Fitri, pejuang di tapal batas
Dengan kocek sendiri, dia pergi ke perbatasan Papua dan Kalimantan. Dia mengajar anak-anak di lokasi terpencil.
Fitriawati (21) satu dari kartini muda yang patut dibanggakan. Mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia ini rela merogoh koceknya dalam-dalam dan terjun langsung untuk membantu anak-anak di wilayah perbatasan Indonesia.
Liburan semester lalu, di bulanJanuari adalah kali kedua dia mendatangi perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Setelah sebelumnya berbagi ilmu di Wasior, Papua, Fitri bersama dua temannya mulai menjejaki kaki di perbatasan Kalimantan Barat dengan Malaysia. Tepatnya, di Desa Tinting Selimbi, Kecamatan Badao.
Di sana puluhan pekerja sawit dan komunitas Dayak serta kepala sekolah SD Sungai Tembaga 6 hangat menyambutnya. Berbekal puluhan buku yang disumbangkannya, Fitri dengan senang hati mengajar anak-anak di wilayah terpencil itu.
Fitri memang pejuang tangguh di tapal batas. Dia rela menyisihkan waktunya demi kerja sosial ini. Tantangan seberat apapun dia hadapi.
"Saya menghabiskan waktu ke sana sekitar seminggu, naik kapal ke Semarang sekitar di laut ke Pontianak, menginap ke Putosibao ke Badao. Pontianak ke Badao 19 jam naik bus" ujarnya semangat kepada merdeka.com, Rabu (18/4).
Rasa takut dan lapar kerap mereka singkirkan. Bersama rekan seperjalanannya, Ade dan Nike, Fitri harus terus ekstra waspada ketika naik angkutan. Dalam sebulan lamanya mereka juga hanya makan sekadarnya asal bisa mengganjal perut.
"Kita makan dari alam. Ada pakis atau singkong kita masak saja, kebetulan aku bisa masak" ucapnya sambil tertawa.
Fitri menjalani semua itu dengan kesenangan. Dia rela merogoh kocek sebesar Rp 2 juta, yang sudah dikumpulkan sejak lama ini petualangan baru ini.
Tentang keadaan di perbatasan, Fitri sedikit menyayangkan. Beras yang jadi hasil produksi melimpah di Indonesia, nyatanya sulit ditemukan dan mahal. Begitupun dengan sayur mayur
"Kita jadinya belanja ke Malaysia tapi beras Malaysia lebih jelek dari beras Indonesia. Beras Indonesia mahal, 170 ribu per karung"tambahnya
Bahkan Fitri juga mengaku perumahan warga tak kalah memprihatinkan. Wanita yang juga pernah ke Wasior ini, melihat rumah-rumah pekerja kelapa sawit tak lebih hanya tenda-tenda atau rumah ukuran 3x4 m saja.
"kondisi sosial desa lebih memprihatinkan semua kerja, rumah cuma tenda-tenda. Kondisi pekerja sawit rumahnya sangat kecil 1x2 meter di depan, di belakang 3X4," ucapnya prihatin.
Hal-hal seperti itu terus membangkitkan rasa peduli Fitri dan kawan-kawan untuk terus mengabdi bagi masyarakat di perbatasan Indonesia. Baginya dia mau terus menghidupkan hati nuraninya lewat perjuangan yang diyakininya.
"Kita sebagai mahasiwa harus bersumbangsih ke masyarakat, bahkan ketika sudah lulus harus jaga hati nurani kita" ujarnya antusias. Indonesia, tentu butuh banyak Kartini muda seperti Fitri.