Terjerat Pasal Karet UU ITE
Hanya kalangan orang-orang yang memiliki nama, jabatan, atau kekuasaan saja yang bisa menggunakan pasal-pasal dalam UU ITE ini.
Sudah dua belas tahun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) lahir di Indonesia. Banyak masyarakat terjerat dalam aturan ini. Khususnya dalam pasal 27 ayat 1 dan 3 serta pasal 28 ayat 2. Sebutan 'pasal karet' pun melekat lantaran kerap dijadikan kesempatan menjerat seseorang.
Dalam pasal 27 ayat 1 UU ITE mengatur terkait pornografi. Bagi pelanggar sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU 19/2016 dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000.
-
Bagaimana korban ditikam? “Dia alami luka cukup serius. Setelah kejadian, korban kemudian dilarikan ke RSUD Dekai, guna mendapatkan penanganan medis,” kata Kapolres Yahukimo AKBP Heru Hidayanto.
-
Apa yang ditemukan di tempat sampah korban? Di tempat sampah korban, ditemui banyak botol Kiranti penghilang nyeri haid dan obat vitamin pemulus kulit bermerek Bloom Collage. Kumpulan botol-botol itu terlihat berserakan di tempat sampah rumah korban, hangus bersama dengan bekas sisa-sisa pembakaran.
-
Bagaimana korban meninggal? Diketahui, seorang pria berinisial AS (30), warga Desa Pranti, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik ditemukan tewas di kamar rumahnya dalam kondisi tragis, dengan mulut tertancap pisau serta kepala pecah akibat pukulan benda keras.
-
Apa yang terjadi pada korban? “Keluarga korban direlokasi, namun untuk mempersiapkan tersebut korban masih tinggal dengan pamannya. Pada kesempatan itu pamannya tersebut itu melakukan kekerasan seksual kepada yang bersangkutan itu sebanyak 4 kali. Sehingga mengakibatkan korban hamil dan saat ini korban sudah melahirkan,” kata Kapolres Cimahi, AKBP Tri Suhartanto melanjutkan.
-
Kapan korban melapor kasus KDRT? Laporan yang dilayangkan korban pada 7 Agustus 2023 lalu telah diterima Unit PPA Polres Metro Bekasi dan masih dalam proses penyelidikan.
-
Di mana korban ditemukan? Warga Dusun Kelor, Kalurahan Wonokerto, Kapanewon Turi, Sleman, dikejutkan dengan penemuan potongan tubuh manusia di bawah sebuah jembatan pada Rabu malam (12/7).
Korban terbanyak terjadi dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Di sini mengatur terkait penghinaan dan pencemaran nama baik. Bagi pelanggar Pasal 27 ayat 3 UU ITE, diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016 dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun maupun denda paling banyak Rp750 juta.
Untuk kasus pencemaran nama baik, sebenarnya juga diatur dalam pasal 310-311 KUHP. Bahkan sudah berlaku sejak zaman kolonial. Di mana kala itu pemerintah Belanda menggunakan aturan ini untuk menghukum mereka yang menghina Ratu dan pemerintahan kolonial.
Sedangkan pasal 28 ayat 2 UU ITE, mengatur tentang ujaran kebencian terhadap kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Ancaman pidana bagi pelanggar sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016, dipidana penjara paling lama 6 tahun maupun denda paling banyak Rp1 miliar.
Monitoring dilakukan SAFEnet, jumlah kasus UU ITE sejak tahun 2008 hingga 2019, terdapat 285 kasus pemidanaan terhadap hak kebebasan berekspresi dengan menggunakan pasal-pasal karet di UU ITE. Data itu dilaporkan SAFEnet dalam laporan akhir tahun yang dirilis pada Juli 2020 lalu.
Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet, Ika Ningtyas, mengatakan bahwa banyak kasus UU ITE terjerat dalam pasal karet. Data dimiliki lembaganya memang tidak merepresentasikan seluruh kasus UU ITE yang terjadi di Indonesia. Adapun jumlah seluruh kasus terkait UU ITE secara lengkap tercatat dalam data Direktorat Tindak pidana Siber Mabes Polri, Siber Polri.
Dalam catatan mereka, pada 2019 terdapat 24 kasus UU ITE. Sementara pada tahun 2018, tercatat ada 25 kasus dimonitoring SAFEnet. Data ini didapat dari memonitor dari pemberitaan media dan pengaduan yang masuk. Jumlah ini tentu tidak bisa merepresentasikan seluruh kasus karena jumlah kasus yang pasti hanya di Polri.
"Kasus tertinggi lainnya yakni mengenai dugaan provokasi dan ujaran kebencian. Tiga kasus ini kerap merujuk pada penggunaan pasal-pasal karet di UU ITE," kata Ika.
Untuk Januari hingga Oktober 2020, SAFEnet mencatat ada 59 kasus UU ITE. Dengan rincian 11 orang dilaporkan dijerat pasal 28 ayat 1 UU ITE. Kemudian 14 orang dijerat pasal 28 ayat 2 UU ITE. Lalu 4 orang dijerat pasal 27 ayat 3 UU ITE. Serta 35 orang dijerat UU ITE dan pasal 14-15 Nomor 1/1946.
Sementara itu, sisanya tidak dijerat UU ITE. Namun, ada 3 orang dijerat Pasal 14-15 UU No 1/1946 tentang keonaran, tanpa keterangan pasal sebanyak 9 orang, pasal 9 KUHP sebanyak 1 orang.
Sedangkan jumlah kasus kejahatan terkait internet yang ditangani kepolisian selama tiga tahun terakhir memang terus bertambah. Berdasarkan data Siber Polri, tercatat pada tahun 2017 ada 1.338 kasus, lalu pada tahun 2018 bertambah menjadi 2.552 kasus, dan pada bulan Oktober 2019 tercatat 3.005 kasus.
Dari jumlah tersebut, kasus yang paling banyak diselidiki Polri menyangkut penghinaan tokoh, penguasa dan badan umum. Rinciannya, pada 2017 ada 679 kasus yang diselidiki terkait penghinaan. Meningkat pada 2018 menjadi 1.177 dan pada 2019 menurun menjadi 676 kasus.
Korban pertama UU ITE merupakan seorang ibu rumah tangga bernama Prita Mulyasari. Prita ditangkap dan ditahan di atas dakwaan pencemaran nama baik lantaran mengirim e-mail terkait pelayanan RS Omni Internasional, Alam Sutra yang dinilai Prita kurang baik. Kasus ini menyita publik setelah muncul gerakan Coin For Prita, untuk membayar ganti rugi terhadap pihak RS Omni Internasional.
Pada tahun 2016, pemerintah merevisi UU ITE ini karena dinilai mudah mengkriminalisasi pengguna internet. Anggota Komisi I DPR saat itu, Evita Nursanty, berpendapat bahwa perlu ada pelonggaran pidana dalam UU ITE bagi masyarakat. Menurutnya, yang penting dalam revisi ini adalah dengan diturunkannya pidana penjara maksimal 4 tahun atas kasus pencemaran nama baik.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI lainnya, Sukamta berpendapat bahwa UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE perlu direvisi agar bisa membentuk bangsa yang beradab. Dia berharap masyarakat bisa bebas mengeluarkan pendapat namun secara santun.
Menteri Komunikasi dan Informatika pada tahun 2016, Rudiantara, pernah mengatakan bahwa sejumlah pasal dalam UU ITE dianggap merugikan, bahkan mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat. Penyebabnya menurut dia, ada sejumlah pasal yang multitafsir dan tumpang tindih dengan peraturan hukum lain. Polemik pun muncul setelah banyaknya kasus hukum terkait pelanggaran UU ITE.
"Karena dalam penerapannya terjadi dinamika pro dan kontra terhadap beberapa ketentuan di dalamnya, Pemerintah mengambil inisiatif untuk melakukan perubahan minor yang dianggap perlu dan relevan," kata Rudiantara pada tahun 2016 silam.
Oleh sebab itu, pemerintah dan DPR akhirnya sepakat melakukan revisi UU ITE dilakukan terhadap 8 Pasal dengan penambahan 2 Pasal. Pasal-pasal yang berubah adalah Pasal 1, Pasal 26, Pasal 31, Pasal 40, Pasal 43, Pasal 45, serta Penjelasan Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 27.
Selain Prita, sejumlah pesohor di Indonesia juga banyak terjerat kasus UU ITE. Nama paling santer, yakni musisi sekaligus politikus Partai Gerindra, Ahmad Dhani. Dia divonis 1 tahun 6 bulan penjara awal tahun 2019 lalu. Vonis itu harus diterima Ahmad Dhani karena cuitannya di Twitter dianggap mengandung ujaran kebencian. Pentolan Band Dewa-19 ini dianggap melanggar pasal 45A ayat 2 Jo pasal 28 ayat 2 UU ITE jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Kemudian kasus selanjutnya menimpa seorang dosen bernama Buni Yani harus mendekam di balik jeruji besi. Dia dibui setelah mengedit video salah satu pidato Basuki Tjahaja Purnama alias (Ahok) saat masih menjabat Gubernur DKI Jakarta pada 2016 lalu.
Kendati membantah mengedit video pidato Ahok, perbuatan Buni Yani dinilai memenuhi unsur Pasal 32 Ayat 1 dan Pasal 28 Ayat 2 UU ITE dengan melakukan ujaran kebencian. Dia pun divonis 1,5 tahun penjara oleh PN Bandung pada 14 November 2018. Buni Yani sempat mengajukan banding dan kasasi, namun keduanya ditolak oleh MA.
Vokalis 'NOAH', Ariel juga pernah terjerat UU ITE. Ariel dituduh merekam video porno diperankan oleh dirinya dan dua perempuan mirip artis Luna Maya dan Cut Tari. Pengadilan Negeri Bandung tahun 2010, Ariel dinyatakan bersalah dan divonis 3,5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta rupiah. Kemudian sempat dipenjara di Lapas Kebun Waru Bandung. Setelah mendapatkan beberapa kali keringanan, Ariel hanya menjalani hukuman dua tahun satu bulan penjara.
Paling anyar, Bareskrim Polri menangkap delapan anggota Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) pada 13 Oktober 2020 lalu. Sebanyak empat orang merupakan anggota KAMI di Jakarta dan empat lainnya anggota KAMI di Medan, Sumatera Utara. Penerapan UU ITE terhadap anggota KAMI itu menambah jumlah orang dijerat UU yang disahkan 2008 dan direvisi tahun 2016 tersebut.
Anggota KAMI yang ditangkap di Jakarta antara lain, Anton Permana, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Kingkin Anida. Kingkin merupakan mantan caleg PKS pada Pemilu 2019 lalu. Sedangkan, yang ditangkap di Medan yakni Juliana, Devi, Wahyu Rasari Putri dan Khairi Amri yang merupakan ketua KAMI Medan.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Mabes Polri Brigjen (Pol) Awi Setiyono menjelaskan, berdasarkan hasil pemeriksaan penyidik, delapan orang tersebut disangkakan melanggar Pasal 45A ayat (2) Undang-undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta Pasal 160 KUHP tentang Penghasutan. Mereka disebut telah melemparkan narasi bernada permusuhan dan SARA yang menyulut demo Undang-undang Cipta Kerja pada 8 Oktober 2020.
Dari sebaran wilayah, kasus pelanggaran kebebasan berekspresi daring yang dihimpun SAFEnet pada tahun 2019, DKI Jakarta menjadi provinsi dengan kasus tertinggi, yakni 10 kasus.
Disusul Sulawesi Tenggara 3 kasus, kemudian Provinsi Aceh dan Jawa Timur masing-masing 2 kasus, serta enam provinsi lainnya masing-masing 1 kasus. Profil kasus pemidanaan terhadap hak kebebasan berekspresi daring pada 2019 tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya.
Meski UU Nomor 11 Tahun 2008 telah diubah dengan dalih akan memperhatikan hukum dan hak asasi manusia (HAM), namun fungsi UU ITE hasil revisi ini justru dinilai diskriminatif. Penggunaan sejumlah pasal untuk menjerat pidana seseorang dinilai multitafsir alias karet.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur menilai, pasal dalam UU ITE kerap dijadikan alat membungkam maupun mengkriminalisasi orang-orang kritis terhadap pemerintah maupun penguasa. "Multitafsir itu bisa disebut karet karena kata katanya sendiri misalnya penghinaan. Nah sering kali dia dalam penggunaannya tidak pasti ketika orang merasa terhina ya sudah dia bisa jadi melaporkan. Kalau mau merujuk yang lebih jelas dikaitkan dengan KUHP," kata Isnur saat dihubungi merdeka.com, Selasa (20/10).
Contoh lainnya menurut Isnur pasal 27 ayat 3 tersebut kerap menyasar pejabat umum seperti masalah pelayanan publik. Dia melihat penggunaan pasal tersebut tidak tepat.
Selain pasal masalah kedua pelaksanaan. Isnur mengatakan, aparat kerap menggunakan UU ITE secara tidak terbatas. Padahal aparat sendiri kurang paham dan sering kali memakai UU ITE untuk menjerat seseorang. Persoalan lainnya pemahaman masyarakat terkait UU ITE tersebut. YLBHI melihat banyak masyarakat awam gemar melaporkan menggunakan pasal karet tersebut.
Pakar Hukum Pidana Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, menilai bahwa UU ITE telah dimanfaatkan kalangan elit untuk kepentingan pribadinya. Sehingga sifat aturan ini semakin diskriminatif. Hanya kalangan orang-orang yang memiliki nama, jabatan, atau kekuasaan saja yang bisa menggunakan pasal-pasal dalam UU ITE ini.
Dia melihat, jarang sekali ada masyarakat awam yang laporannya ditindaklanjuti sampai ke meja pengadilan. Biasanya hanya berhenti sampai ke laporan awal di pihak kepolisian saja. Untuk itu pasal-pasal karet dalam UU ITE perlu dirumuskan ulang. Sehingga ada batasan yang jelas agar tidak semua hal bisa dimasukkan.
“Terutama pasal pencemaran nama baik, kalau saya pikir harusnya cukup diatur di KUHP saja, atau kalau mau ya dirumuskan ulang. Jangan diatur di ITE malah jadi berantakan. Pasal ini perlu ada redefinisi soalnya dengan adanya teknologi informasi, dunia berubah,” kata Agustinus saat dihubungi merdeka.com, Rabu (21/10).
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR Fraksi NasDem, Willy Aditya mengakui bahwa pasal-pasal karet dalam UU ITE seperti pasal pencemaran nama baik, ujaran kebencian dan pornografi memang dia nilai bermasalah. Sehingga, dia menyatakan bahwa Fraksi NasDem akan terbuka dalam menerima kajian dan masukan dari setiap lembaga atau perorangan jika UU ITE 2016 ini perlu direvisi lagi.
Pelbagai kelemahan, kekurangan, dan kriminalisasi dalam UU ITE bisa menjadi titik pijakannya melakukan revisi UU ITE. Meskipun begitu, perilaku di dunia digital memang harus diatur. Dia melihat, dengan kecepatan internet meningkat maka kecepatan penyebaran perilaku negatif dalam dunia digital pun meningkat pula. "Revisi UU ITE harus Komprehensif dan mempertimbangkan outlook dunia digital kita ke depan. Namun, kita harus tetap ingat bahwa dunia digital juga perlu diwaspadai perkembangannya, jangan sampai tidak ada pengaturannya," kata Willy.
Sudah 12 tahun sejak UU ITE disahkan di Indonesia, Willy malah melihat penyesatan informasi, penghinaan, serta ujaran kebencian semakin merajalela. Hal ini menurutnya suatu kondisi yang mengkhawatirkan. Revisi UU ITE juga harus diikuti dengan peningkatan literasi digital masyarakat Indonesia.
Sementara itu, Dirjen Aplikasi dan Informatika (APTIKA) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Semuel Abrijani Pangerapan menilai bahwa UU ITE dibuat dengan semangat menjaga ketertiban di jagad media sosial. Tidak ada sedikit pun pasal-pasal yang menurutnya berupaya untuk memberangus kebebasan berekspresi.
Sammy menilai, pandangan masyarakat yang mengatakan bahwa UU ITE telah merampas kebebasan berekspresi itu keliru. Menurutnya, UU ITE tidak memiliki tujuan seperti itu. "Kalau yang sering diangkat di masyarakat adalah pasal 27 ayat 3, itu adalah permasalahan antarmasyarakat. Bukan antara negara dengan masyarakat. Ini perlu dipahami. Jadi sekali lagi, tidak ada upaya untuk memberangus hak berdemokrasi masyarakat dalam dunia digital. Tujuan UU ITE untuk menjaga ketertiban semata di ruang digital," ungkap pria yang akrab disapa Semmy ini saat konferensi pers virtual, Senin lalu.
(mdk/ang)