Cerita Orang Tua Santri Gontor yang Meninggal Tak Kuat Bertemu Penganiaya Anaknya
Perkara dugaan pengeroyokan yang menyebabkan meninggalnya santri Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, AM (17), tinggal menunggu sidang di pengadilan. Dua santri, MFA (18) dan IH (17), akan diadili dalam perkara ini.
Perkara dugaan pengeroyokan yang menyebabkan meninggalnya santri Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, AM (17), tinggal menunggu sidang di pengadilan. Dua santri, MFA (18) dan IH (17), akan diadili dalam perkara ini.
Ibu korban, SM (45), mengapresiasi kinerja polisi yang bergerak cepat menangani kasus ini, sehingga pelaku kekerasan terhadap putranya terungkap. Informasi yang diterimanya, kasus ini segera diproses di persidangan.
-
Kapan Pondok Pesantren Langitan didirikan? Jauh sebelum Indonesia merdeka, yakni pada tahun 1852, Kiai Muhammad Nur mendirikan pondok pesantren di Kecamatan Widang, Kabupaten Tuban.
-
Bagaimana penanganan kasus pencabulan pengasuh pondok pesantren? Kasus itu telah naik ke tahap penyidikan, sementara korban sedang didampingi pihak pihak P2TP2A untuk menghilangkan trauma
-
Keajaiban apa yang terjadi pada santri Pesantren Buntet tersebut? Yang lebih mengejutkan, saat Kiai Abbas tengah berdoa, tiba-tiba terdengar suara dari jenazah yang meminta agar tidak dikuburkan."Ya kiai, saya masih hidup, tolong jangan dikuburkan," kata jenazah tersebut.
-
Siapa yang dicabuli oleh pengasuh pondok pesantren? Pengasuh pondok pesantren itu berinisial BN. Dari enam santriwati yang dicabuli, beberapa di antaranya bahkan diminta untuk melayani kebutuhan biologisnya.
-
Apa yang menjadi ciri khas Pondok Pesantren Canga'an? Penamaan kompleks kamar santri menggunakan nama daerah di nusantara. Mulai dari Madura, Bangkalan, Jawa. Penyebutan kata Jawa pada masa Hasyim Asyari, meliputi Indonesia, Brunei Darussalam dan Malaysia. Ada kemungkinan para santri berasal dari berbagai negara di Asia Tenggara.
-
Kapan Pondok Pesantren Canga'an didirikan? Berdiri sejak tahun 1711, kini pondok pesantren tersebut sudah berusia lebih dari tiga abad.
"Sedang menunggu proses sidang," ungkap SM di Palembang, Rabu (12/10).
Terkait sidang itu, SM dan keluarga sangat ingin menghadiri langsung agar dapat mengetahui peristiwa itu secara gamblang. Namun dia mengaku menghadapi dilema, karena dirinya takut tak mampu menahan kesedihan ketika melihat wajah kedua pelaku.
"Saya inginnya hadir langsung, tapi khawatir saya tak kuat melihat mereka, sehingga teringat kembali dengan peristiwa yang menimpa anak saya," ujarnya.
Minta Fakta Diungkap
Terlepas dari itu, SM berharap majelis hakim nantinya memberikan putusan sesuai perbuatan pelaku. Dari sidang itu juga dapat mengungkap fakta yang mungkin belum sepenuhnya diketahui publik.
"Saya berharap sidang berjalan lancar dan keputusan yang diambil sesuai dengan aturan yang berlaku," tegasnya.
Diketahui, SM meminta keadilan atas tewasnya anaknya, AM (17), yang diduga korban tindak kekerasan di Pondok Modern Darussalam Gontor 1 Pusat, Ponorogo, Jawa Timur. Dia meminta polisi mengusut tuntas kasus tersebut.
Hal itu disampaikan SM saat bertemu dengan pengacara kondang, Hotman Paris di Palembang bulan lalu. Dia tidak terima anaknya tewas mengenaskan yang diduga korban penganiayaan.
Curiga sejak Awal
Dalam surat terbuka yang diterima merdeka.com, SM mengaku sangat kaget mendengar kabar dari pesantren bahwa anaknya meninggal dunia di pesantren, Senin (22/8) pukul 10.20 WIB. Dia tak percaya kabar itu karena anaknya tidak ada kabar sakit atau apa pun.
"Karena mendengar berita itu kami shock dan tidak bisa berpikir apa-apa, yang kami harap adalah kedatangan ananda ke Palembang meskipun hanya tinggal mayat," ungkap SM, Senin (5/9).
Kecurigaan muncul begitu mendapatkan surat keterangan yang menyebutkan anaknya meninggal dunia pukul 06.45 WIB. SM curiga terjadi apa-apa karena rentang waktu meninggal dan kabar ke keluarga cukup lama.
"Ada apa ini? Rentang waktu itu menjadi pertanyaan keluarga kami," ujarnya.
Selasa (23/8) siang, jenazah tiba di Palembang yang diantar seorang perwakilan dari Gontor. Di hadapan pelayat, keluarga menyebut korban meninggal usai terjatuh akibat kelelahan mengikuti Perkemahan Kamis-Jumat (Perkajum), seperti yang diceritakan para wali santri yang lain.
Pesantren Akui Korban Meninggal akibat Kekerasan
Hingga akhirnya keluarga meminta kain kafan yang menutup jenazah dibuka. Keluarga kaget karena ditemukan beberapa luka lebam diduga akibat kekerasan, bahkan keluarga harus mengganti dua kali kain kafan karena banyaknya darah yang terus mengalir dari jenazah.
"Sungguh sebagai ibu saya tidak kuat melihat kondisi mayat anak saya. Amarah tak terbendung, kenapa laporan yang disampaikan berbeda dengan kenyataan yang diterima," kata SM.
Merasa ada kejanggalan, keluarga menghubungi pihak forensik dan rumah sakit untuk melakukan autopsi. Namun setelah didesak, akhirnya perwakilan Ponpes Gontor 1 yang mengantar jenazah mengakui bahwa korban meninggal akibat terjadi kekerasan.
"Saya pun tidak bisa membendung rasa penyesalan saya telah menitipkan anak saya di sebuah pondok pesantren yang notabene nomor satu di Indonesia," kata dia.
"Setelah ada pengakuan telah terjadi tindak kekerasan di dalam pondok, saya memutuskan untuk tidak jadi melakukan autopsi agar anak saya segera bisa dikubur mengingat sudah lebih dari satu hari perjalanan dan saya tidak rela tubuh anak saya diobrak-abrik," sambungnya.
Dikatakan, keluarga sudah berusaha menutup rapat penyebab kematian putra sulungnya itu. Dia beralasan, pihak Gontor berjanji akan menyelesaikan masalah ini.
Keluarga Putuskan Ungkap Kasus ke Publik
Sepekan berselang, keluarga merasa pihak pondok pesantren tidak memiliki itikad baik dalam menyelesaikan masalah tersebut meski sudah berkirim surat hingga akhirnya keluarga memutuskan membuka kasus ini.
"Intinya kami ingin pelaku dan keluarganya untuk duduk satu meja, kami ingin tahu kronologi hingga meninggalnya anak kami. Tapi sampai sekarang, belum ada kabar dari surat yang kami sampaikan ke pondok pesantren selaku keluarga korban. Saya tidak ingin perjuangan anak saya siswa Kelas 5i Gontor 1 Ponorogo sia-sia," tegasnya.
"Jangan lagi ada korban-korban kekerasan, bukan hanya di Gontor, tetapi di pondok lainnya hingga menyebabkan nyawa melayang, tidak sebanding dengan harapan para orang tua dan wali santri untuk menitipkan anaknya di sebuah lembaga yang dapat mendidik akhlak para generasi berikutnya," tutupnya.
Setelah kasusnya viral, kepolisian setempat melakukan penyelidikan yang diawali dengan koordinasi dengan pihak Gontor dan selanjutnya olah TKP serta autopsi terhadap jenazah korban yang dimakamkan di Palembang. Kasusnya terus menemui titik terang sehingga penyidik menetapkan dua tersangka dalam kasus ini.
(mdk/yan)