Kuasa besar Menteri Tifatul
DPR sepakat digitalisasi mesti dipayungi oleh undang-undang.
Proses digitalisasi dunia penyiaran masih belum tokcer. Rencana seluruh wilayah Indonesia pada 2015 sudah beralih pada penyiaran digital mungkin molor.
Frekuensi publik saat ini dinikmati televisi grup besar tidak jadi tutup pada 2018. Sebab, aturan anyar dikeluarkan Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring membatasi tidak ada penghentian dari analog ke digital.
“Setelah diperhitungkan 2020 kita membutuhkan bandwith sekitar 1.720 MHz. Sementara yang dialokasikan di Kominfo hanya 764MHz," kata Staf Ahli Menteri Hendry Subianto dalam diskusi problematik penyiaran digital beberapa waktu lalu. "Maka pada 2020 suka atau tidak suka ada perubahan frekuensi dari 180 juta pengguna tidak bisa dipakai karena akan lemot.”
Tetapi bukan masalah bandwith dikeluhkan para aktivis media dan pengusaha media penyiaran daerah. Kewenangan dimiliki Menteri Tifatul sangat besar. Hanya bermodal peraturan menteri, aturan digitalisasi digulirkan di Indonesia. Idealnya, digitalisasi dengan segala problemnya diatur dalam undang-undang.
Teranyar, Tifatul hanya mengganti nomor peraturan Kominfo nomor 22/PER/ M.KOMINFO/11/2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Teresterial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar menjadi nomor 32 tahun 2013 setelah dibatalkan Mahkamah Agung. Pemerintah berkukuh dasar hukum digitalisasi dunia penyiaran merujuk Undang-undang nomor 32 tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah nomor 11 tahun 2005. "Ini sudah berkali-kali sudah digugat dan menang,” ujar Hendry.
Direktur Lembaga Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) Amir Effendi Siregar menilai aturan dikeluarkan Menteri Tifatul berarti melawan Mahkamah Agung. “Seharunya permen itu tidak sah, termasuk proses dan pengumuman pemenang. Maka itu akal-akalan dan memaksakan diri,” tuturnya.
Secara substansial isi Peraturan Menteri nomor 22 dan Peraturan Menteri nomor 32 tidak jauh berbeda. Alasannya, aturan pengganti itu mempertahankan konsentrasi kepemilikan media penyiaran.
Selain itu, aturan sepihak menteri telah menyingkirkan peranan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga mengatur penyiaran. “Menurut saya itu otoriter dan hendak menyingkirkan KPI. Peraturan seharusnya memberikan peluang kepada semua pihak dan digitalisasi memang seharusnya diatur dalam undang-undang,” kata Amir.
Komisioner KPI Azimah Subagijo mengakui digitalisasi televisi tidak cukup diatur lewat peraturan menteri. Apalagi peraturan ini juga mengikis beberapa kewenangan KPI. "Jangan sampai KPI menjadi kempis dan ini menjadi tugas kita. Ada di bab 7 pasal 23 tentang pengawasan dan pengendalian secara menyeluruh. Ini yang kami perjuangkan agar KPI masuk dalam tim itu,” ujarnya.
Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Mahfudz Siddiq menegaskan pihaknya mengakui merujuk pada negara lain, digitalisasi diatur dalam undang-undang. “Atas dasar itu Komisi I ramai mendiskusikan ini dan sepakat digitalisasi di Indonesia harus dipayungi oleh UU. Ketika ditelaah UU Penyiaran dan UU Telekomunikasi belum menyentuh persoalan digital,” katanya.
Dia menjelaskan langkah dilakukan DPR adalah mendorong revisi UU Penyiaran sehingga kebijakan negara menjadi kuat. Dia mengakui pemerintah tidak menyiapkan aturan digitalisasi dengan baik. Padahal, Komisi I DPR telah mengambil inisiatif merevisi UU Penyiaran.