Hadiri Sedekah Bumi etnis Tionghoa, Risma cerita bisa 'nyinden'
"Mulai sekarang tidak ada lagi perbedaan. Akulturasi budaya ini patut jadi contoh," kata Risma.
Pasangan calon (Paslon) incumbent Tri Rismaharini-Whisnu Sakti Buana hadiri pesta rakyat Sedekah Bumi di Jalan Kapasan Dalam, Surabaya, Jawa Timur, Kamis malam (8/10). Acara yang digelar tiap tahun oleh Komunitas Tionghoa Surabaya ini, untuk memperingati tahun kelahiran Nabi Konghucu yang ke 119.
Pada gelar Sedekah Bumi itu, menyuguhkan pagelaran wayang kulit selama dua malam berturut-turut. Di malam pertama, lakon wayang yang disuguhkan berjudul Bangun Taman Maerokoco. Sedang di malam hari kedua adalah Wahyu Kesantosan.
Menurut Ketua Panitia Ary Hermawan, setiap tahun, acara yang digelar di belakang Kelenteng Boen Bio ini selalu menggelar wayang kulit, sebagai perpaduan Budaya antara Konghucu dan Jawa (akulturasi). "Malam ini kita undang dalang dari Tionghoa, yaitu Boen Liong atau Ki Dalang Noto Sabdo Sutedjo," kata Ary di lokasi acara.
Ary juga menyebut, acara Sedekah Bumi yang diadakan sekitar 30 warga Tionghoa di Jalan Kapasan Dalam ini, selalu diadakan di depan Punden Pohon Tua, yang saat ini sudah tumbang dan dibuatkan rumah. "Acaranya selalu digelar di depan Punden. Pernah digelar di lapangan samping, itu sudah lama sekali, menurut orang tua-tua dulu, kalau digelar di lokasi lain semua tendanya roboh. Akhirnya, tiap tahun selalu digelar di depan punden," ceritanya.
Sementara Tri Rismaharini yang hadir lebih dulu di acara, dalam sambutannya mengatakan, tradisi Sedekah Bumi yang sudah langka di Kota Pahlawan ini patut diapresiasi. Terlebih lagi, perpaduan budaya antara Tionghoa dan Jawa ini patut menjadi contoh bagi daerah lain.
"Saya senang sekali diundang. Dulu pernah diundang, tapi saya berhalangan hadir. Sekarang diundang lagi, karena waktunya lebih banyak saya datang. (Acara) ini unik. Kenapa unik? Yang ngundang klenteng tapi bikin acara Wayang Kulit. Dulu bayangan saya Wayang Potehi, ternyata Wayang Kulit. Ini baik untuk contoh daerah lain. Mulai sekarang tidak ada lagi perbedaan. Akulturasi budaya ini patut jadi contoh," kata Risma berulang-ulang mengungkap kekagumannya.
Risma juga mengimbau warga Tionghoa di Surabaya untuk terus mengembangkan tradisi lokal tanpa memandang suku, ras dan agama. "Dulu saya pernah menggelar Wayang Potehi di balai kota, tapi di sini (Klenteng Boen Bio) malah menggelar Wayang Kulit. Akulturasi budaya patut diteruskan. Ke depan, yang harus dipikirkan bagaimana mengembangkan budaya itu," tegasnya.
Pada kesempatan, Risma juga berkesempatan menyerahkan tokoh wayang Sri Kandi kepada panitia acara. Bahkan, Risma juga sempat diminta nyinden. "Kalau nyinden saya bisa. Tapi bahasa (Jawa) saya kalah halus sama Ki Dalang," kelakar Risma sambil tertawa geli sembari menjawab kalimat Ki Dalang yang menggunakan Bahasa Kromo Inggil.
Sementara Whisnu Sakti Buana yang datang terlambat karena harus menghadiri acara Yasinan lebih dulu, menyaksikan pagelaran Wayang Kulit semalam suntuk di acara Sedekah Bumi yang diadakan Komunitas Tionghoa tersebut. Sayang, Risma tidak bisa menemaninya nonton wayang hingga pagi.