Pekerja Keluhkan UMP 2025 Hanya Naik 6,5 Persen, Masih Kurang untuk Hidup Layak
Kenaikan upah tersebut tidak diiringi dengan penurunan biaya hidup yang signifikan.
Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi) berpendapat bahwa kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2025 yang ditetapkan sebesar 6,5 persen tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak.
Kenaikan upah tersebut tidak diiringi dengan penurunan biaya hidup yang signifikan.
Presiden Aspirasi, Mirah Sumirat, mengungkapkan bahwa kenaikan UMP 2025 tersebut masih jauh dari harapan yang diinginkan. Ia sebelumnya telah mengajukan permohonan untuk kenaikan sebesar 20 persen.
"Tentu angka 6,5 persen itu masih jauh dari apa yang kami minta, apa yang kami inginkan. Kalau awal kami, saya sudah menyampaikan 20 persen," ucap Mirah saat diwawancarai pada Sabtu (30/11).
Mirah menekankan pentingnya upaya untuk menurunkan biaya hidup melalui beberapa variabel, seperti harga pangan dan sembako.
Selain itu, ia juga menyoroti perlunya perhatian terhadap aspek transportasi bagi para buruh serta subsidi listrik.
"Misalnya pemerintah melakukan penurunan harga pangan harga 9 dasar bahan pokok sebesar 20 persen dan ada bantuan subsidi untuk transportasi bagi pekerja buruh dan masyarakat kelas ekonomi lemah dan subsidi listrik serta subsidi BBM itu mungkin bisa lah ya di angka 6,5 persen," tuturnya.
Dengan langkah-langkah tersebut, beban biaya hidup buruh diharapkan dapat terpenuhi. Namun, jika kenaikan UMP 2025 yang sebesar 6,5 persen tidak disertai dengan penurunan variabel-variabel tersebut, Mirah berpendapat bahwa hal itu belum dapat memenuhi kebutuhan hidup layak para buruh.
"Tapi itu tidak dibarengi dengan penurunan harga, tidak dibarengi dengan adanya subsidi listrik BBM dan sebagainya. Maka belum memenuhi kehidupan hidup layak itu. Belum memenuhi. Maka dari itu dari kami angka 6,5 persen masih belum layak bagi kehidupan pekerja buruh," katanya.
Pengusaha Tanggung Biaya Tambahan
Pemerintah telah mengumumkan bahwa upah minimum provinsi (UMP) untuk tahun 2025 akan mengalami kenaikan sebesar 6,5 persen. Namun, para pengusaha mengungkapkan bahwa dampak biaya yang ditimbulkan akibat kenaikan tersebut bisa jauh lebih besar.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bob Azam, menyatakan bahwa beban biaya yang harus ditanggung perusahaan untuk tenaga kerja akan meningkat. Dalam perhitungannya, Bob mencatat bahwa beban biaya di sektor ini bisa mencapai 9,5 persen.
"Ya pasti paling tidak multiplier effect-nya bisa sampai dengan kenaikan 7,5-9,5 persen labor cost-nya," kata Bob, saat dihubungi oleh Liputan6.com pada Sabtu (30/11).
Dengan adanya kenaikan biaya ini, pengeluaran perusahaan untuk produksi akan menjadi lebih tinggi, meskipun UMP 2025 hanya mengalami peningkatan sebesar 6,5 persen. Bob menegaskan bahwa peningkatan biaya ini akan berdampak pada rencana ekspansi perusahaan.
Karena situasi ini, perusahaan terpaksa menunda rencana ekspansi yang telah disusun. Ketika biaya operasional meningkat, langkah efisiensi menjadi hal yang tidak terhindarkan.
"Pastilah langkah efisiensi menjadi keharusan, bukan pilihan lagi," ungkapnya.
Saat ditanya mengenai kemungkinan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) atau pengurangan jumlah karyawan, Bob menjelaskan bahwa keputusan tersebut tergantung pada masing-masing kebijakan perusahaan. Namun, dia menekankan bahwa PHK seharusnya menjadi pilihan terakhir.
"Itu kebijakan perusahaan masing-masing. Sedapat mungkin kita hindari, jadi pilihan terakhir. Perusahaan itu bapaknya karyawan dan buruh," pungkas Bob.