Presiden lagi alay bin lebay
SBY tahu ada petinggi TNI tidak netral. SBY mengeluh ada menteri yang tidak kerja.
SBY gemar berterang-terang dalam gelap dan bergelap-gelap dalam terang. Kalau di panggung, adegan berterang dalam gelap dan bergelap dalam terang, bisa membuat tawa riuh penonton. Kalau di pasar, pernyataan berterang dalam gelap dan bergelap dalam terang saat tawar menawar, mendorong penjual dan pembeli untuk segera berlaku jujur berapa keuntungan yang dicapai masing-masing.
Tapi kalau di arena politik, kegemaran berterang dalam gelap dan bergelap dalam terang tentu dampaknya berbeda. Tidak hanya jadi kontroversi, tapi juga menciptakan persepsi salah atas institusi dan prestasi. Apalagi SBY sadar jika pernyataan itu dikeluarkan dari seorang presiden, bukan dari seorang ketua partai politik, apalagi dari seorang suami, seperti yang disampaikan dalam dua hari terakhir.
Pertama, Senin (2/6) lalu, di Istana, SBY bertutur panjang soal adanya jenderal aktif yang mau mengarahkan TNI ke calon presiden tertentu. Kedua, esoknya, Selasa (3/6), SBY mengeluhkan beberapa menteri yang sibuk berkampanye daripada mengurus kementeriannya. Yang pertama saya sebut berterang-terang dalam gelap; yang kedua saya sebut sebaliknya, bergelap-gelap dalam terang.
Di hadapan pimpinan TNI, secara terbuka, SBY mengaku mendengar ada jenderal yang hendak membawa TNI untuk memihak ke calon presiden tertentu. Informasi ini sudah terkonfirmasi, sehingga selaku presiden dia merasa wajib memperingatkan jajaran TNI.
Tentu saja pernyataan presiden tersebut mengejutkan. Sebab, selama ini tidak ada tanda-tanda tentara memihak ke calon presiden tertentu. Apalagi, media massa juga kerap melaporkan betapa seriusnya pimpinan TNI menjaga netralitas dalam pemilu. Oleh karena itu, pernyataan presiden itu membuat tanda tanya besar.
Jika benar, presiden punya informasi sahih soal kelakuan buruk para jenderal, tentu tidak sepatutnya dia ungkapkan secara terbuka. Lebih baik hal itu dibahas dalam forum terbatas. Sebab, dalam hal ini yang diperlukan adalah tindakan: memberi sanksi jenderal yang bersalah; bukan mengumbar teka-teki siapa jenderal yang berpolitik.
Pernyataan berterang-terang dalam gelap itu jelas menimbulkan dampak buruk terhadap TNI sebagai institusi. Sebab, sejak reformasi lembaga ini berusaha keras menjaga netralitas politik. Sejauh ini upaya itu berhasil sehingga dibandingkan dengan lembaga-lembaga negara lainnya, TNI tercatat paling reformis.
Namun prestasi itu bisa rusak oleh pernyataan presiden. Kepercayaan rakyat terhadap TNI bisa luntur kembali. Apalagi jika presiden membiarkan jenderal-jenderal yang dituduhnya tetap memimpin TNI. Jadi, apa maunya presiden?
Sebaliknya, terhadap para politisi yang membantunya jadi menteri, SBY justru bergelap-gelap dalam terang. Semua orang tahu, setelah pemilu legislatif, beberapa menteri sibuk mengurus pencalonan presiden. Mereka terlibat lobi sana-sini, melerai ketegangan internal, dan membujuk rayu para kader utama menyatukan pendapat.
Jadi, kalau presiden bilang, ada menteri yang sibuk mengurus politik sehingga kehilangan fokus mengurus kementeriannya, sesungguhnya bisa dimengerti. Yang tidak bisa dipahami adalah pernyataan itu disampaikan dengan teka-teki, seakan-akan rakyat tidak tahu ada menteri yang tidak mengurus kementeriannya.
Jika rakyat saja tahu, karena melalui media massa aktivitas para menteri itu bisa dimonitor, mengapa presiden tidak langsung saja memanggil, menegur, dan memperingatkan, dan jika perlu memberhentikannya? Apa kalau presiden bicara secara terbuka, lalu para menteri tadi sadar diri? Tidak juga. Mereka malah membantah pernyataan presiden.
Ya, kita memang tidak perlu berharap, Presiden SBY akan menindak jenderal-jenderal yang dituduhnya membawa TNI ke calon presiden tertentu. Kita juga mafhum, kejengkelan presiden kepada menterinya yang sibuk berpolitik, hanyalah sebatas pada kata-kata. Tak usah dibayangkan akan ada langkah konkret.
Apa yang dikeluhkesahkan SBY sebetulnya hanyalah kegalauan personal menjelang masa pensiun. Dia merasa tidak dibutuhkan lagi oleh anak buahnya; dia merasa tidak diperhatikan lagi sebagaimana layaknya seorang presiden. Akibatnya, dia alay bin lebay.