Terserang El Nino dan Anomali Mahalnya Harga Beras
Dampak El Nino akan menganggu komoditas tanaman utama, seperti gandum, jagung, beras, kedelai, dan sorgum.
Dampak dari fenomena El Nino pada tahun 2023 dirasakan cukup luas oleh beragam masyarakat di dunia. Fenomena ini bahkan mengganggu stabilitas pangan.
Terserang El Nino dan Anomali Mahalnya Harga Beras
Terserang El Nino dan Anomali Mahalnya Harga Beras
Dulu, hampir semua negara produsen beras datang ke Indonesia. Mereka menawarkan beras. Tapi tidak hari ini. Kondisinya tak lagi sama. Beras langka, harganya pun mahal.
Cerita itu disampaikan Presiden Joko Widodo di hadapan para petinggi TNI/Polri. Ketika itu, Jokowi menyampaikan soal tantangan global yang berpengaruh pada kondisi dalam negeri.
“Sekarang kita mencari beras ke negara produsen tidak gampang, tidak mudah. Semua rem tidak ekspor bahan pangan. Akibat perubahan iklim, perubahan cuaca dan rantai pasok,” ujar Jokowi di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (28/2).
Kelangkaan beras juga berimbas pada mahalnya harga jual. Kepala Negara mengakui, hampir semua negara mengalami kenaikan harga beras, termasuk Indonesia. Menurut Presiden, biang kerok mahalnya harga beras karena el nino.
"Kenapa harga beras naik? Karena perubahan musim, karena el nino, dan itu bukan Hanya dialami negara kita saja,” kata Jokowi saat membagikan bantuan beras el nino di Maros, Sulawesi Selatan, Kamis (22/2).
Dampak dari fenomena El Nino pada tahun 2023 dirasakan cukup luas oleh beragam masyarakat di dunia. Fenomena ini bahkan mengganggu stabilitas pangan.
Dalam laman resmi NASA, El Nino merupakan fenomena iklim alami yang ditandai dengan suhu permukaan laut yang lebih hangat dari biasanya.
Para ilmuwan dari jaringan Famine Early Warning Systems Network (FEWS NET, Sistem Peringatan Dini Kelaparan) memproyeksikan dampak El Nino akan menganggu komoditas tanaman utama, seperti gandum, jagung, beras, kedelai, dan sorgum.
"Peristiwa El Nino diperkirakan mempengaruhi hasil panen setidaknya di seperempat lahan pertanian global,” kata Weston Anderson, asisten ilmuwan peneliti di tim sains FEWS NET.
El Nino bukan hanya terjadi kali ini saja. Sejarah mencatat, sebelum musim 2023-2024, dalam 30 tahun terakhir terdapat dua peristiwa El Nino ekstrem.
Pertama pada 1997-1998, dan kedua pada 2015-2016. Keduanya menyebabkan perubahan suhu udara dan lautan global, pola angin, dan curah hujan di atmosfer, serta permukaan laut.
Seiring musim kemarau panjang sehingga menyebabkan waktu panen menjadi mundur, banyak pihak yang mengatakan fenomena El Nino tahun 2023 seperti fenomena yang pernah terjadi di tahun 2015.
Saat itu, BMKG mengatakan level El Nino di tahun 2015 hingga 2016 berada di tingkat moderat menuju kuat.
Lembaga antariksa NASA bahkan menyebut tren El Nino di tahun 2015 hampir melampaui rekor di tahun 1997.
Di periode 1997, sejumlah wilayah di Indonesia seperti Jawa, Bali dan Nusa Tenggara mengalami defisit air sekitar 20 miliar meter kubik. Sebanyak 111 ribu hektar lahan sawah juga mengalami kekeringan ekstrem.
Sementara di tahun 2023, BMKG menyampaikan level El Nino berada di tingkat moderat. Tren ini diprediksi akan terus berlangsung pada periode Desember, Januari, hingga Februari.
Lalu, bagaimana El Nino Bisa mengganggu stabilitas pangan, seperti beras di Indonesia?
Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, mengatakan fenomena El Nino ini menyebabkan, kondisi kemarau 2023 lebih kering dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Meski demikian level El Nino pada tahun 2023 berada di level moderat.
"Kalau tiga tahun terakhir ini saat musim kemarau masih sering terjadi hujan, maka di tahun ini (2023), intensitas hujan akan jauh menurun," ungkap Dwikorita dalam keterangannya, dikutip Jumat (27/1).
Sebagai gambaran, dia menyebutkan curah hujan di Stasiun Meteorologi Juanda-Surabaya biasanya berkisar 2.800-2.900 mm per tahun, tetapi pada 2023 sejak Januari sampai awal Desember curah hujannya hanya sekitar 700 mm.
Akibat intensitas hujan yang rendah sepanjang tahun 2023, panen raya di Indonesia pun mundur. Akibatnya, stok beras nasional untuk kebutuhan masyarakat terganggu.
Penyuluh Pertanian Madya Pada Disperpa Kota Magelang, Among Wibowo, menjelaskan, kebutuhan air untuk tanaman padi sawah cukup tinggi. Kebutuhan ini mencakup air yang masuk dan keluar dari lahan sawah.
Pada tanaman padi, terdapat tiga fase pertumbuhan yaitu fase vegetatif (0-60 hari), fase generatif (60-90 hari), dan fase pemasakan (90-120 hari).
Penjelasan Among yang dipublikasi melalui laman Dinas Pertanian Magelang menjabarkan rata-rata jumlah air yang dibutuhkan untuk memproduksi padi yang optimal adalah 180-300 mm/bulan.
Sedangkan dalam satu periode tanam, kebutuhan air setiap petak sawah berkisar 1.240 mm. Jumlah ini untuk seluruh operasional pengelolaan sawah beririgasi seperti pembibitan, persiapan lahan dan irigasi.
Angka kebutuhan ini setelah dihitung dari kehilangan air pada petak sawah melalui evaporasi, transpirasi. Dalam analisanya, setiap petak sawah, rata-rata kehilangan air antara 5,6-20,4 mm/hari.
"Dia memang membutuhkan air sangat banyak tiap fasenya, dari mulai vegetatifnya, hingga tanaman itu terisi bulir padinya, itu semua membutuhkan air dalam jumlah yang banyak," kata Khudori kepada merdeka.com, Senin (4/3).
Di satu sisi, El Nino bukan faktor utama yang menyebabkan stok hingga harga beras di Indonesia langka dan mahal. Menurut Khudori, El Nino hanyalah faktor pemberat dari tren produksi beras nasional.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan Khudori, lima hingga enam tahun terakhir produksi beras nasional mengalami tren penurunan. Penyebabnya, lahan yang terus menyempit.
Penurunan luas tanah untuk sawah yang terus menurun tidak diikuti dengan jumlah produksi. Khudori menuturkan, jika melihat jumlah produksi berasg nasional memang mengalami peningkatan namun itu skalanya minor. Atau, tidak bisa mengimbangi dengan luas lahan sawah yang terus menyempit.