Pers bebas, wartawan nikmati belenggu
Bisakah wartawan mengingkari kebebasan dengan dalih kebijakan perusahaan atau perintah atasan?
Seorang kawan, pengusaha muda sukses, melalui WhatsApp bertanya: apa betul ada kelompok wartawan yang memboikot sebuah kafe jaringan internasional yang tersebar di Indonesia? Pertanyaan ini disertai link sebuah situs yang menulis soal boikot itu.
Tanpa membuka link situs yang dikirimnya, saya menjawab: tidak ada organisasi wartawan yang boikot; sebagai anggota AJI, saya tidak menerima instruksi organisasi; saya tahu, bukan style PWI main boikot-boikotan; saya juga sering melihat pimpinan IJTI kongkow-kongkow di kafe tersebut. Jawab saya menyebut tiga nama organisasi wartawan yang diakui Dewan Pers.
Lalu kawan tadi menyebut nama mantan pemimpin redaksi media ternama, sebagai orang yang menyerukan anak buahnya untuk memboikot kafe tersebut. Mengapa? Sebab, kafe tersebut dimiliki oleh seorang konglomerat yang kabur ke luar negeri karena kasus BLBI. Saya pun tergerak untuk membuka link situs yang dikirimnya.
Selanjutnya kepada kawan tadi saya bilang, kalau kehadiran kafe yang dimiliki salah satu perusahaan milik sang konglomerat yang kabur tadi, merupakan problem serius sehingga muncul komitmen untuk memeranginya, itu sebuah penyikapan pribadi yang patut dihargai.
Masalahnya, apakah wartawan di grup tersebut seiya sekata dengan bosnya? Soalnya baru-baru ini, saya melihat wartawan grup tersebut masih asyik menyeruput kopi di kafe tersebut. Jika bosnya tahu, apakah dia akan mendapatkan teguran, sanksi lain, atau bahkan dipecat?
Saya tidak tahu. Namun untuk grup media yang lain, ada yang sudah jelas ceritanya.
Beberapa pekan lalu, e-mail seorang bos grup media beredar luas. Dalam email tersebut, dia marah besar karena jajaran redaksi yang dibawahinya memuat sosok yang dimusuhi pemilik perusahaan. Tak berapa lama, orang-orang yang dianggap bertanggung jawab mengundurkan diri. Jika tidak mundur, mungkin akan dipecat juga.
Ada cerita lain yang lebih seru, tapi maaf, tidak ada bukti tertulis, suara, maupun gambar. Saking serunya, cerita ini jadi bahan canda tawa di kalangan wartawan. Ini cerita tentang seorang pemimpin redaksi sebuah stasiun televisi yang alih profesi ke dunia politik. Tentu dia mungundurkan diri.
Pemilik grup media pun menunjuk pemimpin redaksi baru. Karena pemimpin redaksi stasiun televisi ini adalah pemimpin redaksi di antara pemimpin-pemimpin redaksi media-media yang dimiliki grup, maka pergantian tersebut langsung diikuti oleh rapat yang dihadiri seluruh pemimpin redaksi di grup tersebut.
Inilah kira-kira yang disampaikan pemimpin redaksi dari para pemimpin redaksi itu.
"Saudara-saudara, saya mau berterus terang dari awal agar semuanya jelas. Saya ini anjingnya pemilik (aslinya dia menyebut nama, tapi saya sebut pemilik saja di sini). Pemilik suruh menggonggong, sayang menggonggong; pemilik suruh gigit, saya menggigit. Jadi, apa yang saya minta ke saudara-saudara, adalah permintaan pemilik.”
Tiga kisah laku pemilik dan pemimpin media di atas memang tidak sebanding. Tapi ada satu hal yang perlu direnungkan: bagaimana sesungguhnya hubungan pemilik dan pemimpin media dengan jajaran redaksi yang dihuni para wartawan?
Apabila pemimpin atau pemilik memiliki sikap pribadi terhadap suatu situasi, haruskah sikap itu diikuti oleh jajaran redaksi, apapun pertimbangannya: moral, politik atau bisnis? Jika para wartawan di bawahnya tidak sependapat tapi tetap saja mengikuti perintahnya, pantaskah mereka beralasan: ya, apa boleh buat, ini kebijakan perusahaan.
Kebebasan memang mahal. Sebab, dia menuntut tanggung jawab, membawa risiko.