Dedi Mulyadi rayu dua anak penjual cobek agar lanjutkan sekolah
Kedua anak penjual cobek itu sempat berkukuh tak ingin melanjutkan sekolah dan ingin mencari uang. Namun akhirnya keduanya akan bersekolah di SMPN 6 yang tak lain satu-satunya sekolah yang menjadi tempat pembibitan pemain bola Asli Sepakbola Asal Desa (ASAD).
Selain mengundang Tajudin (42), ketua DPD Golkar Jabar Dedi Mulyadi juga mengundang makan malam Dendi Darmawan (15) dan Cepi Nurjaman (16), dua anak yang dituduh 'dijual' dalam dugaan trafficking melibatkan Tajudin.
Dua anak itu sebelumnya disangkakan menjadi korban trafficking oleh Tajudin karena diduga disuruh menjual cobek. Padahal keduanya menjual cobek tersebut tanpa ada unsur paksaan.
-
Apa yang diharapkan dari Dana Desa di Purwakarta? “Alhamdulillah, dana desa sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Purwakarta, khususnya yang berada di desa. Ini terlihat dari jumlah Desa Mandiri di Purwakarta yang meningkat menjadi 60 desa, dari yang sebelumnya 25 desa. Capaian ini merupakan lompatan yang luar biasa bagi Purwakarta,” ucap Anne.
-
Bagaimana Dedi Mulyadi merawat Sapi Bargola? Dirawat dengan Rasa Melalui pengelolaan di Peternakan Lembur Pakuan, Dedi memberikan contoh bagaimana mengelola peternakan yang baik, pertanian organik sampai pada membangun sektor perikanan yang baik di pedesaan.
-
Dimana letak Purwakarta? Terletak di jantung Provinsi Jawa Barat, wilayah ini tidak hanya dikenal dengan keindahan budaya Sunda, tetapi juga peradaban masa lampau dan masa kininya.
-
Siapa Mbak Dewi? Atha Dewi Prihantini (38) jadi salah satu pelestari adrem yang belakangan mulai terangkat ke permukaan.
-
Mengapa Dedi Mulyadi akan meminta restu Prabowo untuk maju di Pilgub Jabar? Sebagai calon, Dedi mengaku akan meminta restu persetujuan dari Ketum Gerindra Prabowo Subianto untuk bertarung pada Pilkada Jabar.
-
Siapa Dewi Rengganis? Legenda Dewi Rengganis penjaga Gunung Argopuro Diceritakan bahwa Dewi Rengganis, putri dari Kerajaan Majapahit, diasingkan ke puncak gunung bersama enam dayangnya.
Ditemui di sela-sela acara makan malam, Dedi dan Cepi kompak mengatakan bahwa mereka berjualan bukan karena paksaan tapi keinginan diri sendiri untuk mencari uang. Bahkan keduanya tidak mau lagi bersekolah dan memilih untuk ikut berjualan cobek.
"Teu sakola, teu diteruskeun. Hoream, hayang gawe weh. Jual coet ge hayang sorangan teu diajakan ku sasaha. (Tidak sekolah, tidak diteruskan. Males, pingin kerja saja. Jual cobek juga pingin sendiri tidak diajak siapa-siapa)," ucap Dendi yang juga keponakan Tajudin.
Dendi sempat mengenyam pendidikan hingga lulus SD. Sementara Cepi yang merupakan anak paman Tajudin, sempat meneruskan sekolahnya namun sebelum naik ke kelas dua SMP dia memilih berhenti. Lagi-lagi keduanya beralasan kompak yakni ingin mencari uang sendiri.
Dendi menuturkan, dalam sehari dia bisa membawa delapan cobek ukuran kecil dengan bobot sekira 16 kg. Cobek tersebut dibeli dengan harga Rp 5.000 per buah, dan dijualnya hingga Rp 40.000-60.000 per buah.
Meski memiliki tekad mencari uang sendiri, namun Dendi dan Cepi masih sadar diri dengan fisiknya yang belum terbiasa mengangkat beban banyak selama seharian. Sehingga dalam satu minggu keduanya hanya berjualan keliling jalan atau perumahan di sekitaran Tangerang.
"Bawa delapan juga paling laku hanya dua. Dapet untung Rp 80.000 itu buat makan, jajan, dan ditabung buat pulang ke rumah. Paling bawa ke rumah itu Rp 500.000," katanya.
Pasca 'penyergapan' Tajudin, keduanya pun mengaku merasa trauma. Sehingga mereka tak mau lagi berjualan dan memilih untuk membantu orang tuanya menjadi pengrajin cobek di rumah. "Sekarang enggak jualan tapi bikin cobek dari bahan batu ditatah. Sehari paling dapat Rp 20.000-30.000," tuturnya.
Sementara dalam pertemuan yang dibalut tawa canda itu, Dedi Mulyadi terus merayu kedua anak tersebut untuk mau meneruskan sekolah. Dari mulai mengikuti sekolah kejar paket, iming-iming uang, terus Dedi lakukan demi kedua anak tersebut kembali sekolah.
"Daek teu sakola deui, lamun daek ku saya dibere duit Rp 5 juta keur duaan. Daek teu sakola di sakola terbuka," ujar Dedi namun tak kunjung mendapat jawaban dari kedua anak tersebut.
"Ieu serius saya ngabantuan. Salian ti tukang coet hayang jadi naon. Ku saya dibantuan meumpeung amprok. Hayoh hayang naon, saya ikhlas ngabantuan," tambah Dedi.
Namun keduanya berkukuh ingin terus bekerja membantu orang tuanya menjadi pengrajin cobek. Dedi menanyakan, cita-cita kedua anak tersebut selain menjadi pengrajin cobek. Dan terjawab jika keduanya hobi bermain bola dan ingin menjadi pemain profesional.
Akhirnya setelah pergumulan yang cukup alot, Dendi dan Cepi akan ditampung di SMPN 6 Purwakarta yang merupakan satu-satunya sekolah yang menjadi tempat pembibitan pemain bola Asli Sepakbola Asal Desa (ASAD) 313 Jaya Perkasa yang sudah sering menjuarai berbagai kompetisi di tingkat nasional mau pun internasional.
Di sekolah tersebut, Cepi dan Dendi akan tinggal di asrama dan mendapatkan pelajaran seperti pada umumnya. Bedanya di sekolah tersebut anak-anak lebih ditekankan untuk belajar sepakbola, mengaji, dan bahasa inggris.
"Ya sudah mulai besok saya daftarkan di SMPN 6. Kalau memang tetap ingin cari uang dari bikin cobek silakan, nanti bahannya bawa dari rumah pahat setelah beres latihan bola dan sekolah," jelas Dedi.
Dedi yang juga menjabat Bupati Purwakarta ini meminta ilmu membuat cobek yang dimiliki Cepi dan Dendi ditularkan pada siswa lainnya untuk kemudian dikembangkan. "Kalau perlu dan memang berbakat saya khusus akan panggil guru pahat. Dan kalau memang bakat kalian dipahat memahat, saya sekolahkan ke Bali," jelasnya.
Ditemui usai makan malam, Dedi mengatakan, keinginannya untuk menyekolahkan Dendi dan Cepi bukan tanpa alasan. Pasalnya pasca kasus hukum yang menimpa Tajudin tidak ada kejelasan terhadap kedua anak yang disebut 'korban' trafficking.
"Malah dari pada dagang saya rasa lebih berat membuat cobeknya. Dan dari segi uang yang didapat kedua anak itu juga lebih kecil membuat dari pada menjual. Saya tidak mau mengurusi urusan hukumnya. Terpenting saya ingin membantu hidup Pak Tajudin dan dua anak tadi agar mau sekolah," katanya.
Bagi Dedi keinginan Cepi dan Dendi untuk mencari uang sendiri adalah sebuah hal yang wajar terlebih melihat status dan kehidupan mereka di rumahnya. Bahkan Dedi pun menyebut saat masih kecil dirinya tak jauh berbeda dengan Cepi dan Dendi. Saat masih sekolah Dedi pernah merasakan menjadi pedagang es, penjual layangan, tukang foto keliling, hingga menjadi kenek angkutan umum. "Bedanya saya waktu itu masih tetap sekolah," ucapnya.
Bahkan Purwakarta yang mengusung pendidikan berbasis karakter berbudaya, beberapa bulan lalu pun membuat program sekolah vokasional di mana para pelajar setiap dua minggu sekali diharuskan mengikuti pekerjaan orang tuanya. Tujuannya tak lain agar pelajar tahu bagaimana sulitnya orang tua bekerja dan juga sebagai terjemahan pendidikan pancasila yang lebih aplikatif dan produktif.
(mdk/noe)