Hari-Hari Mencekam WNI Terjebak di Tengah Konflik Suriah: Tak Pernah Sepi Rentetan Tembakan hingga Dentuman Bom
Cawi, Eli Susanti dan Rohayati, tiga warga negara Indonesia asal Indramayu, Jawa Barat semula dijanjikan pekerjaan di berbagai negara, bukan ke Suriah.
Cawi, Eli Susanti dan Rohayati, tiga warga negara Indonesia asal Indramayu, Jawa Barat semringah ketika kembali menginjakkan kaki di Tanah Air. Selama beberapa waktu terakhir, ketiganya menetap di Suriah. Di tengah peperangan yang begitu mencekam.
Ketiganya tiba di Bandara Internasional Soekarno-Hatta bersama 34 WNI yang dievakuasi KBRI di Damaskus Suriah.
“Masih sangat trauma kalau menceritakan kejadian di sana, sangat-sangat menakutkan, mencekam sekali,” ujar Cawi, Kamis (12/12).
Wanita yang diduga merupakan korban perdagangan orang ini, mengaku baru 5 bulan bekerja di Suriah. Dia semula ditawari pekerjaan di Turki.
“5 bulan kerja, cuma saya tadinya dijanjikan ke Turki tapi tiba-tiba dibawa ke Suriah, kalau tahu ke sana, enggak mau, kan daerah konflik. Kata orang-orang PT nya ilegal,” ujar Cawi yang tinggal di daerah Majeh, Suriah.
Kisah serupa juga dialami Rohayati. Dia baru lima bulan bekerja sebagai asisten rumah tangga di wilayah Malki, Suriah. Sebelumnya dia dijanjikan bekerja ke Qatar.
“Engga kontrak di Suriah, tadinya mencari kerja di Qatar tapi didatangkan ke Dubai. Dari Agency Dubai kasih saya kerjaan di Suriah sebagai ART baru 5 bulan,” ujarnya.
Di wilayah Malki, Rohayati bersama 5 WNI lain bekerja di sebuah keluarga asal Suriah. Nahasnya, saat pemberontakan dan situasi memanas akibat konflik yang terjadi antar kelompok di Suriah, majikan yang memberinya pekerjaan kabur dan meninggalkan Rohayati bersama 5 WNI lain di apartemen kawasan Malki.
“Kami tinggal di lantai 7 apartemen building, setiap hari rumah majikan diteror. Digedor-gedor sama mereka yang mengatakan oposisi, pemberontak. Kami ditinggali juga sama majikan kami. Setiap saat suara ledakan, bom dan peluru. Sangat-sangat menakutkan. Mereka ancam kalau kita engga keluar mau ditembakin satu-satu,” ujarnya.
Beruntung, satu dari lima rekan kerjanya yang juga WNI memiliki kontak salah seorang pekerja di KBRI dan meminta tolong untuk dijemput.
“Kami dijemput siang hari, oleh Pak Kholis. Dia bawa mobil dan menunggu kami dibawah, padahal dari apartemen kami tinggal ke kantor KBRI sangat dekat, namun seluruh bagian Damaskus sudah hancur, kantor KBRI di Damaskus juga hancur, mobil-mobil di depan KBRI juga dirusak,” katanya.
Pengalaman serupa juga dialami Eli Susanti, setelah 1,5 tahun tinggal bekerja sebagai ART di wilayah Intisam bersama seorang keluarga di Suriah.
“Setiap hari bom, tembakan, engga nyaman, kondisi disana sangat buruk. Engga nyaman sama sekali,” kata dia.
“Beruntung banget masih bisa pulang ke tanah air. Perangnya dahsyat, kita tidur pun gemetar,” ungkap dia.
Judha Nugraha, Direktur Perlindungan WNI dan BHI, Direktorat Jendral Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri, mengatakan kepulangan 37 WNI dalam gelombang pertama pemulangan ini dilakukan melalui jalur darat dari wilayah Damaskus menuju ke Beirut.
“Setelah itu diterbangkan dengan pesawat komersial menuju ke Jakarta," terangnya.
1.162 Pekerja Migran Indonesia Masih Ada di Suriah
Disebutkan Judha, berdasarkan data Kementerian Luar Negeri terdata 37 orang WNI tersebut adalah pekerja migran di sektor domestik atau bekerja sebagai asisten rumah tangga secara non prosedural (ilegal). Mereka yang berhasil dipulangkan, adalah wanita pekerja yang berasal dari berbagai daerah seperti Lampung, Banten, Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
"Ini adalah proses gelombang pertama yang diupayakan oleh pemerintah Indonesia kepada WNI yang ada di Suriah," terang Judha.
Ditegaskan Judha, berdasarkan data kantor Imigrasi setempat sampai saat ini sekitar 1.162 pekerja migran asal Indonesia masih berada di Suriah. Meski begitu Judha meyakini ada beberapa pekerja migran non prosedural lainnya yang berada di sana.
Sebab menurutnya Suriah itu negara yang tertutup untuk penempatan pekerja migran domestik.
“Itu yang membuat kita kesulitan miliki data akurat. Karena tida tercatat di kemenakr dan BP2MI. Jadi kita masih lagi berupaya untuk bisa mendapatkan data lebih akurat. Caranya tentu kami melakukan wawancara kepada WNI kalau ada rekanya masih ada di Suriah dan belum laporkan diri kepada KBRI disana. Bagi keluarga yg ada di Indonesia juga jika ada anggota keluarganya memiliki keluarga di Suriah mohon untuk segera melaporkan ke Kementerian Luar Negeri,” ungkapnya.
Selain para pekerja migran ilegal asal Indonesia, Kemenlu juga mencatat adanya sejumlah mahasiswa yang belajar di wilayah Suriah. Para mahasiswa ini sebelumnya meminta KBRI untuk mengevakuasi namun, akhirnya mereka membatalkan diri.
“Jadi memang angkanya naik turun. Pertama ingin dievakuasi tetapi kemudian membatalkan diri untuk tinggal disana. Sekali lagi tentu tanggung jawab dari pemerintah untuk evakuasi warga kita dari wilayah konflik ke wilayah aman. Namun pilihan untuk dievakuasi kembali ke masing-masing individu, kita tidak bisa memaksanya,” kata Judha.
Para mahasiswa ini beralasan jika mereka saat ini merasa aman berada di sana. Meski konflik yang ditimbulkan oleh kelompok oposisi militer yang terjadi sudah mereda, Judha memastikan jika Israel, masih melakukan penyerangan ke negara tersebut.
“Rata-rata mereka merasa aman, kebanyakan juga dari pihak kampus m nyampaikan tidak apa-apa kalau mau tinggal di sana. Pertama tentu situasi keamanan kita memahami situasi pertempuran antara kelompok oposisi dan militer Suriah sudah selesai. Namun ada beberapa potensi ancaman karena pihak Israel tetap melakukan serangan udara ke beberapa titik di Suriah termasuk Damaskus dan termasuk ada penzarahan di sana,” ungkapnya.