5 Kecaman pemanggilan RRI oleh DPR, munculkan #SaveRRI
Komisi I DPR menilai RRI sebagai lembaga penyiaran publik tidak boleh melakukan hitung cepat pilpres.
Komisi I DPR belakangan sedang ramai disorot dan dikecam. Bagaimana tidak, Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq mengatakan bahwa Komisi I DPR berencana akan memanggil jajaran direksi RRI setelah hasil hitung cepat lembaga itu disiarkan oleh media massa.
Menurut Mahfudz, RRI bukanlah lembaga survei resmi yang dapat melakukan hitung cepat dan harus dapat menjaga netralitasnya sebagai lembaga penyiaran publik.
Bahkan menurut politikus PKS ini, RRI bukanlah lembaga survei. RRI dinilai hanyalah lembaga penyiaran publik. Dalam hasil hitung cepat yang dilakukan RRI, pasangan Prabowo - Hatta memperoleh 47,29% dan Jokowi - JK mendapatkan 52,71%.
Meski demikian, nyatanya rencana Komisi I DPR itu justru diprotes oleh berbagai kalangan. Mereka menilai, rencana Mahfudz dan kawan-kawan berlebihan dan aneh.
Berikut beberapa kecaman yang muncul buntut rencana pemanggilan RRI oleh Komisi I DPR, seperti dirangkum merdeka.com, Rabu (16/7):
-
Kapan Pemilu 2024? Sederet petahana calon legislatif (caleg) yang sempat menimbulkan kontroversi di DPR terancam tak lolos parlemen pada Pemilu 2024.
-
Apa itu Pemilu? Pemilihan Umum atau yang biasa disingkat pemilu adalah suatu proses atau mekanisme demokratis yang digunakan untuk menentukan wakil-wakil rakyat atau pemimpin pemerintahan dengan cara memberikan suara kepada calon-calon yang bersaing.
-
Apa yang dimaksud dengan Pemilu? Pemilu adalah proses pemilihan umum yang dilakukan secara periodik untuk memilih para pemimpin dan wakil rakyat dalam sistem demokrasi.
-
Apa arti Pemilu? Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pemilu atau Pemilihan Umum merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
-
Apa tujuan utama dari Pemilu? Tujuan utama dari pemilu adalah menciptakan wakil-wakil yang dapat mencerminkan aspirasi, kebutuhan, dan nilai-nilai masyarakat.
Langkah Komisi I dikritik karena terlalu jauh
Peneliti Medialink Ahmad Faisol mempertanyakan langkah Komisi I yang akan memanggil pihak redaksi RRI. Lembaga penyiaran negara itu akan dipanggil terkait siaran quick count hasil pilpres versi Litbang RRI.
Faisol menyatakan RRI sebagai lembaga penyiaran berhak membuat perhitungan quick count sendiri. Hal itu diperbolehkan sebagai fungsi media massa untuk mengawal pemilu.
"Langkah Komisi I ini sebenarnya sangat kita sesalkan, ini sudah terlalu jauh. Jangan tempatkan quick count sebagai momok, ini kan juga untuk penyelenggaraan pemilu," kata Faisol di Kedai Tjikini, Jl. Cikini Raya Jakarta Pusat, Minggu (13/7).
Menurutnya sepanjang RRI melakukan survei dengan metodologi dan kaidah quick count yang benar tak menjadi persoalan. Meskipun dibiayai negara, dia memastikan RRI tetap berhak menghitung hasil pilpres.
"Yang paling penting mereka bisa pertanggungjawabkan hasilnya. Komisi I dan Komisi Penyiaran Indonesia bisa lakukan audit pada metodologi yang dipakai RRI," ujarnya.
Komisi I dianggap keliru dan terlalu berlebihan
Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menganggap langkah Mahfudz Siddiq terlalu berlebihan. Apalagi rencana pemanggilan terhadap RRI dilakukan atas dasar kecurigaan RRI tidak netral karena dalam hasil quick countnya memenangkan Jokowi - JK.
"Ini merupakan langkah keliru. Dasar argumen pemanggilan itu terlalu dipaksakan karena memaksa untuk menghubung-hubungkan netralitas RRI dengan hasil quick count seperti yang telah diungkapkan ke publik. Itu dua persoalan yang tidak nyambung tapi dipaksakan," kata Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti, Selasa (15/7).
Menurutnya, Mahfudz Siddik harusnya mengetahui RRI tidak kali ini saja melakukan quick count. Sebab, dalam Pemilu Legislatif 2014 kemarin, RRI juga melakukan quick count.
Ray menjelaskan, Presiden SBY bahkan pernah melontarkan pujian atas quick count RRI di Pileg 2014 yang hasilnya paling mendekati rekapitulasi KPU . Contohnya untuk parpol nomor urut satu hingga lima, RRI mencatat NasDem meraih 6,68 persen, PKB 9,43 persen, PKS 6,61 persen, PDIP 18,65 persen, dan Golkar 14,87 persen. Hasil real count KPU: NasDem 6,7 persen, PKB 9,04 persen, PKS 6,7 persen, PDIP 18,95 persen, dan Golkar 14,75 persen.
"Kalau anggota Komisi I keberatan terhadap quick count RRI, semestinya mereka telah memanggilnya sejak Pileg yang lalu. Sebab, di dalam pileg, RRI juga telah melakukan quick count. Apalagi RRI terlebih dahulu mendaftarkan diri di KPU . Artinya, sejak saat itu, semestinya Komisi 1 sudah melakukan upaya pencegahan," jelas Ray.
"Jangan setelah terlihat hasil quick count-nya tidak memuaskan satu capres tertentu, lalu buru-buru dipanggil. Saya melihat, sejauh yang ada, RRI sebagai lembaga penyiaran publik telah melakukan aktivitasnya sesuai dengan yang semestinya," tandasnya.
Langkah Komisi I ada muatan politis
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Indonesia (UI) Ari Junaedi menganggap langkah Komisi I DPR itu sarat dengan muatan politis. Apalagi, secara tugas pokok dan fungsi (tupoksi) RRI adalah jelas memberikan informasi yang akurat kepada publik.
Menurutnya, langkah RRI menggelar hitung cepat tidak bisa disalahkan. Sumber daya yang dimiliki RRI di seluruh wilayah tanah air telah tersedia dan kompeten sehingga menggelar hitung cepat sangat normal dilakukan RRI.
"Saat Pemilu Legislatif lalu, RRI juga sukses mengadakan quick count, bahkan akurasinya mendekati sempurna dengan data akhir perolehan suara parpol-parpol oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). RRI juga masuk dalam lembaga survei yang diakreditasi oleh KPU. Jadi dimana letak salahnya RRI dalam proses hitung cepat Pilpres 2014? Jangan-jangan kalau hasil quick countnya RRI sama dengan lembaga survei abal-abal, saya yakin Komisi I tidak akan memanggil RRI," ujar Ari Junaedi kepada merdeka.com, Selasa (15/7).
Menurut pengajar Program Pascasarjana di UI ini, ada mindset yang salah di kepala para politikus di Komisi I DPR. "Mungkin perlu belajar ulang lagi tentang statistik dan etika politik, yang namanya hitung cepat itu lahir dari ibu kandung pengetahuan, diadakan untuk mengetahui suara real dan digunakan untuk mencegah terjadinya rekayasa angka perolehan akhir," ujarnya.
Dia mencontohkan, pemilu di Filipina di era rezim Ferdinand Marcos yang curang berhasil terbongkar karena hadirnya hitung cepat. "Jadi kalau Komisi I DPR hendak menguji netralitas RRI hanya karena menggelar quick count dengan metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan," katanya.
Dirut RRI: Quick count RRI sudah kantongi izin dari KPU
Direktur Utama (Dirut) LPP RRI, Niken Widyastuti menegaskan, proses hitung cepat atau quick count yang diselenggarakan RRI usai pencoblosan 9 Juli kemarin adalah hasil dari pusat penelitian dan pengembangan (puslitbang) yang dikembangkan RRI.
"Jadi RRI menyelenggarakan quick count dan dalam hal ini RRI itu adalah puslitbang diklat, jadi RRI ini mempunyai 86 satuan kerja, dan salah satunya adalah puslitbangdiklat," kata Niken di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (15/7).
Tugas dari puslitbang dan diklat RRI ini, lanjut Niken, sesuai dengan keinginan Komisi I DPR RI yakni membuat kajian riset. "Bahwa RRI harus membuat audit secara komprehensif melalui penelitian kajian riset. Jadi tugas mereka adalah salah satunya membuat penelitian-penelitian, termasuk penelitian persepsi publik terhadap para pemimpin semua adalah untuk kepentingan siaran," jelas Niken.
Hasil hitung cepat yang diperoleh dari pusdiklat litbang RRI kemudian digunakan untuk kepentingan penyiaran. "RRI ini diberi tugas oleh negara memberikan siaran informasi. Maka informasi, khususnya quick count ini, kami menyiarkan quick count yang diselenggarakan oleh puslitbang diklat. Untuk anggaran ya sepenuhnya anggaran rutin biasa," jelas Niken.
Niken mengaku, hitung cepat yang dipublikasikan oleh lembaganya tersebut adalah murni sebagai bentuk penyampaian informasi. Oleh sebab itu, Niken berharap, data hitung cepat yang dipublikasikan lembaganya tersebut hanya digunakan sebagai pembanding, bukan sebagai acuan hasil.
"Tujuannya kami ini betul-betul tulus hanya memberikan informasi. Quick count mohon dengan sangat digunakan hanya sekedar preferensi atau sekedar data pembanding," ucap Niken.
Lebih lanjut Niken mengatakan bahwa RRI sudah mempublikasikan hasil hitung cepat sejak pemilu tahun 2009, juga pada saat pemilu legislatif 9 April lalu. Hasil hitung cepat tersebut diakui Niken mendapat apresiasi dari Komisi I DPR RI lantaran hasilnya tidak jauh berbeda dengan hasil rekapitulasi suara dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Selain itu, Niken mengungkapkan bahwa puslitbang diklat RRI sudah mengantongi izin dari KPU untuk mempublikasikan hasil risetnya. Dalam mempublikasikan hasil hitung cepatnya, RRI mengacu pada tiga hal yakni data objektif dari 2000 TPS Kecamatan, kemudian juga 2000 relawan yang tersebar dari sabang sampai Merauke yang disebarkan sampai di wilayah-wilayah perbatasan.
"Kemudian RRI menyelenggarakan exit poll, exit poll itu adalah survei bagi pemilih, ini adalah hanya untuk mengetahui kecenderungan-kecenderungan bagi pemilih," tutur Niken.
Gerakan #SaveRRI bisa sukses seperti #SaveKPK
Warga Twitter ramai-ramai mendukung RII dengan hashtag #SaveRRI. Hasil pemantauan PoliticaWave, sejak pukul 16.00 WIB kemarin hingga pukul 09.00 WIB hari ini, jumlah percakapan dengan menggunakan #SaveRRI sudah mencapai 44.300 buzz. Puncak percakapan terjadi pada pukul 21.00 WIB dengan total percakapan mencapai 8.900 buzz.
"Jumlah percakapan yang besar tersebut berhasil membawa #saveRRI masuk kedalam daftar trending topics Indonesia di urutan pertama," kata founder PoliticaWave Yose Rizal dalan keterangan tertulis yang diterima merdeka.com, Selasa (15/7).
Menurutnya, percakapan dengan menggunakan #saveRRI tersebut dimotori oleh sejumlah akun dari kalangan public figures seperti @indrabektiasli, @jokoanwar, @killthedj, @deelestari dan lainnya. Semboyan RRI 'Sekali di Udara Tetap di Udara' menjadi kata kunci (keywords) yang paling banyak digunakan oleh netizen untuk menyatakan dukungannya dengan jumlah buzz sebesar 1,719.
"Hal menarik lainnya dari #saveRRI tersebut adalah munculnya berbagai Tweet Picture kreatif yang banyak menarik perhatian netizen diantaranya adalah yang diposting melalui akun @jokoanwar yang mendapat retweet sebanyak 4,400 kali dan favorite sebanyak 200 kali," katanya.
Menurutnya, dukungan pengguna Twitter kepada RRI itu mirip dengan dukungan pada KPK dahulu. Saat itu pengguna media sosial menggunakan hashtag #saveKPK.
"Hingga artikel ini dituliskan, banjir dukungan netizen di #saveRRI tersebut masih terus mengalir dan tidak menutup kemungkinan akan membuahkan sukses serupa #saveKPK, karena diperlukan upaya yang sangat besar untuk membungkam suara rakyat di social media," katanya.