Cerita Pilu Guru Honorer di Konsel Dituduh Aniaya Siswa Diduga Anak Polisi Hingga Dipenjara & Diperas Rp50 Juta
Padahal, korban tak pernah sekalipun mengajar di kelas anak tersebut. PGRI menyebut tindakan ini sebagai kriminalisasi terhadap tenaga pendidik.
Jagat media sosial (medsos) ramai memperbincangkan nasib seorang guru honorer Sekolah Dasar Negeri (SDN) 4 Baito, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara bernama Supriyani.
Dia ditahan karena dituding melakukan penganiayaan terhadap seorang muridnya yang ayahnya anggota polisi. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sultra menilai kasus yang menjerat Supriyani merupakan kriminalisasi.
- Cerita Kepala Sekolah Diminta Polisi Bujuk Supriyani Akui Aniaya Siswa, Guru Honorer Sempat Nangis Bingung Minta Maaf
- Didakwa Lakukan Kekerasan ke Siswa Anak Polisi, Guru Honorer Ajukan Eksepsi
- Polri Buka Suara Kasus Guru Honorer Berakhir di Sidang Usai Dituduh Aniaya Anak Polisi & Diduga Diperas Rp50 Juta
- Sekolah Ini Ajarkan Muridnya Mencuri dan Berbuat Kriminal, Gurunya Gengster dan Uang Sekolah Rp55 Juta
Ketua PGRI Sultra Halim Momo mengatakan pihaknya sudah melakukan investigasi terkait kasus yang menimpa Supriyani. Baginya, kasus yang menjerat Supriyani patut menjadi perhatian.
"Tadi saya sudah lakukan investigasi langsung kepada Ibu Supriyani. Jadi terus terang ini kasus haru biru dan memprihatinkan," ujarnya melalui telepon, Senin (21/10).
Berdasarkan investigasi dilakukan PGRI Sultra, kata Halim, terungkap bahwa Supriyani tidak pernah bertemu dengan murid yang mengaku dianiaya. Halim menyebut, kejadian yang diduga penganiayaan dialami siswa tersebut pada hari Rabu.
"Dia (Supriyani) pernah mengganti guru wali kelas di bulan Januari, karena waktu itu wali kelasnya sakit. Jadi bagaimana Ibu Supriyani ini dia bisa melakukan kesalahan dengan anaknya Pak Wibowo, padahal ibu Supriyani ini tidak mengajar pada hari Rabu itu," bebernya.
Halim mengaku narasi terkait kasus yang menimpa Supriyani dan viral di media sosial (medsos) adalah benar. Meski demikian, Halim membantah narasi jika Supriyani menjewer muridnya.
"Jadi benar yang viral itu, yang tidak benar itu bahwa dia menjewer. Kan dia di situ diceritakan menjewer," kata dia.
Halim juga menceritakan sempat ada mediasi yang dilakukan oleh kepala desa. Saat mediasi tersebut, orang tua murid tersebut meminta uang Rp50 juta sebagai uang damai.
"Jadi ada unsur menurut saya boleh jadi ini ada unsur kriminalisasi, karena Ibu Supriyani tidak pernah melakukan. Kedua, ada unsur pemerasan dari oknum orang tuanya siswa yang bersangkutan yang seorang polisi," tegasnya.
Halim mengaku Supriyani tidak bisa memenuhi permintaan uang Rp50 juta tersebut. Alasannya, Supriyani hanya seorang guru, dan suaminya seorang petani.
"Dia tidak punya uang, dia mau ngambil di mana, karena dia kan seorang honorer tidak punya uang Rp50 juta. Sehingga diam-diam, tiba-tiba Ibu Supriyani di penjara," keluhnya.
Bahkan, kasus Supriyani akan disidangkan pada tanggal 24 Oktober 2024. Halim juga melihat ada kejanggalan kasus yang menimpa Supriyani.
"Saksi-saksi itu yang diambil keterangannya, bahkan saksi itu anak kecil. Masa anak kelas 1 SD bisa jadi saksi," tuturnya.
Selain itu, penyidik kepolisian yang memaksa Supriyani untuk mengakui. Akibatnya, hal itu dijadikan sebagai senjata untuk mentersangkakan Supriyani.
"Sehingga itu yang dijadikan oleh kepolisian menyebabkan Ibu Supriyani ditersangkakan karena mengakui kesalahannya," tegasnya.
Halim menegaskan kasus yang menimpa Supriyani sebagai bentuk kriminalisasi terhadap guru.
"Iya ini kriminalisasi apalagi dia tidak pernah melakukan itu. Dia tidak pernah bertemu dengan anak yang bersangkutan. Bagaimana dia mau ditersangkakan dan dipenjarakan, padahal dia tidak pernah melaksanakan (menganiaya muridnya)," tegasnya.
Halim mengaku akibat kasus ini, Supriyani tidak mengikuti ujian aparatur negeri sipil (ASN) dan harus meninggalkan anaknya. Bagi Halim, banyak pengorbanan yang telah diberikan Supriyani selama 1 tahun menjadi guru honorer.
"Seseorang yang tidak pernah melakukan itu tapi di kriminalisasi, dia dipenjarakan dan dia banyak berkorban karena anaknya masih kecil. Dia tidak bisa ikut tes pegawai, banyak hal yang dia korbankan padahal dia tidak pernah melakukan hal itu," kata Halim.
Halim mengaku kasus yang menimpa Supriyani sangat berbahaya. Sehingga, ia meminta perhatian kepada kepolisian, kejaksaan, dan pemerintah untuk memperhatikan masalah ini.
"Ini sangat berbahaya, sehingga ini perlu menjadi perhatian pihak kepolisian, kejaksaan, pemerintah. Karena ini sangat berbahaya untuk pendidikan di Indonesia," ujarnya.
Halim mengaku PGRI akan mendampingi Supriyani dengan menyiapkan bantuan hukum secara penuh.
"Kami tetap mendampingi beliau dengan menyiapkan bantuan hukum dari PGRI sendiri maupun dari pihak lembaga hukum dari pusat. Karena benar-benar beliau tidak melakukan kesalahan itu," tuturnya.
Sementara terkait siswa yang mengaku dianiaya oleh Supriyani, Halim mendapatkan informasi masih bersekolah di SDN 4 Baito. Meski demikian, para guru sudah bersepakat jika kasus yang menimpa Supriyani tidak diselesaikan secara profesional maka siswa tersebut akan dikembalikan kepada orang tuanya.
"Bukan kita tidak mau mendidik, tapi silakan bapaknya karena sudah mengkriminalisasi guru, silakan bapaknya yang sekolah tersendiri anaknya sampai doktor di rumahnya. Karena tidak ada sekolah yang mau menerima dia," geramnya.
Sementara suami Supriyani, Katiran mengaku sempat ada permintaan uang ganti rugi atas kasus tersebut sebesar Rp50 juta. Hanya saja, Katiran yang seorang petani dan istrinya sebaga guru honorer tidak bisa menyanggupi permintaan tersebut.
"Di mana kami bisa dapatkan uang sebanyak itu. Saya hanya seorang petani dan istri hanya guru honorer," tuturnya kepada wartawan.
Ia tak menyangka kasus yang menimpa istrinya sehingga ditahan di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) perempuan. Apalagi, kasus yang dituduhkan kepada istrinya tidak benar.
"Ada sejumlah kesaksian yang membantah tuduhan itu. Istrinya sendiri, saudara kembar korban, teman-teman sekolah korban, dan beberapa guru yang mengajar di sana, membantah telah menganiaya," keluhnya.
“Ada dua siswa yang membenarkan pemukulan. Namun berbeda keterangan. Satu mengaku dipukul dalam kelas, satunya terjadi di luar kelas. Kalau kepsek, wali kelas, dan guru-guru di sana tidak ada yang benarkan,” ucapnya.