Depan TKI di Malaysia, Nusron Wahid ibaratkan koruptor dengan hewan
"Makan sebanyak-banyaknya untuk bersenang-senang, memangsa hak orang lain dan dilakukan penuh dengan rekayasa."
Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Nusron Wahid mengatakan, hikmah puasa yang paling besar dan nyata bagi bangsa Indonesia, manakala setelah puasa Ramadan sudah tidak ada lagi korupsi, penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenangan.
"Perintah spiritual dalam puasa adalah menahan hawa nafsu. Jihad paling akbar juga perang melawan hawa nafsu. Hawa nafsu yang paling nyata di depan mata dan menjadi realitas publik adalah korupsi, manipulasi, kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok," kata Nusron Wahid dalam khutbah Shalat Idul Fitri 1437 H, di KBRI Kuala Lumpur Malaysia, Rabu (6/7) dikutip dari Antara.
Nusron Wahid untuk kedua kalinya kembali merayakan hari Lebaran bersama TKI. Setelah pada Lebaran tahun lalu Nusron merayakan lebaran dan Sholat Idul Fitri bersama TKI di Korea Selatan, kali ini Nusron merayakannya bersama TKI di Malaysia.
Salat Idul Fitri di KBRI Kuala Lumpur dihadir sekitar 3000-an TKI dan WNI lainnya. Selain dihadiri Kepala BNP2TKI Nusron Wahid, hadir juga Dubes RI untuk Malaysia Herman Prayitno dan beberapa tokoh lainnya.
Nusron menyatakan, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan yang bathil, menurut Imam Ghozali, merupakan manivestasi dan implementasi sifat bahimah (kehewanan), syabu'iyyah (kebuasaan) dan syaitoniyyah (kesetanan).
"Koruptor itu sifatnya sama dengan hewan, makan sebanyak-banyaknya untuk bersenang-senang, memangsa hak orang lain dan dilakukan penuh dengan rekayasa dan tipu daya yang sering dilakukan syetan," ujarnya.
Ketiga sifat yang menjerumuskan ini, kata dia, hanya bisa dilawan dengan puasa Ramadan yang menjadi manivestasi dari sifat malakkiyyah yang harus dioptimalkan dalam diri manusia.
"Kalau puasa Ramadannya sukses, berarti mampu membunuh hawa nafsu dan korupsi akan sirna digembleng melalui amaliah sholeh di bulan Ramadan," ujarnya.
Namun sayangnya, lanjut Nusron, puasa Ramadan masih penuh simbolik, masih sekedar ibadah formalistik, tanpa proses kontemplasi. Dia merujuk bahwa buka puasa, taraweh dan 'qiyamul lail' (salat malam) marak di kantor-kantor pemerintahan dan rumah-rumah pejabat, bahkan hampir tiap malam Ramadan. Namun di sisi lain kenyataannya, korupsi juga masih marak terjadi.
"Itu merupakan hal baik. Sayangnya korupsi dan penyalahgunaan juga masih marak dan lancar dilaksanakan. Seakan puasa dan ibadah Ramadhan adalah 'one things', sementara korupsi adalah 'another things'. Ini yang harus diubah oleh bangsa Indonesia pasca Ramadhan tahun ini," tegasnya.
Dalam kesempatan tersebut, Nusron mengajak agar di bulan Ramadan ini dijadikan momentum 'amnesty' (pengampunan) atas dosa dan prilaku sosial manusia Indonesia, agar kembali fitri, suci, merdeka, tanpa dosa seperti ketika bangsa ini baru lahir dan merdeka.
"Amnesty syawal ini tanpa tarif dan tebusan seperti 'tax amnesty'. Tapi cukup dengan 'declare' dan pengakuan, penyesalan untuk tidak mengulangi kesalahan ritual maupun sosial kita," tuturnya.