Harlah ke-101 NU, Begini Pesan MUI ke Warga Nahdliyin di Tahun Politik
warisan pertama para kiai NU adalah paham keagamaan Ahlussunnah Waljama'ah (Aswaja)
warisan pertama para kiai NU adalah paham keagamaan Ahlussunnah Waljama'ah (Aswaja)
Harlah ke-101 NU, Begini Pesan MUI ke Warga Nahdliyin di Tahun Politik
Tokoh NU yang juga Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Marsudi Syuhud mengatakan, momentum Harlah Nahdlatul Ulama (NU) ke 101 jatuh pada 16 Rajab 1445 atau bertepatan dengan 28 Januari 2024.
Menurut dia, hal itu adalah momentum emas yang harus menjadi pendorong bagi seluruh pengurus dan warganya untuk jangan sampai terputus meninggalkan warisan besar para ulama.
“Ini adalah hal berkesinambungan sampai saat ini, yang terus diharapkan tidak hanya oleh Bangsa Indonesia namun sampai bangsa di dunia,” pesan Kiai Marsudi seperti dikutip dari siaran pers diterima, Minggu (28/1).
Kiai Marsudi mengingatkan, warisan pertama para kiai NU adalah paham keagamaan Ahlussunnah Waljama'ah (Aswaja) yang berarti paham keagamaan pemersatu bangsa. Dia menjelaskan, pemahaman itu adalah Tawasuth (moderat), Tasamuh (tolelan), Tawazun (seimbang), toleran tidak terlalu tathoruf ke kanan dan ke kiri.
“Ini adalah paham yang bisa diterima oleh seluruh kalangan hidup bersama satu sama lain, baik satu agama atau hidup berdampingan dengan masyarakat yang beraneka ragam agamanya, suku, bangsa dan begaranya,” jelas Kiai Marsudi.
Kiai Marsudi melanjutkan, hal berikutnya yang menjadi warisan para kiai NU berikutnya adalah membumikan faham Aswaja yang kemudian menjadi budaya kebangsaan.
Hal itu dimulai dari tiap periode kepemimpinan NU dan sudah menjadi rujukan, tidak sekedar di Indonesia namun juga kalangan international dalam hal moderasi beragama.
Kiai Marsudi berharap, Keorganisasian NU yang terus berkembang tahun demi tahun, periode demi periode, tidak sekedar mempunyai Pengurus dari tingkatan PBNU sebagai Pusat Pimpinan hingga ranting tapi juga telah dilakukan hingga ke jenjang Internasional.
“Artinya kedepan Pengurus sekarang terus mengembangkan bagaimana NU diterima di Negara Negara yang Warga Negara aslinya yang jadi anggota dan pimpinan NU di Negara setempat. Dari sini silaturahim atau network terbentuk dan Islam Rahmatan Lil'alamin bisa dirasakan oleh Penduduk Dunia,” harap dia.
Terhadap warisan dunia pendidikan, Kiai Marsudi mencatat rekam jejak para sesepuh dan para Kiai NU peletak dasar utama lembaga pendidikan di Nusantara adalah hadirnya Pesantren Salafiyah yang mengajarkan ilmu-ilmu kehidupan melalui kitab kitab Turost (kitab kuning) yang sampai saat ini masih digunakan dari kitab, tauhid, fiqih, akhlak, dari ubudiyah sampai ekonomi, hukum-hukum sampai astronomi dan lainnya.
“Semua berkembang sampai sekarang menjadi lebih dari 27 ribu Pesantren dengan jumlah santri yang mencapai jutaan,” ungkap kiai yang pernah menjabat Ketua dan juga pernah menjabat Sekjen PBNU ini.
Terkait politik, Kiai Marsudi meyakini apa yang warisan oleh para kiai NU adalah politik Kebangsaan yang menjaga, merawat, dan terus memperkuat Negara Kesepakatan (konsesus) yang dihasilkan dari musyawarah-mufakat atau NU menyebutnya dengan Almu'ahadah Alwathoniyah.
“Politik kebangsaan NU adalah untuk memastikan empat hal dasar dalam Negara Demokrasi, pertama, berjalannya seluruh proses pengambilan kebijakan politik dengan musyawarah. Kedua, tanggung jawab kemaslahatan individu. Ketiga, dan kemaslahatan publik. Keempat bantu membantu,” katanya.