Anggap Aturan Pajak 40% Matikan Usaha, PHRI Bali dan Asosiasi SPA Ancam Gugat ke MK
PHRI Bali akan memperjuangkan agar para pengusaha SPA di Bali tetap eksis.
Sebelumnya, pajak diterapkan hanya 15%
Anggap Aturan Pajak 40% Matikan Usaha, PHRI Bali dan Asosiasi SPA Ancam Gugat ke MK
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali dan asosiasi SPA di Bali bakal mengajukan uji materi terhadap Pasal 55, Ayat 1 dan Pasal 58, Ayat 2 tentang Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebabnya, dalam aturan tersebut bisnis SPA masuk dalam kategori hiburan sehingga dikenai pajak 40 persen. Kebijakan itu membuat pebisnis usaha SPA menjerit.
Ketua PHRI Bali sekaligus mantan wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Ardana Artha Sukawati atau Cok Ace mengatakan pihaknya sedang menyiapkan judicial review terkait pajak 40 persen untuk bisnis SPA.
Tak hanya itu, dalam waktu dekat pihaknya akan menjadwalkan Focus Group Discussion atau FGD dengan mengundang Menteri Pariwisata.
"Kami sedang menyiapkan judicial review-nya, kami sudah siapkan kajiannya," kata Cok Ace, usai mengikuti HUT ke-51 PDIP secara virtual di Kantor DPD PDIP Bali, di Kota Denpasar, Rabu (10/1).
Cok Ace merinci PHRI Bali juga menanungi bisnis Bali SPA and Wellness Association (BWSA) Bali. Dipastikan, PHRI Bali akan memperjuangkan agar para pengusaha SPA di Bali tetap eksis.
"BWSA akan mengajukan segera, karena sebelumnya kami akan perkuat dengan FGD. Kami kemarin sudah bicara dengan Kementerian Pariwisata untuk melihat jadwal Bapak Menteri," lanjutnya.
PHRI Bali berharap ada revisi soal usaha SPA yang dimasukkan dalam kategori hiburan. Saat ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali serta Dinas Pariwisata (Dispar) Bali sedang melakukan kajian soal SPA yang dikenai pajak 40 persen yang dimasukkan dalam kategori hiburan.
"Kami juga minta dukungan dari Bapak Pj Gubernur. Saat kami mengajukan judicial review ke Jakarta berjuang untuk Provinsi Bali," jelasnya.
Aturan tersebut baru dikeluarkan tahun 2022. Tetapi PHRI Bali, merasa tak pernah dilibatkan dalam pembahasan. Sehingga kini, kaget aturan itu tiba-tiba diterapkan.
"Kami agak kaget sekonyong-konyong sekarang sudah diberlakukan. Kami pikir seperti dulu, ini ranahnya di tingkat kabupaten. Kalau di tingkat kabupaten kan bisa bicara dengan kepala daerah sesuai kondisi daerah masing-masing. Tapi di sana dalam Undang-undang ditetapkan minimum 40 persen. Jadi kabupaten pun saat kami ajak bicara, tidak berani mengurangi, karena sudah ada undang-undangnya," jelasnya.
Sebagai informasi, Undang-undang (UU) Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menggabungkan seluruh jenis pajak daerah yang berbasis konsumsi ke dalam satu jenis pajak baru, yaitu pajak baru dan jasa tertentu. Objek pajak barang dan jasa tertentu tersebut antara lain makanan dan minuman, tenaga listrik, perhotelan, jasa parkir, serta jasa kesenian dan hiburan.
Namun, Pemda berwenang mengenakan pajak barang dan jasa tertentu (PJBT) yang sebelumnya 15 persen menjadi 40 persen dan maksimal 75 persen atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap atau spa. Sementara, tarif PBJT atas konsumsi listrik dari sumber lain oleh industri dan pertambangan migas maksimal 3 persen dan PBJT atas konsumsi lsitrik yang dihasilkan sendiri maksimal 1,5 persen.