Divisi Siliwangi, legenda pasukan setia dari Jawa Barat
Pasukan ini kenyang bertempur di segala medan membela NKRI. Walau harus hijrah ke Jawa Tengah.
Tepat 20 Mei kemarin, Komando Daerah Militer (Kodam) 3/Siliwangi hari ini merayakan hari jadinya ke-68 tahun. Komando kewilayahan pertahanan untuk kawasan Jawa Barat ini sudah merasakan pahit getirnya peperangan di pelbagai medan, mulai dari perlawanan melawan Belanda hingga mengatasi pemberontakan bersenjata.
Kodam Siliwangi terbentuk tak lepas dari proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dikumandangkan Presiden Soekarno. Lima hari setelahnya, pemerintah membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai wadah perjuangan, kemudian diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober seiring meningkatnya ancaman dari luar negeri.
Menanggapi keputusan pemerintah, petinggi militer Jawa Barat membentuk Komandemen-I TKR yang membawahkan 3 divisi. Antara lain, Divisi-I meliputi Keresidenan Banten dan Bogor (bermarkas di Serang), Divisi-II meliputi Karesidenan Jakarta dan Cirebon (bermarkas di Linggarjati, dan Divisi-III meliputi Keresidenan Priangan (bermarkas di Bandung).
Beberapa bulan sebelum Agresi Militer Belanda Pertama berlangsung, dibentuklah Divisi Siliwangi yang mewadahi ketiga divisi tersebut. Nama ini terus bertahan meski nama kesatuan terus mengalami perubahan, dari Tentara dan Teritorium (TT) III Siliwangi, 24 Juli 1950, Kodam VI/Siliwangi, 24 Oktober 1959 dan menjadi Kodam III/Siliwangi, 2 Februari 1985.
Tindakan Belanda yang menggelar operasi militer, atau dikenal Agresi Militer I pada 21 Juli-5 Agustus 1947 membuat seluruh pasukan Siliwangi terpaksa mundur ke hutan-hutan dan pedalaman. Di sana, mereka melanjutkan pertempuran secara gerilya.
Meski sempat dipukul mundur di awal agresi, pasukan ini berhasil menumbuhkan ketakutan di setiap serdadu Belanda. Taktik hit and run atau gerilya berhasil membuat setiap konvoi, baik pasukan maupun perbekalan, diadang dan sejumlah senjata berhasil direbut. Aksi tersebut juga menewaskan beberapa pasukan Belanda.
Jika dalam agresi pertama, tentara Belanda yang tewas mencapai 169 orang. Ketika Siliwangi bertempur secara gerilya, jumlah korban dari Belanda bertambah menjadi 597 orang.
Sayangnya, aksi tersebut tidak berlangsung lama. Perjanjian Renville membuat divisi ini 'dipaksa' meninggalkan kandangnya untuk bergabung bersama pasukan inti di Jawa Tengah.
Namun, kedatangannya di Jawa Tengah tidak mendapatkan sambutan baik dari divisi lain. Banyak yang termakan oleh isu yang ditebar Belanda di antara pasukan hingga memecah belah antar kesatuan TNI.
Mulai dari mengurangi jatah makanan pasukan, Siliwangi pasukan penakut dan lain sebagainya. Tapi itu tidak berlangsung lama, pecahnya pemberontakan PKI Muso di Madiun membuktikan pasukan ini loyalitasnya tak perlu diragukan. Keberhasilan itu menumbuhkan semangat baru, hingga muncul slogan 'Pasukan Siliwangi, saeutik he mahi' (yang berarti Pasukan Siliwangi, sedikit juga cukup).
pecahnya Agresi Militer Kedua menjadi pintu gerbang pasukan ini kembali ke Jawa Barat, hingga muncul peristiwa yang sangat bersejarah, Long March Siliwangi. Seluruh personel berjalan kaki menuju daerah asalnya untuk menancapkan kembali Merah Putih di bumi pertiwi, bersama istri dan anak-anaknya.
Seperti apa kiprah Siliwangi ini, ikuti tulisan berseri merdeka.com soal Divisi Siliwangi.