Ketika graffiti menyindir pekerja lupa diri
Seni graffiti berkorelasi erat dengan keadaan lingkungan dan isu-isu sosial.
Coretan di depan Gedung Wisma BNI 46, Jalan Jenderal Soedirman, Jakarta Pusat itu begitu menohok bagi para pekerja kantoran daerah yang lalu lalang melintas. Balutan gambar berlatar bunga di tembok besar arah terowongan Setiabudi itu seolah menyindir bagi kaum urban Jakarta. Kalimat di tembok itu berbunyi 'Loyalitas Tanpa Batas Bikin Hidup Makin Terbatas'.
Seni graffiti, begitu sebutan bagi sebuah kelompok yang hobinya mencoret-coret tembok dengan cat atau cat pilox. Sejak kemunculannya 12 tahun lalu di Jakarta, seni graffiti mulai menghiasi ruang-ruang kosong di kota Jakarta dan sekitarnya. Sasaran mereka adalah tembok besar atau tiang beton penyangga jalan layang. Bahkan ketika sedang demam graffiti, gerbong kereta rel listrik tak luput menjadi incaran.
Beberapa literasi menyebutkan jika kehadiran seni graffiti bermula dari Amerika Serikat. Ceritanya dimulai sekitar tahun 1970-an di sebuah distrik kecil di Brooklyn, Amerika Serikat. Di sana hidup seorang tukang pos yang dianggap unik karena selalu membawa cat semprot kemana pun dia bertugas. Usai mengantarkan surat-surat ke alamat tujuannya, tak lupa tukang pos itu mencoret tembok di sekitar alamat tersebut dengan tulisan sederhana, yaitu "Taki 183".
Sampai saat ini, tak ada yang tahu nama asli dari sosok si tukang pos itu, selain kode '183'. Kode itu merupakan nama distrik kecil yang disinyalir sebagai domisilinya. Namun siapa sangka, banyak orang beranggapan bahwa trademark "Taki 183" itu merupakan cikal bakal dari sebuah kultur, pada akhirnya tumbuh di belantara kota Brooklyn dengan istilah Graffiti.
Di Indonesia, ketika mulai marak di tahun 2003, banyak orang beranggapan jika mural dan graffiti merupakan seni jalanan dianggap sebagai cara-cara vandal tertuju pada pihak atau kelompok. Mereka dituding sekedar ingin menambah popularitas dengan menuliskan nama geng atau personalnya. Padahal, kenyataannya banyak karya graffiti justru memiliki peran signifikan. Salah satunya ialah berkorelasi erat dengan keadaan lingkungan dan isu-isu sosial.
Adalah 'Bujangan Urban', salah satu graffiti tersohor di ibu kota Jakarta akan coretan-coretannya. Sang penggagas yang lebih suka dipanggil dengan 'Jablay' atau 'Bujangan Urban', mengaku jika coretan itu adalah bentuk komunikasi dengan para pekerja kantoran di sekitar wilayah Jalan Soedirman. Dia menyindir jika kebanyakan para pekerja di daerah itu lupa memikirkan keluarga. Apalagi ketika jabatan mereka naik.
"Lo pada kerja buat menghidupi keluarga. Tetapi ketika kerjaan lo bertambah dan elo naik jabatan, kenapa lo malah melupakan keluarga," ujar Jablay saat berbincang dengan merdeka.com di toko cat semprot miliknya, Kamis pekan lalu.
"Jadi terbatas kan waktu buat keluarga lo, karena hidup lo malah cuma buat kerja"
Jablay memang mengaku jika ia hanya ingin sekedar berkomunikasi dengan para pekerja di sekitar tempat itu. Paling tidak coretan buah karya dilihat para pekerja yang lalu lalang saban pagi hingga malam menjelang. "Kalau mengenai sasaran gue kenapa menggambar itu, ya dari orang-orang pekerja di sekitar situ saja," Kata Jablay.
Meski dia tak ingin di bilang 'nyinyir' oleh para pekerja kantoran itu, namun Jablay mengingatkan lewat gambar graffiti buatannya. Dia hanya ingin menegur, hidup untuk bekerja sejatinya berbeda dengan bekerja untuk hidup. "Ah kerja mulu lo. Nongkrong kali', kaya gitu lah kira-kira," ujarnya.
Memang, soal seni Graffiti ini banyak juga yang tidak setuju. Tak sedikit kalangan menilai jika keberadaan mereka justru merusak ruang kota yang seharusnya bersih coretan-coretan tak berarti. Namun, sebagai orang yang menggeluti dunia itu, Jablay melihat jika graffiti merupakan objek seni. Dia pun tak masalah jika orang lain bersebrangan pandangan soal seni graffiti. Menurut dia, seni graffiti tergantung dari orang memaknai keberadaan sebuah gambar.
"Menurut gue, enggak ada yang salah dari dua pemahaman itu. Gimana lo mau memaknainya secara luas saja," tutur Jablay.
Meski kesan merusak kadung disematkan dalam seni graffiti khususnya di Jakarta, namun Jablay punya pandangan lain. Bagi dia salah satu pembeda antara seni graffiti dan seni lukis sejenisnya ialah soal aspek keberanian memicu adrenalin. Jablay pun mengaku jika pendapat itu merupakan pandangan subjektif sebagai seorang yang memang menggeluti seni graffiti. Namun dia menjelaskan perbedaan hubungan antara mural dan graffiti.
Mural menurut Jablay korelasinya lebih kepada kritik publik dalam dunia nyata. Sedangkan graffiti merupakan seni berbentuk coretan nama lebih kepada individual atau kelompok. "Baik graffiti atau mural sebagai sebuah objek seni, mereka itu bisa berdiri sendiri-sendiri kalau menurut gue," ujarnya.