DPR Apresiasi Kejagung Mampu Kembalikan Uang Negara Senilai Rp82 Triliun
ICW menyebutkan jumlah uang pengganti yang dituntut jaksa Kejagung lebih besar dibanding KPK.
Anggota DPR dari Fraksi Nasdem, Ahmad Sahroni mengapresiasi laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap perbedaan tuntutan uang pengganti kasus tindak pidana korupsi, antara Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam hal ini, ICW menyebutkan jumlah uang pengganti yang dituntut jaksa Kejagung lebih besar dibanding KPK. Kejagung total menuntut uang pengganti hingga Rp 82 triliun, sedangkan KPK hanya Rp 675 miliar.
- DPR Percaya Kejagung Bakal Usut Tuntas Kasus Suap Rp 920 M di MA
- Kejagung Tetapkan Enam Tersangka TPPU Kasus Korupsi Komoditas Timah
- KPK Perkirakan Korupsi Rumah Dinas DPR Rugikan Negara Puluhan Miliar Rupiah
- Rugikan Negara Rp69,1 Miliar di Kasus Korupsi IPDN, Eks Pejabat Kemendagri Dituntut 5 Tahun
“Pemaksimalan pengembalian kerugian negara telah menjadi concern Komisi III bersama para mitra kerja. Dan ke depannya, pendekatan ini akan semakin kita gencarkan. Karena terbukti bahwa menambal kerugian negara itu jauh lebih penting ketimbang sekedar penjara badan, yang cenderung tidak solutif, tidak efektif, dan sering memakan biaya besar,” ujar Sahroni dalam keterangan (15/10).
Maka dari itu, Sahroni mendorong para mitra kerja, khususnya Kejagung, KPK, dan Polri, untuk memaksimalkan aspek pengembalian kerugian negara secara lebih maksimal.
“Terlebih untuk Kejagung, KPK, dan Polri, harus mulai menggeser paradigma penegakkan hukumnya. Jadikan penjara badan sebagai opsi terakhir, kini yang menjadi prioritas utama adalah cara pengembalian kerugian negara yang ditimbulkannya. Bisa dengan memaksa pelaku membayar dengan jumlah besar melebihi nilai korupsinya, atau sebagainya. Intinya, jangan sampai kita biarkan uang negara terus-menerus menguap, dimaling, dan dibiarkan tidak kembali begitu saja. Kalau begitu terus, ujungnya yang rugi pasti masyarakat, karena anggaran itukan dasarnya ditujukan untuk kebermanfaatan masyarakat,” tambah Sahroni.
Terakhir, Sahroni tidak ingin anggaran negara yang sebagian besar berasal dari pajak, dikorupsi sehingga manfaatnya tidak bisa dirasakan oleh masyarakat itu sendiri.
“Misal saja ada proyek pengerjaan jalan untuk masyarakat. Kalau dikorupsi ya pasti pengerjaannya jadi jelek, cepet rusak. Yang begitu kan percuma kalau pelakunya cuma dipenjara, masyarakatnya tetep rugi dapet jalanan rusak. Makanya, kita maksimalkan pengembalian kerugian negaranya, biar bisa kembali untuk manfaat masyarakat,” tutup Sahroni.