Batasan usia dalam UU Perkawinan tidak langgar konstitusi
Pembatasan usia tersebut dimaksudkan agar pihak yang akan menikah sudah memiliki kematangan berpikir.
Ketentuan yang mengatur batasan minimal usia perkawinan bagi perempuan yaitu 16 tahun dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinilai tidak bertentangan dengan konstitusi. Ini karena penetapan batasan tersebut merupakan bentuk kebijakan politik terbuka dari pembuat UU.
Hal itu disampaikan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Amidan Syahberah. Atas hal itu, dia memandang pembatasan usia perkawinan tidak melanggar konstitusi.
"Umur 16 tahun bagi pihak perempuan bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan pilihan kebijakan terbuka dari pembentuk UU," ujar Amidan memberikan keterangan dalam sidang uji materi UU Perkawinan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (2/12).
Selain itu, Amidan mengatakan pemberlakuan batasan tersebut juga tidak bertentangan dengan hukum Islam terkait perkawinan. Menurut dia, batasan ini muncul karena sebelumnya terdapat banyak perkawinan yang dilangsungkan dengan usia perempuan di bawah 16 tahun.
"Penetapan usia itu sebagaimana Pasal 7 ayat (1) agar tidak terjadi kesenjangan yang jauh lebih jauh menurut agama Islam," kata Amidan.
Sementara itu, Ketua Majelis Hukum dan HAM Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Syaiful Bakhri mengatakan pembatasan usia tersebut dimaksudkan agar pihak yang akan menikah sudah memiliki kematangan berpikir. Hal itu untuk menghindari kemungkinan keretakan rumah tangga.
"Karena pasangan tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin," terangnya.
Hal senada diungkap oleh Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Ishomuddin. Dia menyatakan, terdapat sebagian ulama yang membolehkan perkawinan sebelum dewasa.
"Akad nikah sebelum dewasa dinyatakan boleh oleh sebagian ulama, tetapi melarang adanya persetubuhan karena mereka dianggap belum mampu," kata Ishomuddin.
Di samping itu, Ishomuddin memandang pembatasan tersebut merupakan hal wajar dilakukan negara. Menurut dia, hal itu dimaksudkan untuk mengatur rakyat untuk kemaslahatan bersama.
Atas hal itu, baik MUI, Muhammadiyah maupun PBNU menyatakan pasal tersebut tidak bertentangan dengan konstitusionalitas Indonesia. Sehingga, mereka meminta MK untuk menolak permohonan uji materi ini.
"Menolak kerusakan harus didahulukan daripada memunculkan kemaslahatan," kata Ishomuddin.
Permohonan uji materi ini diajukan oleh Yayasan Kesehatan Perempuan serta beberapa pemohon individu yaitu Indry Oktaviani , Fr Yohana Tantria W, Dini Anitasari Sa Baniah. Mereka menganggap batas usia minimal bagi perempuan untuk kawin telah melanggar hak anak.
Dalam sidang yang dipimpin sendiri oleh Ketua MK Hamdan Zoelva ini dijadwalkan mendengarkan keterangan dari beberapa lembaga agama. Tetapi, beberapa lembaga seperti Persatuan Gereja Indonesia (PGI) belum dapat memberikan keterangan lantaran waktu sidang yang kurang. Alhasil, MK akan memberikan kesempatan bagi PGI untuk memberikan keterangan pada sidang berikutnya.