Kegagalan Cegah Banjir Kalimantan Selatan
Pemerintah seakan tidak pernah mendengar beragam temuan kerusakan alam. Bagi Rukka, banyak izin usaha pertambangan maupun kepala sawit diberikan serampangan.
Rukka Sombolinggi hanya geleng-geleng membaca pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait banjir di Kalimantan Selatan. Dia kecewa. Merasa pernyataan Presiden tidak tegas ungkap penyebab banjir besar yang melanda sejak 13 Januari 2021 itu. Seakan menuduh hujan lebat menjadi akar masalah.
Sebagai Sekretaris Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN), Rukka meyakini banjir besar menerjang sebagian besar wilayah Kalimantan Selatan akibat keserakahan pengusaha. Ini bisa terlihat bagaimana deforestasi terjadi akibat alih fungsi lahan menjadi pertambangan maupun kebun kelapa sawit.
-
Apa yang ditemukan di Kalimantan? Sisa-sisa kuno bagian bumi yang telah lama hilang ditemukan di Kalimantan. Penemuan lempeng Bumi yang diyakini berusia 120 juta tahun.
-
Di mana banjir bandang ini terjadi? Gubernur Sumatera Barat (Sumbar) Mahyeldi meminta bantuan dana Rp1,5 triliun untuk penanganan bencana alam banjir bandang di daerahnya.
-
Bagaimana banjir terjadi di Kota Padang? Hujan tidak berhenti dari Kamis (13/7) malam hingga Jumat (14/7) dini hari. Saat ini air di dalam rumah sudah setinggi 7 centimeter,” tuturnya.
-
Apa yang ditemukan di Kalimantan Utara? Lempeng tektonik berumur 120 juta tahun dengan ukuran seperempat dari Samudera Pasifik terungkap berada di Kalimantan Utara setelah sebagian besar bagian kerak Bumi masuk ke dalam lapisan dalam Bumi.
-
Di mana banjir terjadi di Semarang? Banjir terjadi di daerah Kaligawe dan sebagian Genuk.
-
Dimana saja lokasi rawan banjir di Kabupaten Banyumas? Wilayah rawan longsor di Kabupaten Banyumas, antara lain Kecamatan Sumpiuh, Kemranjen, Gumelar, Pekuncen, Lumbir, Banyumas, Ajibarang, dan Kedungbanteng. Sementara wilayah rawan banjir di antaranya Tambak, Sumpiuh, Kemranjen, Lumbir, dan Wangon,"
Sejak AMAN berdiri tahun 1999, beragam kerusakan alam di Kalimantan memang sudah terlihat. Kondisi ini juga berdampak pada suku Dayak, selaku masyarakat asli di sana. Salah satunya di Desa Dayak Meratus. Sehingga gerakan ini dibangun sebagai perlawanan agar hutan tidak semakin dirusak.
"Banjir yang terjadi Kalimantan Selatan itulah salah satu yang dicegah oleh masyarakat adat selama ini. Tapi pemerintah menutup mata," kata Rukka kepada merdeka.com, Kamis pekan lalu.
Pemerintah seakan tidak pernah mendengar beragam temuan kerusakan alam. Bagi Rukka, banyak izin usaha pertambangan maupun kepala sawit diberikan serampangan. Setidaknya sudah 50 persen lahan di Kalimantan Selatan dikuasai untuk tambang dan perkebunan.
Selama ini warga telah memperjuangkan supaya wilayah adat di Meratus berhenti dirampas, dikupas permukaannya, dan dikeruk isi perut bumi dari tangan tak bertanggungjawab. Sayang usaha itu masih belum dilirik pemerintah.
Greenpeace Indonesia mencatat sepanjang 2001-2019, wilayah Kalimantan Selatan kehilangan 304.223,9 Ha DAS (daerah aliran sungai). Penyebab terbesar yakni, perubahan fungsi lahan.
Adapun tiap tahun jumlah semakin meningkat. Hilangnya tutupan hutan pada 2001 sebanyak 4.274,3 Ha, kemudian 2002 sebesar 11.926,5 Ha, lanjut di 2003 sebanyak 16.615,7 Ha dan terus naik di 2004 sebanyak 16.751,2 Ha dan 2005 sebanyak 21.051,9 Ha.
Pada 2006, sedikit mengalami penurunan sehingga hanya 11.427,5 Ha. Namun, 2007 meningkat lagi menjadi 22.907,2 Ha, kemudian turun lagi di 2008 sebanyak 15.688,9 Ha. Penurunan juga terjadi di 2009 sebanyak 12.708,9 Ha dan 2010 sebanyak 14,464.5 Ha.
Memasuki 2011, kembali terjadi hilangan tutupan hutan sebesar 12,366.9 Ha. Angka itu terus naik di 2012 sebanyak 21,148.6 Ha. Pada 2013 sempat terjadi penurunan hingga 10.443,5 Ha. Kemudian pada 2014, di tahun Presiden Jokowi pertama menjabat justru terjadi peningkatan menjadi 15.190 Ha.
Angka itu terus naik di 2015 sebanyak 19.937 Ha dan puncaknya di 2016 sebanyak 49.388,8 Ha. Pada 2017 terjadi penurunan drastis sebanyak 8,157.4 Ha, lalu 2018 sempat kembali sebanyak 10,224.9 Ha, dan 2019 mengalami penurunan sebanyak 9.550.1 Ha.
Juru Bicara Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Kompas menegaskan, dalam bencana ini proses pemberian izin tidak mempertimbangkan daya tampung lingkungan, dan proses pengawasan dan penegak hukum tidak dilakukan, dan tampak besar direklamasi dibiarkan. Termasuk tambang ilegal sehingga fungsi pemerintah tidak berjalan. Faktor kebijakan dan tata kelola sumber carut marut bagian pemicu bencana.
Katanya, Kalsel ini dikuasai Oligarki. Jadi fungsi pemerintah itu menjalankan regulasi itu sangat lemah. Jadi lebih banyak dipengaruhi Oligarki sehingga kemudian izinnya diberikan jor-joran tanpa memperhatikan lingkungan. "Penegakan hukum menjadi tumpul," ujar Arie kepada merdeka.com.
Dalam lawatannya ke Kalimantan Selatan, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa banjir di hampir 10 kabupaten dan kota, ini mungkin sudah lebih dari 50 tahun tidak terjadi. Dia menyebut tingginya curah hujan terjadi hampir selama 10 hari menyebabkan bencana tersebut.
Kondisi ini juga dilihat dari daya tampung Sungai Barito biasanya menampung 230 juta meter kubik, justru meluap hingga 2,1 miliar kubik air. Keadaan ini yang menyebabkan membanjiri di sebagian besar wilayah Kalimantan Selatan.
Dampak banjir di Kalimantan Selatan dirasakan betul Robby Juhu yang tergabung dalam Masyarakat Adat Hulu Sungai Tengah (HST). Wilayah tempat tinggalnya lumayan parah diterjang banjir dan longsor. Semua hunian rusak dan tertumpuk lumpur.
Menurut Robby, salah satu tempat terparah yakni di Hulu Sungai Tengah. Hampir semua rumah terkena banjir dan lumpur. Bahkan, satu sampai dua Minggu ke depan belum dapat pulih. Robby bersama kawannya telah mendatangi tiga desa, di Kecamatan Hantakan. Di mana desa yang benar-benar sekarang tidak bisa akses jalan itu di Desa Datar Ajap.
"Sebagian saat ini masih mengungsi, ada di tengah hutan," ujar Robby kepada merdeka.com. Di hutan itu, mereka buat tenda berukuran 6 x 8 meter. Di mana ada sekitar 100 orang yang mengungsi di sana. Mereka kini membutuhkan logistik dari masyarakat juga pemerintah.
Pada peristiwa ini, Robby menyebut para tetua di Dayak Meratus menyampaikan pesan leluhur yang dipercaya. Mereka bilang leluhur marah dengan tingkah laku yang tidak bertanggungjawab. Utamanya tentang perusakan lingkungan.
Memang kondisi alam di Kalimantan Selatan sidah banyak yang rusak tidak ada yang bisa menjaga. Banjir besar tahun ini merupakan teguran keras. Saat ini, masyarakat tengah melakukan ritual menyembelih babi yang dipercaya bisa menghentikan segala bencana. "Kalau perspektif masyarakat Dayak Meratus khususnya, bumi sebagai ibu. Yang memberikan kehidupan, kedamaian. Itu bumi, tanah. Kalau hutan itu memberikan ketenangan," ujarnya.
Senada dengan Rukka, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel Kisworo Dwi Cahyono menyesalkan ucapan Jokowi tentang penyebab banjir di Kalimantan Selatan karena faktor hujan lebat. Seharusnya Presiden segera memanggil gubernur, bupati dan wali kota segera turun tangan dan segera bertindak. Kemudian menetapkan status darurat.
Tidak berhenti di situ, Presiden juga memanggil para pemilik perusahaan tambang dan kelapa sawit untuk bertanggungjawab. Langkah ini sekaligus guna menjamin keselamatan rakyat ke depan.
Berdasarkan data yang dimiliki Walhi, Kalsel dengan luas 3,7 juta Ha, ada 13 kabupaten/kota, 50 persen Kalsel sudah dibebani izin tambang sebesar 33 persen, dan perkebunan kelapa sawit sebesar 17 persen. Belum HTI dan HPH.
Di Kalsel ada 172 pulau. Sementara hutan sekunder 581.188 Ha, hutan primer 89.169 Ha, IUPHHK-HA 234.492, 77 Ha, IUPHHK-HA 567.865,51 Ha, izin tambang 1.219.461,21 Ha, dan sawit 620.081,90 Ha.
Selain carut marut tata kelola lingkungan dan SDA, rusaknya daya tampung dan daya dukung lingkungan, termasuk tutupan lahan dan Daerah Aliran Sungai (DAS), banjir kali ini juga sudah bisa diprediksi terkait cuaca BMKG. Dan pemerintah lagi-lagi tidak siap dan masih gagap.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), MR Karliansyah, membantah beragam tudingan penyebab banjir di Kalimantan Selatan. Pihaknya meyakini banjir disebabkan anomali cuaca dan bukan soal luas hutan di DAS Barito wilayah Kalsel.
DAS Barito Kalsel seluas 1,8 juta hektar hanya merupakan sebagian dari DAS Barito Kalimantan seluas 6,2 juta hektar. DAS Barito Kalsel secara kewilayahan hanya mencakup 39,3 persen kawasan hutan dan 60,7 persen Areal Penggunaan Lain (APL) bukan hutan. Kondisi wilayah DAS Barito Kalsel tidak sama dengan DAS Barito Kalimantan secara keseluruhan. Sangat jelas bahwa banjir pada DAS Barito Kalsel yaitu pada Daerah Tampung Air (DTA) Riam Kiwa, DTA Kurau dan DTA Barabai karena curah hujan ekstrem, dan sangat mungkin dengan recurrent periode 50 hingga 100 tahun.
"Kami meluruskan soal ini agar tidak terjadi simpang siur informasi di tengah bencana yang dirasakan masyarakat, sekaligus untuk dapat memberi rekomendasi yang tepat bagi para pengambil kebijakan, khususnya pemerintah daerah dalam mitigasi bencana," ujar Karliansyah.
Sedangkan Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH) Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK, Belinda Arunarwati Margono, menjelaskan sistem pemantauan hutan, peta tutupan lahan Kalimantan periode 1990 hingga 2019, dan hasil analisis tutupan lahan DAS Barito di Kalsel.
Hasil analisis menunjukan bahwa penurunan luas hutan alam DAS Barito di Kalsel selama periode 1990-2019 adalah sebesar 62,8 persen, dengan penurunan hutan terbesar terjadi pada periode 1990-2000 yaitu sebesar 55,5 persen. "Sebagai pemegang mandat pemantauan sumberdaya hutan, data yang ada ini riil, dan bukan prediksi atau estimasi seperti di medsos yang tidak bisa dipertanggungjawabkan," tegas Belinda.
Belinda juga menjelaskan bahwa untuk mendapatkan gambaran secara holistik tentang penyebab banjir perlu dilakukan kajian untuk keseluruhan DAS utama di wilayah banjir. Kajian dilakukan terutama pada DAS Barito yang merupakan DAS utama, dengan perhatian khusus pada wilayah hulu DAS.
DAS Barito dengan luas total lebih kurang 6,2 juta Ha melintasi empat provinsi yaitu Kalteng, Kalsel, Kaltim, dan Kalbar. Untuk luasan DAS Barito di Provinsi Kalimantan Selatan sendiri seluas lebih kurang 1,8 juta hektar atau setara 29 persen.
Berdasarkan data Ditjen PKTL KLHK Tahun 2019, kondisi hulu DAS Barito 80,8 persen bertutupan hutan dengan proporsi 79,3 persen bertutupan hutan alam dan sisanya 1,4 persen adalah hutan tanaman. Sedangkan dari 19,3 persen berpenutupan bukan hutan alam, terdiri dari mayoritas semak belukar dan pertanian campur.
Lebih lanjut, seluas 94.5 persen dari total wilayah Hulu DAS merupakan Kawasan Hutan, dengan 83,3 persen bertutupan hutan alam dan sisanya 1,3 persen adalah hutan tanaman. Sementara 15,4 persen berpenutupan bukan hutan alam yaitu mayoritas semak belukar dan pertanian campur.
DAS Barito di Kalsel memiliki proporsi 39,3 persen kawasan hutan dan 60,7 persen Areal Penggunaan Lain (APL). Khusus untuk kawasan hutan yakni seluas 718.591 Ha sebanyak 43,3 persen arealnya berhutan, dan 56,7 persen tidak berhutan. "DAS di sini ini memang didominasi lahan untuk masyarakat atau disebut Areal Penggunaan Lain yang bukan merupakan Kawasan Hutan," ungkap Belinda.
(mdk/ang)