Cegah korban miras oplosan, bekas pecandu dirikan rumah terapi
Jumlah korban jiwa akibat minum miras oplosan di Indonesia lebih besar ketimbang korban jiwa akibat narkoba.
Tekan angka kematian akibat minuman keras (miras) oplosan, sejumlah mantan pengguna narkotika dirikan rumah terapi, rehabilitasi dan edukasi kepada sejumlah konsumen miras di Surabaya, Jawa Timur.
Menurut Lukman Hakim (38), salah satu mantan pengguna narkoba, mengatakan hingga saat ini miras oplosan kerap dikonsumsi anak-anak antara usia 18 hingga 21 tahun.
Dia menjelaskan, racun miras oplosan terjadi ketika minuman keras yang mengandung alkohol dicampur dengan bahan-bahan lain mengundang racun. Dengan takaran kecil sebanyak 30 mili liter saja, sudah cukup mematikan bagi orang dewasa.
"Ketika diminum, tubuh manusia akan mengubah metanol menjadi formaldehida atau formalin. Jadi sama saja seperti minum formalin yang biasa digunakan untuk mengawetkan mayat," papar Lukman usai memberi materi pencerahan ke sejumlah peserta di rumah terapi, rehabilitasi dan edukasi di Jalan Bratang Binangun VC/54 Surabaya.
Dia menjelaskan, hingga saat ini banyak yang beranggapan, termasuk peserta program rehabilitasi, miras oplosan tidak dilarang dan lebih mudah didapat dibanding minuman beralkohol legal, yang saat ini penjualannya dibatasi sejak Perda Pengendalian, Pengawasan, dan Peredaran minuman beralkohol diberlakukan pasca-paripurna di DPRD Jatim pada 22 Juli lalu.
"Di Tulungagung Jawa Timur misalnya. Banyak anak-anak SMP, lebih sering menggunakan miras oplosan dibandingkan mengkonsumsi narkotika. Selain mudah didapatkan, harga miras oplosan lebih terjangkau dan bisa disesuaikan uang saku mereka dibandingkan alkohol legal dan narkotika," terang Lukman.
Sayangnya, kata dia, saat ini, baik pusat rehabilitasi maupun pemerintah lebih fokus pada kasus narkotika. Sedangkan untuk menangkal bahaya miras oplosan, lebih memakai pendekatan regulasi seperti Perda dan RUU yang mengatur minuman beralkohol.
"Padahal sudah ada sejumlah regulasi tetapi tetap memakan korban jiwa karena penjualan miras oplosan dilakukan di pasar gelap," katanya menyayangkan.
Dari catatan Gerakan Nasional Anti Miras, di Indonesia terhitung ada 18 ribu orang tewas tiap tahunnya akibat miras oplosan. Berdasarkan laporan WHO mengenai alkohol dan kesehatan, di Tahun 2011 sudah ada 320 ribu orang di dunia, menemui ajal pada usia 15 hingga 29 tahun akibat mengkonsumsi methanol (miras oplosan).
Jumlah korban jiwa meninggal akibat miras berbahan methanol ini, di Indonesia, angkanya lebih besar dibanding jumlah korban meninggal akibat narkotika, psikotropika dan bahan aditif (narkoba). Badan Narkotika Nasional (BNN) sendiri, mencatat ada sekitar 40 orang menemui ajal tiap hari atau 15 ribu korban meninggal karena narkoba.
"Untuk mencegah dampak miras oplosan lebih besar lagi, maka perlu pendekatan edukatif. Memang ini sangat kontroversial, sama halnya dengan edukasi penggunaan kondom untuk pencegahan HIV/AIDS yang pernah menjadi perhatian karena sama dengan melegalkan prostitusi," ujarnya.