Anas Urbaningrum akui bertemu Setnov dua kali, bantah bahas e-KTP
Anas Urbaningrum akui bertemu Setnov dua kali, bantah bahas e-KTP. Dua pertemuan yang tidak disebutkan waktunya, mantan ketua umum Partai Demokrat itu juga menegaskan tidak ada Muhammad Nazaruddin.
Anas Urbaningrum memberikan kesaksiannya pada persidangan kasus korupsi proyek e-KTP dengan terdakwa Andi Agustinus alias Andi Narogong di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat. Dalam kesaksiannya, Anas mengaku pernah bertemu dengan Setya Novanto sebanyak dua kali.
Namun dia membantah pertemuan tersebut membahas proyek e-KTP. Dua pertemuan yang tidak disebutkan waktunya, mantan ketua umum Partai Demokrat itu juga menegaskan tidak ada Muhammad Nazaruddin.
Padahal, kesaksian Nazar pada persidangan sebelumnya dengan terdakwa yang sama, ada pertemuan diikuti Anas terkait pembahasan proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut.
"Saya bertemu dengan Setya Novanto di dua tempat. Di Cikeas untuk konsolidasi partai politik, kedua di kantor Set Demokrat di jalan Imam Bondjol dan saya pastikan di dua tempat itu tidak ada Nazaruddin," ujar Anas, Kamis (23/11).
Mengenai proyek e-KTP, Anas mengklaim tidak tahu menahu pembahasannya. Pun halnya dengan adanya bagi-bagi uang di DPR. Dia juga mengklaim tidak mengenal Andi Narogong saat proses pembahasan hingga pengerjaan proyek dilakukan.
"Saya tidak pernah mengenal terdakwa saya tidak pernah bertemu dengan terdakwa bagaimana bisa saya melakukan pertemuan dengan terdakwa apalagi dapat uang dari terdakwa," tukasnya.
Sementara itu, Jaksa Irene Putri menimpali Anas dengan pertanyaan koalisi partai politik. Hal itu didasari kesaksian Anas tentang pertemuannya dengan Setya Novanto sebanyak dua kali.
Terpidana kasus korupsi proyek wisma atlet di Hambalang itu mengatakan ada dua partai politik yang memiliki anggota terbanyak di parlemen; Demokrat dan Golkar.
Namun saat disinggung dukungan koalisi partai politik terhadap program e-KTP, Anas menjawab secara diplomatis. Dia menuturkan setiap fraksi di DPR tidak seluruhnya satu suara mendukung program yang akhirnya merugikan negara Rp 2,3 triliun.
"Ada dinamika dinamika kadang ada yang kontra ada yang dukung program pemerintah. Bahkan ada fraksi partai koalisi lebih keras dibanding (partai politik) oposisi," ujarnya.