sebuah vila atau rumah berukuran 27 ribu meter persegi pada 1760. Pada 1925, bangunan itu menjadi Gedung Arsip Nasional dan hanya tersisa 9.000 meter persegi. Nah Gang Madat lokasinya tak jauh dari vila milik Reinier de Klerk (sekarang Gedung Arsip Nasional) ini.
Gang Kesejahteraan ©2017 Merdeka.com
"Dulu memang terkenalnya Gang Madat. Karena banyak yang madat di ujung gang ini. Tapi itu juga cerita dari orang tua saya dulu. Saya lahir tahun 1982 kondisinya sudah enggak begitu lagi," ujar Ci Mimih yang tinggal di Jalan Kesejahteraan.
Yusuf (63) penjual kopi di Jalan Kesejahteraan mengatakan, dari cerita orang tuanya, Gang Madat mulai diganti namanya sejak Indonesia merdeka. Hal ini untuk menghilangkan cap negatif di wilayah itu.
"Dulu mah katanya orang pada teler di gang ini. Terus diganti nama Jalan Kesejahteraan supaya pada sejahtera dan jauh dari madat," ujarnya.
Sejarah madat atau candu diduga lebih dulu masuk Batavia sebelum orang-orang Belanda datang. Dalam situs sejarah Jakarta yang diterbitkan Pemprov DKI (http://www.jakarta.go.id) sebelum kedatangan VOC, candu sudah menjadi komoditas yang diperdagangkan di pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta. Pada awal berdirinya Kompeni, para kapiten China diberi mandat memungut pajak dari perdagangan candu. Sebagai contoh, Mayor Oei Tiong Ham diberi monopoli menjual candu di Semarang, Yogyakarta, Solo, dan Surabaya. Konglomerat ini mendapat keuntungan 18 juta gulden dari perdagangan candu.
Pada masa kolonial Hindia-Belanda, di Batavia juga terdapat pabrik candu. Letaknya di Jalan Kenari, Jakarta Pusat. Persisnya di sebelah kiri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, atau tidak jauh dari Masjid Rahman Hakim di kampus UI. Tempat tersebut kini menjadi ruang seminar Fakultas Sastra. Pabrik candu yang entah sejak kapan berdiri itu, ditutup pada masa pendudukan Jepang (1943).
Baca juga:
Jakarta, kota berkembang dengan dua ribuan gang
Di Pasar Senen, 'buaya' dan seniman berbagi tongkrongan
Nadi Pasar Minggu dan Pasar Rebo tak pernah mati
Jejak Timur Tengah di Kampung Condet
Benteng Cakung saksi sejarah perjuangan itu terbengkalai
Hantu serdadu di gudang peluru
Hikayat salak condet sajian wajib di meja presiden