Bisnis Vila Kian Marak, Bali Villa Association Soroti Sejumlah Masalah
Jumlah vila di Bali mengalami pertumbuhan yang signifikan.
Jumlah vila di Bali mengalami pertumbuhan yang signifikan.
Bisnis Vila Kian Marak, Bali Villa Association Soroti Sejumlah Masalah
Setelah masa pandemi berlalu, bisnis vila di Bali terhitung yang paling cepat pulih. Situasinya pun seakan normal kembali dengan tingkat hunian rata-rata sekitar 70 persen dan harga yang stabil.
Hal itu diungkapkan Ketua Bali Villa Association (BVA) 2021-2026, Putu Gede Hendrawan, Jumat (17/11/2023).
"Mungkin karena pengaruh turis yang makin individual dan mereka ingin pengalaman berwisata yang berbeda," katanya.
Jumlah vila di Bali juga mengalami pertumbuhan yang signifikan khususnya untuk private vila. Apalagi setelah sistem perizinan yang menggunakan Online Single Submission (OSS) dan usaha vila memiliki Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) tersendiri.
"Jadi sekarang jauh lebih mudah untuk berusaha secara legal yang termasuk sebagai usaha akomodasi dengan kategori UMK ini," katanya.
Dari segi tata ruang, kata dia, juga kerap ada masalah dimana izin yang disetujui oleh sistim OSS seringkali berada di lahan yang tak semestinya.
"Apalagi sekarang tak dibutuhkan rekomendasi dari penyanding," katanya.
Pihaknya telah menyampaikan berbagai masalah di lapangan agar tak terjadi benturan di lapangan.
"Apalagi di Bali ini ada aturan-aturan lokal yang khas seperti adanya kawasan suci," sebutnya yang sempat menjadi Ketua BVA Badung pada 2016-2021.
BVA pun tetap berkomitmen agar perkembangan bisnis vila tak identik dengan percepatan alih fungsi lahan. Pembangunan vila mestinya sejalan dengan pelestarian alam dimana maksimal hanya 40 persen dari lahan yang digunakan untuk bangunan.
"Ini untuk menjaga agar sirkulasi udara tetap bagus, ada daerah resapan air dan bagi vila sendiri ada view yang membedakan dengan bangunan lain," katanya.
Sayangnya dalam masalah ini, BVA sendiri masih bersifat lokal karena hanya ada di Bali sehingga belum bisa menjadi counterpart atau penyeimbang kebijakan pemerintah di tingkat nasional.
Di sisi lain, pihaknya mengimbau agar warga Bali berhati-hati saat melakukan perjanjian dengan investor yang ingin membangun vila yang kebanyakan adalah Warga Negara Asing (WNA).
Harus dipastikan bahwa selain mendapatkan uang dari lahan yang disewakan juga memperoleh keuntungan melalui pembagian saham.
"Jangan puas kalau hanya dijadikan nominee (perwakilan-red) pemilik vila saja," katanya.
Selain itu, bila menyewakan vila untuk WNA dalam jangka panjang, harus dipastikan bahwa vila itu tidak untuk dibisniskan lagi misalnya disewakan secara harian.
"Jadi saat perjanjian harus sudah dicantumkan aturannya dan sanksi bila hal itu terjadi," tegasnya.
Banyak kasus juga, penyewaan vila itu bahkan dilakukan di luar negeri karena rental vila dalam jangka panjang biasanya dengan sistem lepas kunci.
Gede Hendrawan menyebut, dalam hal pengaturan vila sendiri, posisi BVA belum terlalu kuat. Sebab, tak ada kewajiban pemilik atau manajemen vila untuk menjadi anggota. Namun pihaknya selalu menjadi mitra pemerintah dalam penyusunan maupun penegakan aturan.
Sampai saat ini, jumlah anggota BVA hanya berkisar ratusan saja. Meski terhitung sedikit, anggota BVA dipastikan memiliki standar layanan yang sudah pasti sehingga memberikan perlindungan bagi konsumen.
"Kami juga membantu anggota bila mengalami masalah-masalah di lapangan," katanya.
Kualitas Pariwisata Bali
Terlepas dari soal bisnis vila, menurutnya, pariwisata Bali memiliki pekerjaan rumah karena kualitas wisatawan mancanegara yang cenderung menurun.
Hal itulah yang kemudian menimbulkan masalah seperti turis yang terlunta-lunta saat berada di Bali, perilaku yang tak terkendali hingga membuka usaha yang melanggar aturan.
"Ini harus dipikirkan kedepannya, filternya seperti apa," tegasnya.
Pemangku kebijakan juga harus mencermati pergeseran pasar khususnya dalam mempromosikan Bali. Dari pengalaman melihat perkembangan turis Rusia, kata dia, mereka awalnya pada era 2010 hingga menjelang pandemi termasuk dalam kategori turis high class.
Namun kemungkinan karena kondisi di dalam negerinya, menurut dia, kualitas turis menurun dan yang datang adalah mereka tak memiliki cukup uang. Akibatnya, saat berada di Bali kemudian banyak yang berulah.
Sementara itu, dari sisi Bali sendiri terdapat sejumlah masalah yang harus diatasi seperti soal sampah dan kemacetan. Bila hal itu tak bisa diatasi akan sulit untuk menjaring turis yang berkualitas.
Karena alasan itu, Hendrawan mendukung rencana untuk penarikan pungutan bagi wisman sebesar Rp 150 ribu per orang mulai bulan Februari 2024 nanti.
"Tentu harus ada mekanisme yang jelas nantinya dari cara penarikan hingga pemanfaatannya," katanya.
Pihaknya mengaku sempat dilibatkan saat perencanaan kebijakan itu dan berharap secara teknis tidak akan ada hambatan.
"Kita ingatkan sejak awal supaya ada transparansi dan jangan sampai ada korupsi sehingga wisman akan percaya dan memberikan dana secara sukarela, bahkan bisa lebih dari yang minimal," tegasnya.