10 Tahun Pemerintahan Jokowi, Kondisi Masyarakat Adat hingga Buruh Tani Dianggap Memburuk
Khususnya agraria, yang tak mencerminkan pemerintahan Jokowi bekerja untuk melindungi
Khususnya agraria, yang tak mencerminkan pemerintahan Jokowi bekerja untuk melindungi
10 Tahun Pemerintahan Jokowi, Kondisi Masyarakat Adat hingga Buruh Tani Dianggap Memburuk
Kehidupan masyarakat adat, perempuan, nelayan, petani, dan buruh tani dianggap semakin memburuk di bawah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
Pangkalnya, agenda-agenda pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak rakyat melalui pengakuan wilayah adat, penyelesaian konflik agraria, dan pemulihan lingkungan disebut mengalami kemunduran.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN), Rukka Sombolinggi, menyatakan, hal itu terjadi seiring disahkannya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dan berbagai kebijakan di sektor sumber daya alam (SDA).
Khususnya agraria, yang tak mencerminkan pemerintahan Jokowi bekerja untuk melindungi dan memenuhi hak-hak rakyat yang dijamin konstitusi. Dicontohkannya dengan banyaknya kasus yang terjadi.
"AMAN mencatat, sejak 2014-2022 terjadi 301 kasus yang merampas 8,5 juta ha wilayah adat dan mengkriminalisasi 672 jiwa warga masyarakat adat," kata Rukka di Kantor AMAN, JL, Tebet Timur Dalam Raya No 11 A Jakarta Selatan, Senin (18/03).
Ini terjadi lantaran negara membangun skenario hukum yang rumit, bertingkat-tingkat, sektoral, dan memisahkan proses penangkuan hak atas wilayah adat dari pengakuan masyarakat adat bahkan mengecualikan wilayah-wilayah adat yang berkonflik dari pengakuan.
Rukka menambahkan, penyelesaian konflik agraria dengan prinsip pemulihan dan pengakuan hak atas tanah rakyat, yang selama ini memperjuangkan keadilan agraria, adalah satu dari banyak pekerjaan utama reforma agraria.
Sayangnya, ujar Rukka, alih-alih menyelesaikan konflik dan menjalankan reforma agraria sesuai janji politiknya, Jokowi dengan berbagai kebijakannya justru membawa Indonesia ke dalam krisis agraria.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika mengungkap data. Berdasarkan data KPA, sedikitnya terjadi 2.939 letusan konflik agraria seluas 6,3 juta ha yang berdampak pada 1,7 juta rumah tangga petani, buruh tani, nelayan, dan masyarakat adat rentang 2015-2023.
"Dalam kurun waktu yang sama, 2.442 orang petani dan pejuang agraria mengalami kriminalisasi, 905 orang mengalami kekerasan, 84 tertembak, dan 72 tewas di wilayah konflik agraria. Situasi ini jauh lebih buruk dibanding satu dekade sebelumnya," jelas Dewi.
Dia membandingkan dengan periode pemerintahan sebelumnya. Misalnya, masa pemerintahan SBY, terdapat 1.520 letusan konflik agraria dengan luas 5,7 juta hektare dan korban dan terdampak sebanyak 900 ribu rumah tangga petani.
“Terdapat 1.354 orang petani dan pejuang agraria mengalami kriminalisasi, 553 orang mengalami kekerasan, 110 orang tertembak, dan 70 orang tewas," sambung Dewi.
Di sisi lain, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) juga memiliki catatan serupa.
Setidaknya 827 pejuang lingkungan mengalami peristiwa kriminalisasi, intimidasi, dan kekerasan yang mengakibatkan kematian akibat konflik sumber daya alam yang terjadi pada 2014-2023.
Dari Jumlah tersebut, 6 orang meninggal dunia, 145 orang ditangkap, dan 28 di antaranya ditetapkan menjadi tersangka.
Sedangkan 620 pejuang lingkungan lainnya mengalami peristiwa kekerasan yang mengakibatkan luka-luka.
Kasus tertinggi terjadi tahun 2022, di mana 253 pejuang lingkungan di Indonesia mengalami peristiwa kriminalisasi dan kekerasan.
Dewi berpandangan, adanya ribuan konflik agraria dan kriminalisasi menandakan pemerintahan Jokowi enggan menyelesaikan konflik secara berkeadilan dalam kerangka reforma agraria.
"Tanah tidak diprioritaskan untuk rakyat, melainkan kepentingan investasi dan pembangunan yang berpihak pada badan usaha skala besar," kata Dewi.
Lebih jauh, ia menilai, Indonesia memasuki era yang dipenuhi tantangan yang kian berlapis pada akhir masa jabatan kedua Jokowi.
Upaya menyelesaikan konflik agraria; memulihkan lingkungan; mengatasi krisis iklim; perlindungan dan pemenuhan HAM masyarakat adat, petani, nelayan, dan perempuan; serta penguatan demokrasi mengalami kemunduran akibat berbagai politik kebijakan yang antiagenda kerakyatan.
Seperti UU Cipta Kerja; revisi UU Minerba, UU KPK, dan KUHP; serta pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
"Sebaliknya, aturan dan kebijakan yang fundamental bagi perlindungan masyarakat dan telah lama didesakkan, seperti RUU Masyarakat Adat, RUU Pertanahan yang sesuai dengan semangat Reforma Agraria, RUU Keadilan Iklim, dan Revisi Perpres Reforma Agraria, semua jalan di tempat," ungkap Dewi.
Menurut Dewi, Kondisi ke depan di bawah pemerintahan yang baru bakal semakin parah jika situasi ini dibiarkan berlanjut.