Jejak taipan di Kota Cyber
"Kalau tidak dilestarikan bakal jadi dongeng," kata Adi warga asli Pondok Cina.
Reklame bertuliskan "Selamat di Depok Cyber City" menyambut pengguna jalan yang hendak masuk ke Kota Depok dari arah Jalan Raya Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Media reklame itu seolah malu-malu lantaran terhalang daun pepohonan di pinggir jalan masuk Kota Depok. Reklame itu berada sebelum Kampus Bina Sarana Informatika di Jalan Margonda Raya sehabis terowongan jalan layang menuju Universitas Indonesia.
Wali Kota Depok Nurmahmudi Ismail memang berambisi menjadikan Depok sebagai kota cyber. Sejak 2013, wali kota dari Partai Keadilan Sejahtera ini sesumbar menjadikan Kota Depok menjadi kota melek internet. Jika sebelumnya, billboard Nurmahmudi menenteng buah belimbing menjadi andalan ketika dia promosi menjadikan Depok ikon kota belimbing. Kini berubah.
"Besar harapan kami untuk bisa bekerja sama dengan Kagoshima untuk menyukseskan Depok Cybercity" kata Nurmahmudi dalam siaran pers dikutip merdeka.com Juli 2013 silam. Penyataan itu keluar ketika Nurmahmudi mendapat kunjungan Wali Kota Kagoshima, Jepang, Hiroyuki Mori.
Namun jika berbicara Depok ingatan akan tertuju pada sejarah. Maklum, Depok memang dari dulu dikenal sebagai kota sejarah. Jejak Cornelis Castelein tak bisa dilepaskan begitu saja lantaran menjadi cikal bakal berdirinya Depok sebagai kota. Apalagi situs-situs bersejarah berupa bangunan tua peninggalan Belanda masih banyak dijumpai di sekeliling Depok.
Tengok saja Jalan Pemuda di Kecamatan Pancoran Mas. Jalan itu sudah melekat sebagai tempat pusat Kota Depok sejak dulu. Lalu tak kalah penting ialah situs bersejarah rumah Pondok Cina. Rumah terletak di area pusat Perbelanjaan Margocity Square itu menjadi saksi bisu perkembangan cepat Kota Depok di Jalan Margonda Raya. Sejarahnya nyaris orang tak banyak tahu. "Kalau tidak dilestarikan bakal jadi dongeng," kata Adi warga asli Pondok Cina saat berbincang dengan merdeka.com, kemarin.
Bagi warga asli Pondok Cina, rumah itu menjadi saksi penting penamaan nama daerahnya. Cikal bakal nama Pondok Cina melekat di rumah tua bergaya arsitektur Belanda itu. "Makanya orang nyebutnya rumah tua Pondok Cina. Dari saya kecil juga namanya begitu," ujar Adi mengenang. Bahkan seingatnya rumah tua Pondok Cina pernah dijadikan tempat sekolah.
Koordinator Bidang Harta Milik Yayasan Lembaga Cornelis Castelein (YLCC), Ferdy Jonathans bercerita soal sejarah Pondok Cina. Sepengetahuan dia, nama Pondok Cina dari dulu memang sudah melekat. Bahkan sebelum Cornelis Castelein membeli sebidang tanah di Depok, sejarah orang Cina di Depok memang sudah lebih dulu ada.
Wilayah Pondok Cina dulunya merupakan hutan dan rawa-rawa. Cornelis Castelein pun pernah membeli tanah dari tuan tanah asal Tionghoa pemilik rumah tua Pondok Cina. Tuan tanah itu diketahui bernama Tio Tiong Ko. "Cornelis juga membeli sebagian tanah dari pemilik Rumah Tua Pondok Cina," kata Ferdy saat ditemui di kediamannya, Jalan Kartini, Depok Lama.
Ferdy merupakan salah satu keturunan dari 12 marga yang diperbudak Cornelis untuk menggarap tanah. Marganya bernama Jonathans. Perkembangan wilayah Pondok Cina sejatinya memang diilhami oleh Cornelis. Sejak dia menggarap tanah, orang-orang Cina dari Jakarta banyak berdatangan. Kebanyakan mereka berdagang memenuhi kebutuhan sehari-hari para budak dan Cornelis.
Namun Cornelis saat itu memegang politk dagang. Orang-orang Cina pedagang di Depok tak boleh tinggal dan memiliki rumah di wilayahnya. Pada akhirnya orang-orang Cina itu mendirikan pondok di Kampung Bojong yang kini menjadi nama Pondok Cina. Mereka menggunakan rakit dari Jakarta untuk mengirim barang hingga Kota Depok.
Berdasarkan peta abad 18 dalam buku Sejarah Depok Tempo Doeloe, pondok Tjina sudah ada sebelum Cornelis membangun Depok. Pondok Cina diyakini mulai berkembang sebagai tempat singgah sementara bagi orang Tionghoa sejak paruh pertama abad ke-18. "Mereka tidak boleh tinggal di Depok karena dianggap berprilaku buruk bagi para budak Cornelis," tutur Ferdy.
Karena Pondok Cina tidak masuk wilayah Depok, kebanyakan orang-orang Tionghoa dari Jakarta itu akhirnya banyak mendirikan pondok. Pagi hingga sore orang-orang Tionghoa itu berdagang di Depok. Sore hari mereka pulang kembali ke pondok. "Dulu Pondok Cina tidak masuk wilayah Depok," kata Ferdy.
Sayang keberadaan keturunan orang Tionghoa penghuni Pondok Cina sulit untuk ditelusuri. Bahkan narasumber yang merdeka.com temui tak mengetahui jelas siapa keturunan orang Tionghoa di Pondok Cina sekarang ini.
Baca juga:
Menjaga eksistensi di tanah Cornelis
Nasib tragis situs rumah tua Pondok Cina
-
Gedung Pancasila berada di mana? Tidak semua bangunan lawas bisa lestari hingga sekarang. Sayangnya, sebagian di antaranya dibiarkan tak terawat kendati memiliki nilai sejarah, salah satunya gedung Pancasila yang ada di wilayah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
-
Di mana letak situs batu China di Cirebon? Di Desa Ciawi Japura, Kecamatan Susukan Lebak, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, ditemukan sebuah situs batu tulis berusia ratusan tahun.
-
Kenapa tempat wisata sejarah di Jakarta cocok untuk ngabuburit? Nah, untuk masyarakat Jakarta, momen ngabuburit menjadi aktivitas yang menarik untuk dilakukan dengan berpergian ke beberapa destinasi wisata. Di tengah gemerlapnya pusat kota Jakarta yang modern, terselip berbagai tempat wisata bersejarah yang menjadi saksi bisu perkembangan kota ini dari masa ke masa.
-
Pajak apa yang diterapkan di Jakarta pada masa pasca kemerdekaan? Di dekade 1950-an misalnya. Setiap warga di Jakarta akan dibebankan penarikan biaya rutin bagi pemilik sepeda sampai hewan peliharaan.
-
Dimana tempat wisata sejarah di Jakarta yang memiliki penjara bawah tanah? Menariknya, di bawah museum fatahilah ini terdapat berbagai penjara bawah tanah yang bisa kamu kunjungi dan dapat merasakan bagaimana di dalam penjara tersebut.
-
Dimana pusat pemerintahan Kerajaan Singasari? Pusat pemerintahan Singasari saat itu berada di Tumapel.