Komersialisasi budaya Palang Pintu
Jangan sampai orang tertarik akan budaya Palang Pintu, enggak jadi karena mentok di urusan duit.
Upaya pelestarian sebuah budaya, kadang dihadapkan pada kebutuhan mendasar para pelakunya. Hal inilah yang kerap menjadikan pelestarian budaya Betawi, termasuk tradisi Palang Pintu, kerap dikomersialisasi oleh pihak-pihak yang hanya mencari keuntungan. Pihak-pihak itu tak memikirkan aspek pelestarian budaya palang pintu.
Hal itu juga dikeluhkan oleh Zahrudin Ali, 52 tahun. Sebagai pemilik sanggar Betawi Batavia Grup, Bang Udin, begitu ia kerap disapa, menuturkan jika budaya jangan dijadikan sebagai tempat untuk mencari uang. Apalagi budaya palang pintu menurutnya, merupakan bagian dari keseharian orang-orang Betawi. "Karena budaya itu kan bagian dari kebiasaan orang Betawi, boleh dikatakan itu pekerjaan yang harus ikhlas," ujar Bang Udin saat berbincang dengan merdeka.com di kediamannya, Condet, Jakarta Timur, Selasa pekan lalu.
-
Bagaimana keragaman budaya di Indonesia menciptakan mozaik budaya yang unik? Dengan lebih dari 300 suku dan berbagai bahasa daerah, keberagaman ini menciptakan mozaik budaya yang unik.
-
Apa itu Tradisi Ujungan? Warga di kampung adat Cibadak, Desa Warung Banten, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak memiliki sebuah tradisi unik bernama Ujungan.
-
Apa makna dari budaya mencium tangan di Indonesia? Biasanya, budaya cium tangan atau salim tangan ini dilakukan oleh orang yang lebih muda kepada yang lebih tua sebagai tanda hormat dan sopan santun.
-
Kapan Muhibah Budaya dalam rangkaian Banyuwangi Ethno Carnival digelar? Muhibah Budaya yang digelar Jumat malam (7/7/2023) tersebut menampilkan berbagai atraksi tari dari sejumlah daerah.
-
Kapan Kain Batik Besurek ditetapkan sebagai warisan budaya Indonesia? Pemerintah Indonesia sudah menetapkan kain ini sebagai Warisan Budaya Tak Benda pada tahun 2015 silam.
-
Bagaimana cara melestarikan tari tradisional di Indonesia? Mendidik dan melatih generasi muda untuk mempelajari dan menguasai tari tradisional dari daerah asalnya. Hal ini dapat dilakukan melalui kurikulum sekolah, sanggar tari, komunitas tari, atau media daring.
Meski Bang Udin menyebut wajar jika salah satu pihak mendapat keuntungan dari upaya pelestarian sebuah budaya. Namun dia menegaskan jika dalam upaya pelestarian palang pintu, uang bukan menjadi tujuan utama. Apalagi yang ditakutkan dari komersialisasi itu kata Bang Udin, adalah adanya persaingan antara sanggar yang justru akan memusnahkan budaya itu sendiri. Sebagai contoh dia menjelaskan, jika orang yang melestarikan soto betawi, sama seperti orang yang menjaga budaya palang pintu. Menurutnya, setiap sanggar yang memiliki pelestarian budaya Palang Pintu sudah seharusnya ikut berbagi ilmu yang ia miliki.
"Kalau ane, bicara masalah harga sebenarnya relatif. Kalau untuk umum aja, yang lengkap itu biasanya cuma Rp 2,5 juta,"ujarnya. Padahal Sanggar Batavia Grup yang dipimpinnya itu sudah tujuh kali memenangkan lomba se-Jabodetabek. Dia hanya berharap, tujuan semua sanggar budaya Betawi itu seharusnya seiring sejalan, guna menjadikan budaya Betawi tuan rumah di tanahnya sendiri. "Jangan sampai orang mau pake jasa kita karena tertarik akan budaya Palang Pintu, enggak jadi hanya karena mentok di urusan duit"
Berbeda dengan Bang Udin, Indra Sutisna, 46 tahun, Pemerhati Budaya Betawi sekaligus Pengelola Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan mengatakan jika ia memaklumi jika ada sebagian sanggar yang memasang tarif untuk sekali pementasan. Hal itu menurutnya biasa lantaran dalam pelestarian budaya, kebutuhan ekonomi menjadi salah satu faktor bagi para pelaku menggantungkan hidup dari pementasan budaya palang pintu.
"Dianggap komersil, ya kan karena memang semuanya butuh biaya," ujar Indra melalui sambungan seluler, Jumat pekan lalu. Namun, Indra menekankan jika sanggar-sanggar yang mementaskan budaya palang pintu tak hanya melihat komersil saja. Melainkan pemaknaan mendalam terkait tradisi turun temurun di mana budaya Betawi begitu kental di dalamnya. Karena menurut Indra, jangan sampai tradisi palang pintu hilang lantaran berlomba-lomba untuk mendapatkan uang.
"Jangan hanya karena tujuannya komersil, nilai budayanya malah dihilangkan. Kalau gitu makna semuanya bisa hilang pelan-pelan karena orientasinya jadi sangat komersil," ujar Indra.
Untuk mempertahankan tradisi ini, Bang Udin pun mencoba langkah pelan-pelan agar palang pintu tak tergerus oleh zaman. Dia pun saat ini mencoba mengajak anak-anak muda untuk ikut bergabung melestarikan palang pintu. "Dari yang muda sampai yang tua juga ada," ujar Bang Udin," ujar Bang Udin.
Dalam sanggar milik Bang Udin, para peserta tak hanya dilatih kemampuannya dalam berpantun, melainkan juga bela diri sebagai hakikat memahami pemaknaan Palang Pintu. Selain dua hal tersebut, Bang Udin juga membekali sejumlah nasihat berupa nilai-nilai keagamaan agar tak sombong dalam kehidupan sehari-hari. Prinsipnya ialah memegang amanah dari ilmu yang telah di berikan. "Jambu biji jambu bangkok, tanem di belakang rumah tolong ambilin, percuma belajar ngaji ampe bongkok, kalau ilmunye kagak diamalin," tuturnya dengan pantun.
(mdk/arb)