Guru Besar Filologi UIN Jakarta Raih Habibie Prize: Indonesia Tak Boleh Lupakan Kearifan Lokal Manuskrip
Guru Besar Filologi UIN Jakarta Oman Fathurahman, M.Hum meraih Habibie Prize 2023 dalam bidang Ilmu Filsafat, Agama dan Kebudayaan.
Penghargaan ini adalah Habibie Prize pertama yang diberikan kepada civitas akademika Perguruan Tinggi Keagamaan.
Guru Besar Filologi UIN Jakarta Raih Habibie Prize: Indonesia Tak Boleh Lupakan Kearifan Lokal Manuskrip
Guru Besar Bidang Filologi pada Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Dr Oman Fathurahman, M.Hum meraih Habibie Prize 2023 dalam bidang Ilmu Filsafat, Agama dan Kebudayaan.
- Kukuhkan 42 Guru Besar Baru, UIN Jakarta Jadi PTKIN dengan Jumlah Profesor Terbanyak
- Jadi Guru Besar UIN Jakarta, Burhanuddin Muhtadi Ungkap Data Masifnya Politik Uang di Indonesia
- Ganjar Hadiri Kuliah di FISIP UI: Tadi yang Teriak Bapak, Seperti Anak Saya
- Potret Sri Mulyani Ajak 4 Cucu Keliling Gedung Kemenkeu, Ceritakan Sejarah Jakarta
Habibie Prize 2023 diserahkan di Auditorium Sumitro Djojohadikusumo, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Jakarta.
Hadir, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko, Dewan Pembina Yayasan Sumberdaya Manusia dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (SDM IPTEK) Ilham Habibie, Ketua Yayasan SDM IPTEK Wardiman Djojonegoro, Direktur Utama LPDP Andin Hadiyanto, mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, Tokoh Agama Muji Sutrisno, Ekonom Hendri Saparini dan sejumlah tokoh nasional.
"Saya meyakini, Habibie Prize yang saya terima bukan semata penghargaan untuk seorang Oman, melainkan lebih dari itu sebagai pengakuan terhadap keilmuan filologi yang memiliki tujuan mulia menggali memori kolektif bangsa dalam manuskrip,"
ujar Kang Oman panggilan akrabnya dalam pidato usai menerima penghargaan, Jumat (10/11).
Menurut Kang Oman, penghargaan ini untuk para filolog, para peneliti yang istiqamah dan pemilik manuskrip yang sering bekerja menyelamatkan manuskrip dalam sunyi, jauh dari keramaian. Penghargaan terhadap bidang filologi adalah investasi besar untuk penguatan kajian manuskrip Nusantara di Indonesia.
Selain itu, penghargaan ini memiliki pesan moral yang kuat bahwa manuskrip sebagai salah satu objek pemajuan kebudayaan perlu diarusutamakan dalam pembangunan Indonesia di masa depan.
"Pembangunan Indonesia Emas 2045 tidak boleh melupakan kearifan lokal dalam manuskrip. Catatan-catatan tentang apa yang kita lakukan hari ini akan menjadi pengetahuan berharga bagi generasi Indonesia 100, 200 bahkan 1.000 tahun mendatang, sebagaimana hari ini kita memahami manuskrip kuno. Karena itu, penting bagi setiap kita untuk menorehkan catatan rekam jejak yang baik," ujar Kang Oman.
Kang Oman menjelaskan, kebudayaan adalah hasil cipta, karsa, dan karya manusia.Pembangunan yang tidak dilandaskan pada ingatan bersama tentang kemanusiaan akan kering dan tidak memanusiakan manusia. Pembangunan semacam itu akan kehilangan nilai, kehilangan jati diri, tidak jelas kemanfaatannya untuk siapa.
"Apalagi, kebudayaan Indonesia sangat kental dengan nilai-nilai spiritualitas keagamaan yang telah melekat menjadi bagian tak terpisahkan dari jati diri bangsa Indonesia. Itu semua terekam dalam manuskrip-manuskrip Nusantara," sebutnya.
Kang Oman menilai, penghargaan Habibie Prize 2023 menjadi secercah harapan bahwa filologi, manuskrip, dan kebudayaan semakin diperhatikan publik dan dijadikan bahan pertimbangan oleh pembuat kebijakan. Ia yakin, kebijakan tanpa kebudayaan akan kehilangan kebijaksanaan.
"Syukur-syukur kalau Penghargaan ini secara lebih konkrit juga dapat menginspirasi dunia politik kita, bahwa banyak kearifan lokal yang belum dijadikan sumber inspirasi dalam berkontestasi. Bagi saya ini penting, karena saya meyakini, politik tanpa budaya hanya akan menjadi alat berebut kuasa," papar Kang Oman.
Dalam tradisi Arab, filologi disebut “tahqiq” artinya membetulkan atau mengkritik. Tugas seorang filolog memang membaca dan mengkritisi teks dalam manuskrip-manuskrip kuno tulisan tangan untuk mencari keaslian bacaan sebagaimana ditulis oleh pengarang, kemudian menghadirkan bacaan itu untuk pembaca lain.
Oman melihat, sejak masa kolonial hingga awal 1990-an, kerja-kerja filologi lebih banyak fokus memproduksi transliterasi dan terjemahan. Paling jauh, terjemahan disertai analisis struktur atau pendekatan bahasa dan sastra, tidak secara mendalam mengkaji konteks pengetahuan dalam teks yang dihadirkan.
Sebagai lulusan pesantren, Oman merasa tidak puas ketika menyunting sebuah teks keagamaan tentang tasawuf, tentang ketuhanan yang berisi filsafat ilmu pengetahuan Islam yang cukup kontroversial, tapi tidak mengupas sendiri teks dan konteks tersebut.
Karenanya, Oman lalu berupaya memposisikan diri tidak hanya sebagai “koki filologi” yang bertugas memasak sebuah teks “mentah” dalam manuskrip, melainkan sekaligus sebagai penikmat “masakan” teks itu berdasarkan konteks keilmuan keislaman yang dimilikinya.
"Inilah yang saya maksud dengan filologi plus, mengawinkan filologi dengan beragam pendekatan ilmu dan menguatkan kontekstualisasi. Filologi Plus meniscayakan kerja filologi yang dilakukan secara interdisiplin atau multidisiplin dengan kajian ilmu lain. Dalam konsentrasi saya, filologi plus adalah filologi yang dipadukan dengan kajian Islam atau sejarah sosial intelektual Islam di Indonesia," ucapnya.
"Perangkat pendekatan ilmu dan teori yang dipakai untuk melakukan kontekstualisasi, tentu tidak hanya sejarah dan islamic studies seperti yang saya terapkan, melainkan juga antropologi, sosiologi, arkeologi, kesehatan dan kedokteran, media dan komunikasi, gender, dan beragam bidang ilmu lainnya,”
lanjutnya.
Oman Fathurahman lahir di Kuningan, Jawa Barat, pada 8 Agustus 1969. Lulus dari MAN Cipasung Tasikmalaya pada 1987, Oman terpaksa “mondok” di Pesantren terpencil saat itu di Haurkuning, Salopa karena kendala ekonomi. Setahun kemudian, ia nekat ke Jakarta untuk mengadu nasib demi mengejar cita-cita. Berbagai pekerjaan ia lakoni agar bisa mengumpulkan biaya kuliah. Mula-mula menjajakan rokok dan permen dengan berjalan kaki dari Kebayoran Lama, Jakarta Selatan hingga Tanah Abang, Jakarta Pusat, ia lalu menjadi buruh kasar di perusahaan percetakan.
Baru pada 1990, Oman berkesempatan kuliah setelah diterima di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab pada Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia membiayai sendiri kuliahnya dengan berdagang jam tangan, batik, kacamata, dan mengajar mengaji. Meski begitu, ia aktif berorganisasi bahkan sempat menjabat Ketua Senat Mahasiswa dan Ketua Komisariat HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) di Fakultasnya.
Lulus dengan predikat cumlaude pada 1994, Oman mulai berkenalan dengan manuskrip. Berkolaborasi dengan Chambert-Loir, ia menghasilkan karya pertamanya, berjudul “Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah Indonesia se-Dunia” (Jakarta: EFEO-YOI, 1999). Ini adalah buku babon semacam “mbahnya katalog manuskrip” yang menjadi kajian utama para pengkaji manuskrip Nusantara di seluruh dunia.
Pada 1998, atas beasiswa dari Yayasan Naskah Nusantara (Yanassa), Oman menyelesaikan studi Magister di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI). Tesisnya diterbitkan dengan judul “Menyoal Wahdatul Wujud” (Bandung: EFEO-Mizan, 1999). Sejak itu, ia menggariskan perjalanan hidupnya dengan manuskrip Nusantara. Ia mengembara ke kantong-kantong manuskrip seperti di Minangkabau, Aceh, dan Jawa Barat. Bermodal beasiswa dari the Ford Foundation, pada 2003 Oman berhasil meraih gelar doktornya di kampus yang sama. Disertasinya terbit dengan judul “Tarekat Syatariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks” (Jakarta: EFEO-Prenada, 2008).
Oman hafal Alfiyah—kitab karya Ibnu Malik berisi seribu bait gramatikal Arab tingkat tinggi—dan menguasai naskah kuno dalam empat bahasa: Arab, Melayu, Jawa, dan Sunda. Kemampuan itu mengantarkannya sebagai penerima fellowship dari the Alexander von Humboldt-Stiftung, Jerman, untuk melakukan riset di Cologne University. Selama dua tahun (2006-2008) Oman bersama keluarga tinggal di Bonn, Jerman.
Pada 2021, ia mendapat undangan meneliti untuk kedua kalinya di Jepang, yaitu di Universitas Kyoto dan Universitas Osaka. Selain itu, ia menjadi narasumber di Prancis, Belanda, Mesir, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Amerika Serikat, dan sejumlah negara lain. Sejak 2017 hingga kini, Oman memimpin DREAMSEA (Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in Southeast Asia), upaya penyelamatan manuskrip Asia Tenggara melalui digitalisasi.
Program yang bertujuan merawat keragaman agama dan budaya Asia Tenggara melalui digitalisasi manuskrip, ini adalah kerja sama Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta dan the Centre for the Study of Manuscript Culture (CSMS) Hamburg University, Jerman, atas dukungan dari the Arcadia Foundation.
Dari sini, sekitar hampir setengah juta halaman manuskrip Asia Tenggara dalam berbagai bahasa dan aksara dapat diakses secara daring. Di PPIM pula, Oman turut mengelola jurnal bereputasi internasional Q1 Studia Islamika.
Oman memanfatkan media sosial dan kanal digital untuk memperkenalkan manuskrip ke publik melalui program Ngariksa (Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara). Setiap Jumat pukul 20.00 dua pekan sekali, ia tampil rutin secara live streaming melalui Facebook sebagai Kang Oman untuk membacakan naskah kuno yang relevan dengan tema-tema kekinian.
Selama empat tahun terakhir, Ngariksa telah menghasilkan lebih dari 100 episode yang rekamannya dapat disimak di kanal Youtube Ngariksa TV.
Kepiawaian Oman mengkontekstualisasikan konten agama dalam bingkai budaya melalui manuskrip juga mengantarnya sebagai Pejabat Eselon I di Kementerian Agama selama 2017-2021. Di Kementerian terbesar itu, ia tak hanya berkhidmat kepada tiga menteri agama (Lukman Hakim Saifuddin, Fachrul Razi, dan Yaqut Cholil Qoumas), tapi juga mengemban empat jabatan sekaligus: Staf Ahli Menteri, Plt. Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Juru Bicara Kementerian Agama, dan Ketua Pokja Moderasi Beragama. Ia kemudian kembali ke Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta, tempat ia pernah menjadi Dekan pada tahun 2014-2015. Selain itu, ia mengasuh Pesantren Al-Hamidiyah Depok, Jawa Barat. Pesantren ini didirikan pada 1988 oleh K.H. Achmad Sjaichu.
Pada 8 Agustus 2023, Oman mendapat Penghargaan Pustaka Paripalana dari Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) atas jasanya dalam usaha pelestarian, penelitian, dan pemajuan naskah Nusantara di Indonesia.
Oman bermukim di Ciputat, Tangerang Selatan, bersama sang istri, Husnayah Al Hudayah, dan ketiga putranya: Fadli Husnurrahman, Alif Alfaini Rahman, dan Jiddane Asykura Rahman. Di media sosial, ia dapat disapa melalui akun Twitter: @ofathurahman, FB: @Oman Fathurahman, dan Instagram: @ofathurahman.