Akhir Pelarian Bos Kartel Narkoba Kampung Puntun Selama 2 Tahun
Tim mengejar hingga ke semak belukar yang tidak jauh dari kediamannya di pesisir sungai Kahayan, Kalimantan Tengah.
Salihin alias Saleh (39), bandar besar Kampung Puntun akhirnya ditangkap Badan Narkotika Nasional (BNN) setelah melarikan diri selama dua tahun. Dia merupakan bandar narkoba kelas kakap yang menjadi bos kartel di Kampung Puntung Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Dalam pelarian terakhirnya, tim mengejar hingga ke semak belukar yang tidak jauh dari kediamannya di pesisir sungai Kahayan, Kalimantan Tengah, pada Senin, 2 September 2024.
"Saleh masuk kedalam Daftar Pencarian Orang (DPO) atas kasus peredaran gelap narkotika yang membawanya pada hukuman 7 tahun penjara dan denda Rp1 miliar," tutur Karo Humas dan Protokol BNN, Sulistyo Pudjo Hartono dalam keterangannya, Kamis (12/9).
Saleh melarikan diri pasca putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor: 586.k/pid.sus/2022 tanggal 25 Oktober 2022 yang menyatakannya secara sah bersalah. Awalnya, dia memilih kabur ke Samarinda dan menetap selama enam bulan, hingga kemudian terus berpindah dari satu hotel ke hotel lainnya.
Sebab tidak ada tempat lagi yang bisa dituju, Saleh pun bermigrasi ke Banjarmasin hingga satu bulan lamanya. Setelah merasa situasi telah aman, dia memutuskan untuk kembali ke rumahnya di Jalan Rindang Banua Gang Ahklak, Kelurahan Pahandut, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Setelah di kampung halaman, Saleh lantas kembali melakoni perannya sebagai bandar narkoba. Perkembangannya pun pesat, hingga memiliki banyak orang suruhan untuk menjalankan bisnis haram di wilayah tersebut.
"Dari hasil pemeriksaan, diketahui Saleh menerima barang dari seorang bandar besar berinisial Koh A yang mengaku berdomisili di Kota Semarang. Koh A mengirim sabu melalui Banjarmasin menggunakan jalur darat yang kemudian diterima oleh kaki tangan Saleh berinisial AA yang kini masih DPO. Kemudian barang dipecah menjadi beberapa bagian dan dijual melalui loket penjualan narkotika yang berlokasi di belakang rumah Saleh," terang Pudjo.
Dalam prosesnya, uang yang terkumpul dari hasil penjualan narkoba di loket Saleh langsung diserahkan kepada tersangka E. Secara berkala atau tepatnya setiap seminggu sekali, uang tersebut kemudian disetor kepada anak buahnya yang lain berinisial US.
Tersangka E sendiri juga berhasil diringkus BNN sehari setelah penangkapan Saleh. Sementara US yang berperan sebagai penyetor uang hasil dagangan narkoba kepada bandar utama Koh A, masih buron.
Komunikasi antara Saleh dan Koh A hanya sebatas laporan berapa jumlah uang yang telah disetor US. Dari hasil penelusuran, omset perhari dari bisnis narkotika yang dijalankan keduanya berkisar antara Rp 50 juta hingga 100 juta.
"Kepada petugas, Saleh mengaku telah menjalankan bisnis narkoba sejak tahun 2016. Namun saat ditangkap di tahun 2021 lalu dan kemudian buron, peran Saleh hanya sebagai pengendali, dan menerima fee dari bos besarnya, yakni Koh A," ungkap Pudjo.
Tersangka E sendiri mengaku besaran fee yang diterimanya terbilang besar, yakni Rp 50 juta untuk setiap satu kilogram penjualan sabu. Sementara untuk jumlah setoran yang harus diberikan Saleh kepada Koh A, diketahui mencapai Rp 750 juta setiap kilogramnya.
Menurut Pudjo, total tersangka yang ditangkap bersama Saleh ada sebanyak dua orang, yakni E dan M alias U. Adapun untuk 10 orang lainnya yang terjaring masih dalam proses pemeriksaan dan didalami perihal keterlibatannya.
Saleh dikenakan Pasal 114 ayat (2) Jo Pasal 112 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sebagaimana Pasal yang disangkakan terhadapnya saat putusan sidang tahun 2022 silam.
"Hingga saat ini, BNN tetap fokus melakukan penyidikan dan penyelidikan terhadap Tindak Pindana Pencucian Uang (TPPU) pada setiap kasus tindak pidana narkotika, termasuk yang dilakukan oleh komplotan Saleh," Pudjo menandaskan.