Teroris karbitan dan amatiran
Jihadis jebolan Al-Qaeda memegang prinsip, tidak ada sebuah jihad tanpa sebuah persiapan.
Ivan Armadi Hasugian alias IAH (18) masuk ke gereja Santo Yosep, Medan, Sumatera Utara. Dia menggunakan tas ransel yang diduga berisi bom serta membawa sebilah pisau. IAH maju ke mimbar dan mencoba menyerang Pastor Albert Pandiangan (60) saat hendak memberikan khotbah. Aksi itu gagal setelah dugaan bom yang dibawanya lebih dulu meledak di dalam tas. IAH pun diringkus para jemaat kemudian diserahkan ke kepolisian.
Sangat berbeda jauh dengan aksi teror bom Bali I, bom Bali II, bom JW Marriot yang didalangi jihadis lulusan akademi Al-Qaidah. Korban aksi teror itu mencapai ratusan jiwa karena daya ledak bom bikinan mereka sangat besar. Tidak heran mengingat para mujahidin yang hijrah ke Afganistan mendapat pelatihan pelbagai jenis bahan peledak. Aneka sistem persenjataan pun dipelajari. Dari senjata sekecil bolpoin sampai bom kimia.
-
Di mana TNI dibentuk? Dahulu TNI dibentuk dan dikembangkan dari sebuah organisasi bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR).
-
Bagaimana prajurit TNI ini bertemu dengan calon istrinya? Lebih lanjut ia menceritakan bahwa awal perkenalan keduanya bermula dari media sosial. Menariknya selama berpacaran 3 tahun mereka hanya bertemu satu kali saja di kehidupan nyata.
-
Dimana serangan teroris terjadi? Serangan tersebut terjadi di gedung teater Crocus City Hall yang berlokasi di Krasnogorsk, sebuah kota yang terletak di barat ibu kota Rusia, Moskow.
-
Bagaimana cara mencegah tindakan terorisme? Cara mencegah terorisme yang pertama adalah memperkenalkan ilmu pengetahuan dengan baik dan benar. Pengetahuan tentang ilmu yang baik dan benar ini harus ditekankan kepada siapa saja, terutama generasi muda.
-
Kenapa warga mengeroyok anggota TNI? Pada momen itulah warga yang sedang berada di situasi tersulut emosi kemudian melakukan pengeroyokan terhadap anggota TNI tersebut.
-
Kenapa anggota TNI menculik dan menyiksa Imam Masykur? Pomdam Jaya/Jayakarta mengungkap motif anggota TNI terlibat dalam kasus dugaan penculikan, penyiksaan hingga tewas pemuda asal Aceh, Imam Masykur (25) hanya karena ekonomi. "(Motif) Uang tebusan. karena tidak saling kenal antara tersangka dan korban," kata Danpomdam Jaya Kolonel Cpm Irsyad Hamdue Bey Anwar saat dikonfirmasi, Senin (28/8).
Pada 1991 Umar Patek berangkat ke Pakistan dan belajar di akademi militer. Selama 3 tahun menjalani pendidikan dasar tentang senjata. Kemampuan Umar kemudian di-upgrade untuk ilmu spesialis artileri, penembakan, pelempar mortal. Pada 1995, Umar Patek berangkat ke Filipina. Ali Imron juga mengaku memiliki kemampuan mengemudikan berbagai kendaraan perang. Dia juga diajari membuat bom tanpa diberi bekal apapun, dengan risiko membutuhkan proses dan waktu lama. Lewat air kencing bisa dibuat bom.
Para jihadis yang melakukan aksi teror bom Bali maupun Marriot rata-rata berkelompok dalam jaringan yang sama. Berbeda dengan aksi teror saat ini yang kebanyakan dilakukan sendirian atau dikenal istilah lone wolf atau aksi mandiri. Contohnya aksi Ivan di Gereja Santo Yosep Medan dan aksi bom bunuh diri di Mapolresta Surakarta yang dilakukan Nur Rohman.
"Teroris sekarang beraksi dalam kelompok kecil. Saat ini menjadikan seseorang sebagai pelaku teror tidak perlu lagi harus pergi untuk mengenyam pendidikan di Afghanistan atau di tempat lainnya seperti yang dilakukan kelompok teror yang dulu," jelas Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius kepada merdeka.com semalam.
Benih-benih radikalisme tumbuh subur karena sebagian masyarakat Indonesia masih menghahalkan cara kekerasan untuk memerangi kemaksiatan dan segala hal yang bertentangan dengan ajaran agama. Orang-orang itu dicuci otak dengan paham-paham radikal. Tidak heran jika akhirnya pemimpin kelompok radikal skala kecil dengan mudah menarik pengikut mereka.
"Saat ini banyak masuknya paham-paham yang bermacam-macam, termasuk paham radikal di tengah reduksi nasionalisme bangsa," katanya.
Aksi jihad individu atau kelompok kecil tidak hanya marak belakangan ini. Aksi teror semacam ini sudah mulai dilakukan sejak 2010. Noordin M Top dan Dr Azahari contohnya. Mereka memisahkan diri dari Jemaah Islamiyah (JI) lalu merekrut sendiri pengikutnya dan menyusun aksi teror tanpa melibatkan JI atau organisasi radikal lainnya. Mereka bercerai dari JI karena organisasi ini sesungguhnya menolak segala bentuk kekerasan. Karena itu mereka membentuk kelompok baru dengan skala lebih kecil.
"Ini yang disebut jihad fardiyah atau individu. Jadi kalau mereka mau berjihad tidak perlu menunggu persetujuan kelompok besar. Mereka bikin kelompok kecil atau individu saja," ujar pengamat terorisme Noor Huda Ismail.
Jihad fardiyah sangat mungkin menjadi tren aksi teror masa depan. Mereka dengan mudah merekrut pengikut meski hasilnya bisa dikatakan sebagai teroris "karbitan". Serangan dan aksi teror mereka memperlihatkan kualitas teroris amatiran. Sebab kualifikasi serta kemampuan mereka tidak seperti jihadis lulusan akademi militer di Afghanistan.
Para jihadis yang sempat mengenyam pendidikan militer di Afghanistan bisa dikatakan cukup matang baik secara ideologi maupun kemampuan. Huda menyebut prinsip mereka terangkum dalam ekspresi bahasa Arab "La jihada illa bil I'dad" yang artinya Tidak ada sebuah jihad tanpa sebuah persiapan. Sehingga hampir semua serangan teror di Indonesia selalu dimulai dengan pelatihan militer dalam kelompok.
"Proses ini adalah fase penting saat identitas diri lebur menjadi identitas kelompok, sehingga tekanan kelompok menjadi salah satu faktor penting yang mendorong pelaku terlibat kekerasan. Mereka akhirnya bertindak atas nama kelompok, bukan atas nama pribadi."
Sementara fenomena saat ini, para kombatan ISIS menyebar ke seluruh penjuru dunia dan melakukan perekrutan dengan bantuan jaringan internet. Melalui media sosial mereka menebar propaganda dan fatwa kekerasan untuk menjaring kemarahan anak muda labil. Tak lupa mereka menyisipkan slogan heroik membangun khilafah Islam. Salah satu caranya mengangkat senjata dan bersiap mati syahid. Mereka berhasil membangun kelompok-kelompok baru meski skalanya kecil. Bertebarannya kelompok-kelompok kecil ini semakin menyulitkan penegak hukum mengikis paham radikalisme.
"Malah lebih susah dipatahkan. Karena mereka banyak kelompok. Coba bandingkan dengan bom bali, berhasil ditangkap sekali kena banyak mereka berkelompok. Kalau fardiyah kan kelompok kecil walaupun tidak lebih spektakuler dari bom Bali dan yang dibuat Noordin,"
Upaya menghentikan perkembangbiakan paham radikalisme kelompok kecil ini tidak bisa hanya dilakukan melalui pendekatan memerangi terorisme dengan senjata. Harus dibarengi dengan upaya meningkatkan kemampuan menganalisa informasi yang bertebaran di media sosial. Anak muda harus melek digital dan bisa memilah dengan akal sehat mana yang baik dan buruk bagi keberlangsungan hidup berbangsa.
Program deradikalisasi harus terus dilakukan dengan menggunakan pendekatan pendekatan kultur dan keagamaan. Seperti pertemuan dengan keluarga teroris dan rehabilitasi bagi mereka yang telah sadar. "Pendekatan narasi agama dan toleransi untuk menekan pengaruh paham-paham ekstrem seperti takfiri yang banyak merusak," singkat Komjen Pol Suhardi Alius.
(mdk/noe)