Begini Isi Pleidoi Terdakwa Kasus Asabri Tanggapi Tuntutan Hukuman Mati
Kuasa hukum, terdakwa Heru Hidayat, Kresna Hutauruk menyebut tuntutan hukuman mati yang dilayangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyimpang.
Kuasa hukum, terdakwa Heru Hidayat, Kresna Hutauruk menyebut tuntutan hukuman mati yang dilayangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyimpang. Sebab, pasal yang menyangkut hukuman mati tidak tertuang dalam dakwaan sebelumnya.
Menurutnya, tuntutan itu tidak bisa dijadikan pertimbangan pemberat untuk menuntut hukuman mati sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Ayat 2 Undang-undang Tipikor.
-
Siapa Ki Arsantaka? Ki Arsantaka merupakan putra dari Bupati Onje II, pemimpin Kadipaten Onje (cikal bakal Kabupaten Purbalingga).
-
Siapa Aero Aswar? Aero Aswar bukanlah individu biasa; ia merupakan seorang atlet jet ski yang telah meraih banyak prestasi.
-
Di mana Asniati mengajar? PNS guru Taman Kanak-kanak (TK) Negeri 3 Sungai Bertam, Kabupaten Muaro Jambi ini tidak lagi diwajibkan mengembalikan Rp75 juta kepada negara.
-
Kapan kejadian asusila tersebut terjadi? Peristiwa itu terjadi dalam rentang 3-7 Oktober 2023. Saat itu, Hasyim Asyari tengah melakukan kunjungan kerja ke Belanda pada tanggal 03 Oktober – 7 Oktober 2023.
-
Kapan Masjid Jami Assuruur diresmikan? Masjid ini masih mempertahankan bentuk bangunannya sejak diresmikan pada 1874.
-
Kapan Janjang Saribu diresmikan? Tembok ini telah diresmikan oleh Bupati Agam pada tahun 2013.
"Bahwa dakwaan JPU keliru dan sesat, karena surat dakwaan merupakan landasan serta rujukan sebagai batasan dalam pembuktian tuntutan serta putusan dalam suatu pidana sebagaimana digariskan pasal 182 ayat 4 KUHP," kata kuasa Hukum Heru Hidayat, Kresna saat bacakan pleidoi atas di PN Jakarta Pusat, Senin (13/12).
Kresna beranggapan, dalam mengadili suatu perkara, JPU, penasihat hukum, dan Hakim tidak boleh menyimpang dari dakwaan yang telah disiapkan sebelumnya.
"Karena fungsi dari dakwaan JPU ada batasan, untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara dan dalam memastikan kepastian hukum terhadap terdakwa atau penasihat hukum terdakwa untuk menyusun pembelaan sebaik-baiknya," tuturnya.
"Apabila tidak ada kepastian hukum yang didakwaan, maka itu sangat bertentangan dengan hak asasi terdakwa untuk mendapatkan proses peradilan yang baik," tambahnya.
Kresna menyebut berdasarkan Bab 31 buku 2 KUHP khususnya pada pasal 486 sampai 488 disimpulkannya bahwa yang dimaksud pengulangan tindak pidana adalah seorang pelaku yang telah dihukum, kemudian melakukan tindak pidana yang sama dalam waktu 5 tahun.
Disisi lain, Kresna menilai tuntutan tambahan pengganti uang sebesae Rp12,64 triliun yang dijatuhkan kepada kliennya tidaklah sesuai karena bertentangan dengan Pasal 67 KUHP. Pasal itu disebutkan jika seseorang dihukum mati, tidak boleh dijatuhkan pidana lain selain pencabutan hak-hak ertentu dan pengumuman putusan hakim.
"bahwa karena merupakan terpidana seumur hidup dalam perkara lain maka terhadap terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana yang dapat menambahnya," katanya.
"Karena terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidnana yang didakwaakan, dan tuntutan yang diajukan JPU telah menyimpang ketentuan uu dan doktrin yang diuraikan diatas. Maka seluruhnya tuntutan JPU harus ditolak," tambahnya.
Pleidoi Heru Hidayat
Pleidoi terdakwa Heru Hidayat yang diserahkan secara tertulis kepada majelis hakim. Dia menyoroti terkait pasal hukuman mati yang sebelumnya tidak tercantum dalam dakwaan JPU.
"Sebagaimana kita ketahui bersama, Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) tidak pernah dicantumkan dalam Surat Dakwaan kepada saya, bahkan sejak awal mula Peyidikan perkara ini, pasal tersebut tidak pernah disertakan," kata Heru dalam pleidoinya.
Dalam dakwaannya, jaksa menyatakan Heru diancam melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Saat jaksa menjatuhkan tuntutan, Heru dinyatakan bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman pidana hukuman mati. Padahal dalam Undang-Undang No.31 Tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), ancaman hukuman mati itu tertuang di Pasal 2 ayat (2).
"Sementara ancaman hukuman mati dalam UU Tipikor hanya diatur dalam Pasal 2 ayat (2) tersebut. Lalu kenapa mendadak dalam Surat Tuntutan Jaksa menuntut mati ? Sementara dalam poin 1 amar Tuntutannya Jaksa menyatakan saya bersalah di Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor," ucap Bayu.
Heru menyatakan, tuntutan yang dijatuhkan jaksa kepada dirinya tidak sesuai dakwaan. Padahal dakwaan yang dijatuhkan jaksa dalam perkara apapun merupakan pedoman jaksa menjatuhkan tuntutan, serta pedoman dari majelis hakim untuk memutus perkara.
"Bukankah yang membuat persidangan ini ada adalah karena Surat Dakwaan Jaksa ? Sehingga jelas dalam perkara ini Jaksa telah melakukan Tuntutan diluar koridor hukum dan melebihi wewenangnya," tukas Heru.
Tunturan JPU
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut mantan Komisaris Utama PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat dengan hukuman mati dalam perkara dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI).
"Menghukum terdakwa Heru Hidayat dengan pidana mati," kata jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Agung (Kejagung) di Pengadilan Negeri TindakPidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin (6/12).
Menurut Jaksa, tuntutan hukuman mati kepada Heru layak diberikan, karena Heru juga terlibat dalam kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya, dengan pidana penjara seumur hidup.
"Terdakwa merupakan terpidana seumur hidup dalam korupsi di Jiwasraya yang merugikan negara Rp16 triliun lebih," katanya.
Lalu, hukuman itu pantas diberikan ke Heru karena tindakan korupsi masuk dalam kejahatan luar biasa. Dia juga tidak mendukung pemerintah dalam membuat penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Dalam kasusnya, jaksa menilai tidak ada tindakan yang bisa meringankan hukuman Heru. Beberapa hal meringankan yang ada di persidangan ditolak jaksa.
(mdk/ray)