Protes SBY kepada media
SBY kian sering protes kepada media. Padahal yang dimaksud adalah media milik lawan politiknya.
SBY adalah presiden yang paling banyak mengeluhkan media massa. Bukan lantaran masa jabatannya paling lama di antara empat presiden pasca-Orde Baru, tetapi frekuensi keluh kesahnya memang tinggi dibanding tiga pendahulunya.
Habibie nyaris tidak pernah komplain atas pemberitaan media. Dia berterus terang, tidak membaca koran dan nonton berita secara rutin. Tidak punya waktu, katanya. Tapi komitmen atas kebebasan pers, tidak diragukan. Pada masa Habibie, izin penerbitan dicabut. Pada masa dia pula undang-undang yang menjamin kebebasan pers disahkan.
Gus Dur adalah kawan lama pers. Tidak ada tokoh pers zaman Orde Baru yang tidak dekat dengan Gus Dur. Karena itu, meskipun banyak kalangan (melalui media massa) mempertanyakan "moral politik" pencalonannya sebagai presiden, tetapi ketika terpilih, semua media sepakat mendukung kepemimpinannya.
Tapi bulan madu Gus Dur dan media, hanya berlangsung satu tahun. Setelah itu, media mengritisi semua kebijakan dan tindak tanduknya. Media juga yang mengopinikan agar Gus Dur turun, karena langkah-langkah kontroversialnya dianggap sudah kebablasan, sehingga mengancam stabilitas politik.
Dari kawan, Gus Dur menjadi lawan media. Tidak hanya mengritik secara terbuka media yang menyerangnya, Gus Dur kerap menuding beberapa nama tokoh media yang jadi sumber tidak netralnya media. Kegeraman Gus Dur terhadap media ini yang mendorong Banser Jawa Timur menyerbu kantor koran Jawa Pos hingga tidak bisa terbit.
Lain Gus Dur, lain Mega. Sebagai presiden yang irit bicara, Mega tidak pernah mengritik media secara terbuka. Kesan dan pesannya disampaikan saat pidato hari pers. Tapi bukan berarti Mega tidak punya masalah. Dia juga komplain, tetapi itu dilakukan di kalangan terbatas. Orang media pun mendengar selentingan komplainnya dari orang lain.
Terpilihnya SBY sebetulnya tidak lepas dari dukungan media. Ia berhasil memanfaatkan situasi buruk yang dialaminya saat-saat akhir dalam pemerintahan Mega. Tekanan keras Taufiq Kiemas dan orang-orang PDIP yang dipublikasikan secara luas oleh media, justru berbuah manis: menjadi pihak teraniaya yang harus dibela.
Menjelang Pilpres 2004, dukungan media kepada SBY-Kalla sangat kuat. Meskipun Jawa Pos Grup tidak pernah terang-terangan pro-SBY-Kalla dalam tajuknya, namun pilihan foto, berita dan judul, menunjukkan jelas dukungan media milik Dahlan Iskan ini kepada SBY-Kalla. Ini berlanjut pada SBY-Boediono menjelang Pilpres 2009.
Namun yang paling terasa kongkrit adalah dukungan dari TransTV dan Trans7 milik Chairul Tanjung. Dukungan tidak hanya diberikan melalui liputan kampanye Partai Demokrat dan SBY-Boediono, tetapi juga momen-momen politik yang disiarkan secara langsung selama berjam-jam.
Arti penting dukungan televisi adalah siarannya yang luas, mencapai 90 persen lebih penduduk Indonesia. Bandingkan dengan koran yang hanya dibaca kurang dari 8 persen penduduk Indonesia.
Lalu kalau kini SBY sering mengeluhkan media, apa masalahnya? Sesungguhnya selama berkuasa keluhan SBY lebih banyak bersifat kritik. Ini penting buat media, karena media juga perlu diingatkan agar berjalan sesuai prinsip kebebasan pers yang dimilikinya.
Namun belakangan kritik SBY semakin kencang. Bukan keluh kesah lagi, tapi protes karena merasa diperlakukan tidak adil. Protes keras SBY ini yang lalu didengungkan oleh para pembantunya di pemerintahan, seperti Sudi Silalahi dan Dipo Alam, serta anak buahnya di Partai Demokrat, seperti Ruhut Sitompul dan Ramadan Pohan.
Tapi sayang protes keras SBY, sering, bahkan selalu, salah sasaran. SBY seakan tidak sadar, bahwa media itu plural, beragam. Banyak media yang bersikap fair atas apa yang dilakukannya, baik sebagai presiden maupun ketua partai. Sorotan tajam memang harus diarahkan kepadanya, karena tindak tanduk dan keputusan punya dampak luas.
Oleh karena itu, jika ada media yang tidak fair terhadap dirinya, SBY mestinya sebut nama media itu. Tidak perlu digeneralisasi sehingga menimbulkan kesan buruk orang media terhadap dirinya. Toh semua orang sudah tahu, sesungguhnya SBY protes atas pemberitaan TvOne dan Metro TV. Lalu mengapa media lain harus diperlakukan sama dengan televisi milik Aburizal Bakrie dan Surya Paloh itu.