2015, tahun hukuman mati bagi pengedar narkoba
Kecaman dari negara lain, organisasi HAM dan PBB, atas eksekusi mati tak membuat pemerintah mengurungkan niatnya.
Narkoba sudah menjadi persoalan serius di Tanah Air. Tak sedikit anak bangsa yang menjadi korban sia-sia dari barang haram tersebut.
Di era Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) persoalan narkoba menjadi salah satu fokus untuk diatasi. Salah satu langkahnya adalah dengan menindak serius para bandar narkoba dengan hukuman mati.
-
Bagaimana prajurit Mataram akhirnya berjualan di Jakarta? Meskipun kalah perang, para prajurit yang kalah justru mulai berjualan di Jakarta dengan dua menu yaitu telur asin dan orek tempe.
-
Kenapa karmin kontroversial? Meskipun dibuat dari bahan alami, namun pewarna karmin tidak lepas dari kontroversi.
-
Apa yang menjadi kontroversi dari pernyataan Kartika Putri? Seperti yang sudah diketahui sebelumnya, Kartika sempat viral lantaran melontarkan ide tentang para capres yang harusnya ada tes mengaji.
-
Kontroversi apa yang terjadi antara Atta Halilintar dan Tompi? Menurut penyanyi dan dokter bedah tersebut, apa yang dilakukan oleh kreator konten adalah sebuah kekeliruan besar. Terlebih saat mengetahui bahwa angka taksiran rumah senilai 150 miliar itu hanyalah trik untuk menarik perhatian penonton, bukan berdasarkan fakta yang sebenarnya.
-
Apa yang menjadi masalah utama yang dihadapi warga Jakarta saat ini? Belakangan ini, kualitas udara Jakarta jadi sorotan masyarakat.
-
Kapan kemacetan di Jakarta terjadi? Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Rani Mauliani menerangkan, kemacetan parah di beberapa titik di Jakarta kerap terjadi pada jam berangkat dan pulang kerja.
Kecaman dari negara lain, organisasi HAM dan PBB, atas eksekusi mati tak membuat pemerintah mengurungkan niatnya. Tercatat, pada 2015, telah dua kali eksekusi mati dilakukan terhadap 14 terpidana mati.
Dari 14 terpidana mati, 12 di antaranya merupakan warga negara asing. Sementara, sisanya warga negara Indonesia.
Hal ini membuktikan bahwa 2015 merupakan tahun teraktif pelaksanaan hukuman mati di Indonesia. Sebab, sejak 1979 hingga 2008, eksekusi mati paling banyak dilakukan pada 10 terpidana.
Pelaksanaan hukuman mati gelombang pertama di tahun 2015 pertama kali dilakukan pada 18 Januari. Saat itu, eksekusi dilakukan pada enam terpidana yakni; Rani Andriani (WNI), Ang Kiem Soei (WN Belanda), Daniel Enemuo (WN Nigeria), Marco Archer Cardoso Moreira (Brazil), Tran Thi Bich Hanh (WN Vietnam), dan Namaona Denis (WN Malawi).
Sementara, pelaksanaan eksekusi mati gelombang kedua dilakukan pada 29 April 2015 lalu. Pada gelombang kedua, eksekusi seharusnya dilakukan kepada 10 terpidana kasus narkoba. Namun, atas sejumlah alasan eksekusi terhadap Mary Jane Fiesta Veloso (Filipina) dan Serge Areski Atlaoui (Prancis) urung dilakukan.
Sedangkan sisanya, delapan terpidana kasus narkoba, jadi dieksekusi yakni; Jamiu Owolabi Abashin atau yang lebih dikenal sebagai Raheem Agbage Salami (WN Nigeria), Okwudili Oyatanze (WN Nigeria), Martin Anderson (WN Nigeria), Silvester Obiekwe Nwolise (WN Nigeria), Rodrigo Gularte (WN Brasil), Zainal Abidin (WNI), dan duo Bali Nine asal Australia Andrew Chan serta Myuran Sukumaran.
Pelaksanaan eksekusi mati terhadap para terpidana mati tersebut dilakukan setelah segala upaya hukum ditempuh mereka untuk meringankan hukuman kandas. Penundaan pelaksanaan eksekusi terhadap Mary Jane Fiesta Veloso dilakukan atas perintah Presiden Jokowi di detik-detik terakhir pelaksanaan eksekusi.
Pembatalan eksekusi dikarenakan ada proses hukum baru yang berjalan di Filipina terkait kasus Mary. Saat itu Maria Kristia Sergio, orang yang menyalurkan Mary menjadi kurir, menyerahkan diri kepada kepolisian Filipina.
Pemeriksaan terhadap Mary yang dijadikan saksi untuk Maria Kristia Sergio selaku perekrut Mary Jane dalam kasus perdagangan manusia pun perlu dilakukan otoritas Filipina. Karenanya mereka memohon kepada pemerintah Indonesia untuk menunda pelaksanaan eksekusi karena menurut mereka Mery hanyalah korban yang tak tahu apa-apa.
Sementara, eksekusi pada Serge Areski Atlaoui urung dilakukan karena warga negara Prancis itu di detik-detik terakhir pelaksanaan eksekusi mengajukan gugatan ke PTUN atas penolakan permohonan grasi yang diajukannya kepada Presiden Jokowi.
Namun, PTUN menolak karena ranah grasi tak masuk wilayah PTUN. Akibatnya, eksekusi mati terhadap Serge akan tetap dilakukan, hanya tinggal menunggu waktu.
Di sisi lain, pelaksanaan eksekusi mati terhadap para warga negara asing itu sempat menimbulkan gejolak di luar negeri. Sebut saja pemerintah Belanda, Brazil, dan Prancis yang terang-terangan dan menyatakan sikap keras menentang hukuman mati terhadap warga negaranya.
Tiga negara tersebut kompak mengancam menarik duta besarnya dari Indonesia karena tetap melakukan eksekusi mati pada warganya. Presiden Brasil Dilma Rousseff bahkan mengeluarkan pernyataan keras.
Melalui juru bicaranya, dia mengaku 'terkejut' dan 'marah' atas sikap Indonesia yang menolak segala upayanya menyelamatkan warga negaranya yang bernama Marco. Padahal sang presiden sudah langsung berkomunikasi melalui sambungan telepon dengan Presiden Jokowi.
Begitu pula dengan Australia. Selain mengancam akan menarik Dubesnya dari Indonesia, Tony About, Perdana Menteri Australia saat itu, juga mengancam akan memotong dana bantuan untuk Indonesia. Dia juga mengungkit-ungkit soal bantuan yang diberikan Australia pada Indonesia saat terjadinya bencana tsunami Aceh 2004 silam.
Presiden Jokowi sendiri mengaku sudah tahu konsekuensi dari hukuman mati yang dilakukan Indonesia tersebut. Termasuk berbagai tekanan dari berbagai pihak yang mengecam eksekusi mati.
Jokowi menyatakan jika kedaulatan negara yang dipimpinnya memiliki hukum positif dan hukuman mati itu memang benar ada. Karenanya, bagi Jokowi, tidak ada yang salah ketika dia memutuskan untuk mengeksekusi mati pengedar narkoba yang telah memakan korban 50 orang meninggal setiap harinya.
"Kok yang diurus hanya 1 atau 2 orang, jelas-jelas itu pengedar. Tapi, yang 18 ribu orang mati karena narkoba tidak pernah diberitakan, ini kan namanya tidak adil," kata Jokowi di lapangan Bumi Perkemahan Cibubur, Jakarta Timur, Sabtu (16/6).
Pelaksanaan eksekusi mati terhadap pengedar narkoba rupanya tak akan berhenti pada gelombang kedua saja. Sebab, dipastikan akan ada gelombang ketiga pelaksanaan eksekusi mati.
Namun, hingga kini kapan dan siapa saja calon terpidana yang akan dieksekusi belum diketahui. Banyak yang berharap, di gelombang ke tiga gembong narkoba Freddy Budiman bakal ikut dieksekusi.
Sebab, Freddy Budiman telah dua kali 'lolos' dari eksekusi mati yakni eksekusi mati gelombang pertama dan eksekusi mati gelombang kedua. Padahal Mahkamah Agung (MA) telah memvonis mati Freddy pada September 2014 silam dan menahannya di Lapas Nusakambangan.
Kejagung beralasan Freddy lolos daftar eksekusi mati gelombang kedua karena berencana mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atau grasi kepada Presiden Joko Widodo. Atas dasar itulah pemilik 1,4 juta butir pil ekstasi ini lolos eksekusi mati gelombang kedua.
"Sebagai negara hukum kita tidak boleh melanggar hukum, mungkin kesannya kita lambat, tapi aturannya begitu. Kalau kita tidak menghiraukan aturan kita melanggar hukum," kata Jaksa Agung Prasetyo di Kejagung, Jakarta, Kamis (30/4).
(mdk/hhw)