Tanah Jenderal Disikat Mafia
Mantan direktur Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI Mayjen (Purn) Emack Syadzily geram ketika mengetahui sertifikat tanahnya telah menjadi milik Pemkot Depok. Lahannya akan dijadikan tempat pemakaman umum (TPU) untuk warga Sawangan.
"Wah kurang ajar!" ucap Mayjen (Purn) Emack Syadzily.
Mantan direktur di Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI itu geram ketika mengetahui sertifikat tanahnya telah menjadi milik Pemerintah Kota Depok. Lahannya akan dijadikan tempat pemakaman umum (TPU) untuk warga Sawangan.
-
Kapan Desa Panggungharjo dibentuk? Desa Panggungharjo dibentuk berdasarkan maklumat monarki Yogyakarta tahun 1946 yang mengatur tentang tata kalurahan saat itu.
-
Apa yang ditemukan di desa Abad Pertengahan tersebut? Tim juga menemukan benteng bukit kecil berbentuk oval yang dianggap sebagai kastil kaum bangsawan setempat. Dalam penggalian selama dua pekan tahun ini, kastil beserta parit dan tembok benteng di depannya diperiksa dengan cermat. Tim penggalian berhasil mendokumentasikan lebih dari 2.000 temuan, termasuk tapal kuda, paku besi, genteng, dan sejumlah pecahan tembikar.
-
Kapan Desa Bawah Tanah Zaman Perunggu ini didiami? Bukti yang digali sejauh ini mengungkapkan situs itu diduduki sampai periode Romawi dan kemudian tampaknya ditinggalkan sampai desa abad ke-4 atau ke-5 Masehi dibangun.
-
Di mana Mal Rongsok Depok berada? Nurcholis merupakan owner mal rongsok yang terletak di Jalan Bungur Raya, Kukusan, Kecamatan Beji, Kota Depok, Jawa Barat.
-
Bagaimana besaran THR PNS Depok? Disebutkan, untuk besaran THR yakni penghasilan gaji 100 persen dari penghasilan satu bulan yang diterima pada bulan Maret.
-
Di mana Taman Makam Pahlawan Dreded berada? Taman Makam Pahlawan Dreded di Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat, menyimpan sejarah kelam di masa lampau.
Emack mengingat peristiwa itu terjadi pada bulan Januari 2020. Dia menemui Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Keuangan Daerah (BKD) Kota Depok Nina Suzana. Dari penjelasan Nina, sertifikat tanah diserahkan kepada Pemkot Depok untuk dijadikan lahan fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum) sebagai syarat mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB) sebuah proyek perumahan.
Emack menuturkan, cerita bermula setahun sebelumnya. Dia menyerahkan sertifikat lahan seluas 2.930 meter persegi di Kecamatan Bedahan, Sawangan, Depok, kepada Burhanuddin Abu Bakar. Tanah yang dibelinya pada 2011 itu, akan dibayar Rp3 miliar setelah dua kali pertemuan negosiasi harga sejak November 2018.
Burhanuddin adalah pemilik PT Abdiluhur Kawuloalit (ALKA) yang sedang membangun perumahan di Kelurahan Duren Seribu, Depok. Negosiasi dilakukan Burhanuddin melalui kawan dekat Emack bernama Anton.
Serah terima sertifikat tanah dilaksanakan di Mal Bellevue Cinere pada 11 Januari 2019. Emack berani menyerahkan sertifikat karena Anton menjadi penjamin. Burhanuddin juga mengajak Wahyudin, mantan lurah Duren Seribu yang ketika itu menjadi pegawai Pemkot Depok.
"Ada tanda terima. Oke ya, ini dicek, terus deal kita Rp3 miliar," cerita Emack kepada merdeka.com, Kamis (20/1).
Burhanuddin menjanjikan pembayaran dilakukan beberapa hari kemudian setelah dia mengecek sertifikat tanah itu ke kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Depok.
Sibuk dengan tugasnya di BAIS, beberapa bulan kemudian Emack baru ingat jika Burhanuddin belum membayar tanahnya sesuai kesepakatan. Anton yang menjadi perantara juga mengaku kesulitan menagih pembayaran.
Sekitar Januari 2020, Emack yang kesal akhirnya menghubungi langsung Burhanuddin. "Lu jadi beli enggak. Kalau enggak beli, kembalikan aja suratnya," kata Emack.
Emack bahkan mengancam akan mengirimkan anak buahnya untuk mengambil surat tanah ke rumah Burhanuddin.
"Mohon maaf Pak, enggak bisa saya kembalikan karena sertifikat Bapak sudah saya serahkan ke Pemda," kata Emack menirukan jawaban Burhanuddin.
Tanda Tangan Dipalsukan
Mendengar jawaban Burhanuddin, Emack buru-buru mendatangi kantor Pemkot Depok. Dia menemukan sertifikat asli miliknya dikuasai Pemkot Depok. Yang lebih mengejutkan, dalam akta jual beli (AJB), Emack disebut telah menjual tanahnya kepada Burhanuddin pada tahun 2015.
"Saya lihat ada tujuh dokumen yang dipalsukan. KTP saya dipalsukan, NPWP dipalsukan, KK (kartu keluarga) saya dipalsukan. Terus ada surat pelepasan hak dipalsukan, akta jual beli dipalsukan, tanda tangan surat pernyataan tidak sengketa juga dipalsukan," kata Emack.
Kepada Nina, Emack memastikan, tanda tangan di semua dokumen itu palsu. Sementara Nina menyebut, tanah itu diserahkan sebagai lahan pengganti fasos dan fasum pengembang proyek perumahan Reiwa Town di kelurahan Duren Seribu, Bojongsari, Depok.
Dari penelusuran yang dilakukan Emack, perumahan itu awalnya dibangun oleh PT ALKA milik Burhanuddin, namun proyeknya diakuisisi oleh Perumnas IIDA Group. Di situs Reiwa Town dijelaskan, Perumnas IIDA Group merupakan gabungan antara PT Propernas Griya Utama dan IIDA Sangyo dari Jepang. Perumahan itu berdiri di atas lahan seluas 25 hektare dengan konsep desain nuansa rumah Jepang.
Emack juga mendapat informasi jika Burhanuddin telah menerima pembayaran Rp3 miliar pada Maret 2018 dari pihak yang mengakuisisi untuk mengurus perizinan, termasuk syarat IMB. Akuisisi terjadi pada September 2018, sebelum pertemuan pertama Emack dengan Burhanuddin.
Menolak Berdamai
Sebelum akhirnya melaporkan kasusnya ke polisi pada Juli 2020, Emack sempat ditawari Pemkot Depok lahan pengganti. Emack menolak.
"Pak gini aja, Bapak jangan lapor ke polisi. Kami ganti tanah Bapak, mungkin di Margonda atau di mana," kata Emack menirukan permintaan Nina.
Pemkot tetap berkeinginan menjadikan lahan itu sebagai bagian dari TPU Bedahan yang sudah ada. Saat dicek merdeka.com, pekan lalu, lokasi tanah Emack memang berdampingan dengan lahan TPU Bedahan yang sebagian sudah digunakan untuk memakamkan warga Depok.
Penolakan terhadap tawaran itu karena Emack tidak terima tanda tangannya dipalsukan apalagi saat dia masih aktif bertugas di TNI. "Jangan-jangan ada masyarakat lain di Depok ini yang dipalsukan begini. Jadi yang saya laporkan ini pemalsuan tanda tangan. Kedua, penggelapan sertifikat saya."
Awal Juli 2020, Emack memutuskan melaporkan kasusnya ke polisi. Saat kasus diproses, Emack mengaku ditelepon beberapa seniornya di TNI, jenderal bintang empat, agar tidak melanjutkan kasus. Rupanya, dari pihak pengembang ada yang mengadukan Emack dengan cerita yang berbeda.
"Tadinya dia berharap mungkin biar saya ditegur sama senior saya, akhirnya berbalik. Wah kurang ajar kalau begini ngadu-ngadu. Akhirnya saya lapor polisi," tegas Emack.
Uang Tidak Sampai ke Jenderal
Lurah Bedahan, Hasan, yang ditemui merdeka.com, mengakui lahan yang bermasalah itu milik Emack Syadzily. Namun, Pemkot Depok, kata dia, urung menggunakan lahan itu sebagai perluasan TPU Bedahan. Bahkan, sejak kasus ini mencuat, surat-surat kepemilikan tanah itu telah disita oleh Bareskrim Polri.
Hasan mengaku baru dua tahun menjabat sebagai lurah Bedahan. Dia tidak mengetahui secara detail duduk perkara penggelapan sertifikat. "Ada permasalahan, ada manipulasi data. Saya kurang tahu. Di Mabes (Polri) itu berkasnya semua," jelasnya.
Rencana perluasan lahan TPU Bedahan, lanjut dia, tidak jadi dilaksanakan. "Jadi pembelanjaan oper alih lahan digeser. (Pemkot Depok) enggak jadi mengambil pembebasan lahan itu dari PT yang bangun (perumahan) itu," imbuhnya.
Saat ditanya siapa yang bertanggung jawab atas kasus ini, Hasan mengatakan, uang dari pengembang tidak sampai ke tangan Emack.
"Kesalahannya, uang tidak sampai ke Pak Jenderal. Harusnya yang terima uang Pak Jenderal, jadi ngambang, belum sampai. Akhirnya jenderal keburu ke-endus belum nyampe-nyampe, ada apa. Ternyata ada permasalahan," ujarnya.
Hasan juga memastikan, lahan Emack belum digunakan untuk makam. Termasuk pohon-pohon jati yang berada di atas lahan itu masih utuh. "Jadi lahan itu aman. Kalau enggak keburu terbuka, ya wassalam kali, untung ketahuan jadi bisa dinetralisir. Alhamdulillah enggak terlalu mencuat," tukasnya.
Pihak BPN Depok yang dikonfirmasi terpisah menjelaskan, kasus ini sudah diproses secara hukum oleh kepolisian. Kasubag TU ART/BPN Kota Depok, Yudhi Subagia menyerahkan kasus ini ditangani aparat penegak hukum.
"Sudah berperkara. Itu saja," ujarnya.
Yudhi enggan menjelaskan lebih detail soal permainan mafia tanah dalam kasus ini. Dia juga tidak mengetahui jumlah kasus yang melibatkan mafia tanah di Depok.
"Kita enggak tahu sebelum mereka terbukti sebagai mafia tanahnya. Kurang tahu saya. Paling yang sudah terberitakan saja," ujarnya.
Polisi Tetapkan 4 Tersangka
Bareskrim Polri akhirnya menetapkan empat orang tersangka. Selain Burhanuddin Abu Bakar, tiga tersangka lain adalah mantan Camat Sawangan Eko Harwiyanto yang kini menjadi Kadishub Depok, Nurdin Al-Ardisoma mantan staf Kelurahan Bedahan yang kini menjabat sebagai anggota DPRD Depok, dan pihak swasta bernama Hanafi.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian R Djajadi menjelaskan, polisi menduga tersangka Nurdin dan Hanafi bekerja sama membuat surat pelepasan hak (SPH) tanah untuk kepentingan swasta. Dalam proses pembuatan SPH itu, keduanya dibantu Eko yang saat itu menjabat Camat Sawangan, Depok.
"Faktanya terhadap tanah tersebut tidak pernah dijual atau dipindahtangankan oleh ES," ujarnya.
Rian menyatakan, penyidik saat ini sedang melengkapi BAP untuk pelaksanaan pelimpahan perkara tahap I. Saat ditanya mengapa para tersangka tidak ditahan, Rian balik bertanya. "Apa setiap tersangka harus ditahan?"
Sementara Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan mengatakan, para tersangka dijerat dengan dugaan tindak pidana pemalsuan surat, menempatkan keterangan palsu dalam akta otentik, penipuan dan atau penggelapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 263 KUHP, 266 KUHP, 378 KUHP dan atau pasal 372 KUHP Jo pasal 55, pasal 56 KUHP.
Kepada merdeka.com, salah satu tersangka, Nurdin Al Ardisoma mengakui membuat surat pelepasan hak tanah itu saat dia bertugas sebagai tenaga survei lahan di Kelurahan Bedahan pada tahun 2015-2016.
"Saya hanya sebagai staf pelayanan yang dimintakan untuk mencetak draf SPH sama Hanafi dan Iskandar atau pun Haji Burhan pada saat itu," ujarnya.
Dalam draf SPH yang diterima, Nurdin melihat sudah ada tanda tangan pihak penjual dan pembeli. Nurdin diminta untuk mengurus tanda tangan RT dan RW serta lurah. Dia juga diminta mengecek lokasi tanah.
"Setelah itu saya berikan lagi ke Iskandar, dibilang mau buat apa gitu sama Camat. Udah sampai situ," ungkap Nurdin menjelaskan perannya yang membuat dia jadi tersangka.
Nurdin mengaku tidak tahu jika SPH itu palsu karena sudah ada tanda tangan penjual atas nama Emack Syadzily dan pembeli atas nama Burhanuddin.
Saat diperiksa sebagai saksi di Bareskrim Mabes Polri, Nurdin mengaku Iskandar dan Hanafi yang meminta mengurus SPH membantah telah menyerahkan surat jual beli yang bertanda tangan Emack dan Burhanuddin.
"Dia menyalahkan itu ke saya dan (bilang ke polisi) menerima (surat) itu dari saya. Di kepolisian saya terpojok karena saya tidak punya tanda terima (surat). Kan saya staf pelayanan, dasar kepercayaan aja. Ya ini pembelajaran saya," pungkasnya.
(mdk/bal)