Fenomena Baby Blues Pasca Melahirkan, Ini Gejala dan Cara Mencegahnya
Naftalia membagikan cara selanjutnya dalam mengatasi baby blues setelah melahirkan, melalui teknik relaksasi
Banyak orang tua yang masih minim pengetahuan tentang proses kehamilan sampai pasca melahirkan
Fenomena Baby Blues Pasca Melahirkan, Ini Gejala dan Cara Mencegahnya
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyoroti banyaknya fenomena baby blues pasca ibu melahirkan di masyarakat belakangan ini.
Berangkat dari pengetahuan calon orang tua yang masih minim mengenai proses kehamilan sampai pasca melahirkan, dinilai menjadi faktor penyebabnya.
Kepala BKKBN yang dalam hal ini diwakili oleh Deputi bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga (KSPK), Nopian Andusti membuka Kelas Orang Tua Hebat (KERABAT) Tahun 2024 Seri 1. Kelas diselenggarakan melalui zoom meeting.
Mengusung tema ‘Yuk Kenali dan Cegah Baby Blues’, kelas yang dihadiri ribuan peserta tersebut mengakomodir kebutuhan para orangtua maupun para pengelola kader Bina Keluarga Balita (BKB). Dalam meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan keterampilan mengenai baby blues dan pencegahannya.
Dokter Hasto menyampaikan, sebanyak 57 persen ibu di Indonesia mengalami gejala baby blues.
“Angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara ketiga tertinggi di Asia dengan risiko baby blues terbesar," ungkapnya.
Dokter Hasto memaparkan definisi baby blues sebagai keadaan depresi yang bersifat sementara dan biasa dialami oleh kebanyakan ibu yang melalui proses melahirkan karena adanya perubahan hormon.
"Adanya penurunan hormon tertentu dalam jumlah yang banyak secara tiba-tiba akan menurunkan stamina ibu pasca melahirkan,” kata Hasto.
Di samping itu, baby blues terjadi juga Karena adanya konflik batin atas kemampuan seorang perempuan yang baru menjadi ibu.
“Mengakibatkan rasa cemas berlebih atas penerimaan dan penolakan terhadap peran baru yang dapat mengakibatkan seorang ibu mengalami baby blues syndrome," papar dokter Hasto.
Diulas lebih dalam lagi mengenai fenomena baby blues yang kerapkali menimpa ibu yang baru melahirkan. BKKBN menghadirkan narasumber ahli yang merupakan seorang psikolog di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Naftalia Kusumawardhani, S.Psi, M.Si.Psikolog.
Naftalia mengungkapkan, seringkali terdapat beban yang dirasakan ibu selama masa kehamilan. Khususnya pada kehamilan yang tidak diharapkan.
Beban tersebut dapat berasal dari trauma dari pengalaman kesulitan di kehamilan sebelumnya. Selain itu, adanya konflik keluarga juga dapat membuat masa kehamilan tidak menyenangkan.
"Pengalaman selama hamil dapat mempengaruhi sikap ibu terhadap bayinya, bahkan berdampak jangka panjang pada sikap anak terhadap kehidupan dan keluarganya, keduanya saling terkait," ungkap Naftalia.
Naftalia menyebut, pilihan cara melahirkan juga mempunyai pengaruh terhadap baby blues.
Termasuk, penghakiman dari orang lain seperti anggapan ibu sejati adalah yang melahirkan secara normal. Sedangkan operasi sesar dianggap ibu takut kesakitan, takut bentuk fisik berubah, atau terkesan hanya ingin proses yang mudah saja.
“Dengan penghakiman demikian dapat membuat ibu semakin terbebani," papar Naftalia.
Setelah melahirkan, kondisi fisik ibu mengalami perubahan. Rasa lelah luar biasa dirasakan ibu apalagi bila tanpa bantuan dari keluarga di sekitarnya.
Kata Naftalia, bagi ibu yang sudah terbiasa mandiri pun, proses setelah melahirkan juga akan mengalami kelelahan fisik. Selain itu, kondisi psikis secara hormonal, psikologis, dan sosial juga berubah.
“Kondisi inilah yang memunculkan baby blues," kata Naftalia.
Baby blues atau disebut juga Postpartum Distress Syndrome adalah kondisi terganggunya mood (suasana hati) yang terjadi setelah melahirkan.
Dialami sekitar 50 sampai 80 persen wanita yang melahirkan, khususnya kelahiran anak pertama.
Tidak menutup kemungkinan dialami pada kelahiran anak kedua, ketiga, dan seterusnya.
Gejala baby blues yang kerap terjadi yaitu mudah sedih dan menangis, sensitif (gampang tersinggung), cemas, merasa takut, tidak percaya diri.
Merasa kehabisan tenaga, tidak tertarik merawat bayi, merasa gagal, tidak berharga, tidak nyaman, bingung tanpa sebab, dan tidak sabar.
"Apabila gejala tersebut berlangsung selama dua minggu, maka ibu harus berani ambil keputusan untuk cari bantuan ke psikolog. Pengalaman melahirkan itu unik, tidak universal maka sebaiknya ibu tetap berobat dan tidak terpengaruh anggapan orang yang memandang negatif. Justru ibu hebatlah yang tahu cara antisipasinya," ajak Naftalia.
Naftalia menghimbau untuk menunda pernikahan apabila usia calon pengantin masih terlalu muda. Hal tersebut dikarenakan secara psikologis belum siap untuk menjadi orangtua.
Ada banyak perubahan kehidupan setelah menjadi orangtua yang mengagetkan dan menyita perhatian orangtua baru. Tidak hanya tentang mengasuh anak, perihal hubungan antar anggota keluarga mertua dan ipar juga mengalami transisi.
"Ibu yang terlalu capek dan memiliki beban tambahan dapat menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan nutrisi bayi. Ibu stres, ASI tidak keluar, kelelahan sampai tidak sempat memperhatikan gizi dalam menu makanan bayi, akibatnya pengasuhan di 1000 Hari Pertama Kehidupan kurang optimal," ujar Naftalia.
Maka, Naftalia menekankan para calon orangtua harus memiliki pengetahuan tentang kehamilan sampai pasca melahirkan secara menyeluruh.
Menambah wawasan ini akan membentuk kesiapan dan mengoptimalkan persiapan calon orangtua serta meminta dukungan keluarga. Persiapan dalam segala aspek tidak hanya finansial, melainkan juga secara fisik dan psikologis.
Masa nifas merupakan periode kritis untuk ibu, waktu yang dibutuhkan ibu untuk pemulihan secara fisik dan psikologis.
Naftalia membagikan cara selanjutnya dalam mengatasi baby blues setelah melahirkan, melalui teknik relaksasi.
"Ibu bahagia bayi sehat, tidak ada ibu yang sempurna. Hanya ada ibu yang mau menjalani semua proses kehamilan dan kelahiran," tutup Naftalia.