Jalan Panjang dan Berliku Pemakzulan Presiden
Kampus bergerak menuntut Presiden menghentikan penyalahgunaan kekuasaan
Kampus bergerak menuntut Presiden menghentikan penyalahgunaan kekuasaan
Jalan Panjang dan Berliku Pemakzulan Presiden
Dimulai dari Yogyakarta. Prof. Koentjoro berkumpul bersama guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM), mengeluarkan petisi Bulaksumur.
Poinnya, Presiden Jokowi dinilai sudah keluar dari jalur demokrasi.
“Tindakan Presiden Jokowi justru menunjukkan bentuk-bentuk penyimpangan pada prinsip-prinsip dan moral demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial yang merupakan esensi dari nilai-nilai Pancasila," kata Koentjoro, Rabu (31/1).
- Peran Utusan Khusus Presiden, Bertanggung Jawab Langsung pada Kepala Negara
- Paspampres Berjaga di Sekitar KPU Jelang Pengumuman Presiden Terpilih Prabowo-Gibran
- Ganjar: KPU dan MK Langgar Etik, Apa yang Dibanggakan dari Proses Pemilu seperti Ini?
- Kakek 80 Tahun Bikin Perwira Polisi Kaget, 7 Tahun Jalan Kaki Datangi 261 Makam Para Wali & Presiden RI
Beberapa hari kemudian, genderang ditabuh dari Depok, Jawa Barat. Dewan guru besar UI berkumpul, membacakan Seruan Kebangsaan Kampus Perjuangan “Genderang UI Bertalu Kembali”.
Ketua dewan guru besar UI, Prof. Harkristuti Harkrisnowo merasa terpanggil untuk menabuh genderang.
Kegelisahan atas hancurnya tatanan hukum dan demokrasi. Saat ini sudah hilang etika bernegara dan bermasyarakat. Terutama korupsi, kolusi dan nepotisme yang telah menghancurkan kemanusiaan.
“Kami cemas kegentingan saat ini akan bisa menghancurkan masa depan bangsa Indonesia,” tegas Tuti, Jumat (2/2).
“Presiden harus menjadi contoh keteladanan kepatuhan terhadap hukum dan etika. Bukan justru menjadi contoh melanggar etika, apa yang diucap tidak sesuai dengan kenyataan,” ucap Ketua Senat Akademik Unpad, Prof Ganjar Kurnia membacakan langsung naskah bertajuk Seruan Padjdjaran, Sabtu (3/2).
Elemen kampus terutama para guru besar dan mahasiswa menjadi bagian terpenting yang bisa diandalkan untuk bergerak mengkritisi sikap pemerintah pusat.
"Ketika masyarakat kampus bergerak maka ini jadi seruan yang serius," ungkap dosen ilmu politik FISIP Undip, Dr Nur Hidayat Sardini, Rabu (7/2).
Suara kritis dan protes yang dilayangkan dari dalam kampus tak boleh dianggap enteng. Menilik sejarah ke belakang, Soeharto lengser dari kursi Presiden Indonesia setelah munculnya protes dari dalam kampus di seluruh Indonesia.
Kritik dan protes kecil yang menggulung menjadi gunung es. Berujung aksi demo besar-besaran di berbagai daerah. Aksi massa mahasiswa bertujuan menggulingkan pemerintahan Soeharto yang dinilai sarat KKN. Akhirnya Soeharto memutuskan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia.
Dari pengalaman itu, akankah aksi protes dari civitas akademi berujung pada lengsernya Presiden? Di era reformasi, butuh proses panjang dan berliku untuk melengserkan Presiden dari tampuk kekuasaan.
Pengamat Hukum Tata Negara, Fahri Bachmid mengungkap ada lima alasan hukum seorang presiden bisa dimakzulkan secara konstitusi.
Dia menjelaskan, UUD 1945 telah mengatur prosedur penggulingan kekuasaan presiden secara rigit.
Fahri menjelaskan, pemakzulan presiden secara konstitusional sudah diatur dalam ketentuan pasal 7A 7b UUD 1945. Dalam UUD itu, kata Fahri, meletakkan dasar-dasar bagaimana seorang kepala negara itu bisa dipecat.
"Jadi seorang kepala negara itu di-remove front official dari jabatannya sebagai kepala negara itu pertama yang harus betul-betul terbukti secara hukum," ujar Fahri saat dihubungi merdeka.com, Selasa (13/2).
Di antaranya ada lima alasan. Yakni, pengkhianatan terhadap negara, melakukan tindak pidana korupsi, melakukan tidak pidana berat lainnya, dianggap tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden. Terakhir, melakukan perbuatan tercela.
"5 Prinsip itu salah satunya harus terbukti," tegas Fahri.
Fahri menambahkan, jika prinsip-prinsip pelanggaran tersebut tidak dapat dibuktikan, maka tidak bisa seorang kepala negara dimakzulkan dari jabatannya sebagai presiden.
Prosesnya berlanjut ke legislatif. Kata Fahri, sebagaimana kepala negara itu bisa diberhentikan dari jabatannya. Pertama melalui instrumen pengawasan secara konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD 1945, pertama melalui pengawasan DPR.
"DPR itu harus memastikan bahwa dugaan pelanggaran hukum yang disebutkan tadi itu terbukti melalui secara apa?" kata Fahri lagi.
Misalnya pembuktian yang dilakukan melalui pengawasan fungsional, seperti angket, interpelasi, sampai adanya kesimpulan bahwa seorang kepala negara itu benar melakukan perbuatan melawan hukum.
Tujuannya, untuk mengambil suara 2/3 yang menyetujui bahwa presiden itu harus dimakzulkan. Setelah itu dibawa ke MK.
"Jadi dari 2/3 diambil atau voting di DPR itu baru sebagai syarat formil untuk pengajuan pendapat kepada MK," kata Fahri.
Kemudian, nasib presiden dibawa ke MK. Nantinya hakim MK akan mengadili pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran hukum yang telah diselidiki oleh DPR.
"Apakah korupsi, melakukan kejahatan pengkhianatan terhadap negara, dan lain-lain sesuai minimal 5 itu tadi, apakah terbukti itu atau tidak," imbuh Fahri.
Setelah MK melakukan sidang selama 90 hari, baru akan memutuskan perkara tersebut. Setidaknya, ada 2 kemungkinan.
"Pertama apakah pendapatan DPR itu beralasan menurut hukum atau tidak, atau kedua pendapat DPR oleh MK dianggap tidak memadai atau tidak beralasan menurut hukum," tegas Fahri.
Setelah itu, kata Fahri, putusan MK dikembalikan lagi ke DPR. DPR melakukan persidangan istimewa untuk menentukan suara sah yang hadir. Melanjuti Putusan MK itu ke persidangan istimewa MPR.
"Sidang istimewa MPR juga akan menentukan 2/3 apakah alasan dari DPR itu akan ditindaklanjuti dengan pemberhentian presiden atau tidak," tutur Fahri.
Jadi, tambah Fahri, sebelum persidangan istimewa, MPR memanggil presiden, itu harus menentukan dulu komposisi memenuhi syarat 2/3 baru diundang untuk memberikan penjelasan.
Atau ada semacam pembelaan diri. Setelah itu MPR akan bersikap.
"Ada dua kemungkinan, pertama MPR akan bisa memberhentikan presiden yang kedua bisa saja MPR tidak dapat memberhentikan presiden dengan alasan-alasan tertentu," tegas Fahri.
"Jadi enggak mungkin peluang itu bisa diloloskan ke Parlemen," kata Fahri.
Menurut Fahri, lima unsur pelanggaran yang dijelaskan di atas harus dipenuhi. Kalau hanya pelanggaran kecil seperti administratif, pemakzulan presiden tidak bisa dilakukan.
Fahri menegaskan, tidak bisa serta merta tuduhan dibawa ke MK, mengadili atau memeriksa dengan asumsi. "Apapun jenis pelanggaran pintu masuknya itu harus melalui DPR. Tanpa melalui DPR itu enggak bisa. Jadi keyword-nya itu adalah pada DPR," tegas Fahri.
Senada, Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menilai, pintu masuk proses pemakzulan presiden ada di DPR. Namun sayang, dia melihat situasi politik terkini, DPR tak punya kekuatan untuk melakukan hal tersebut."Seandainya DPR mau menggunakan hak menyatakan pendapat, interpelasi, atau minimal hak angketnya, proses impeachment kepada presiden bisa dilakukan," ujar Bivitri
Bahkan, Bivitri mengaku pesimis melihat komposisi DPR saat ini apabila dikaitkan dengan upaya impeachment terhadap presiden.
"Presiden melanggar atau tidak, kita tak bisa melakukan pemakzulan, DPR yang bisa. Kita di sini semua enggak bisa, ayo DPR berfungsi dong," jelas Bivitri.