Heru Hidayat Dituntut Mati, Kejagung Contohkan Vonis Kurir Suap Akil Mochtar
Kapuspenkum Kejagung, Leonard Eben Ezer mengatakan, perlu dipahami bahwa putusan Hakim yang bersifat ultra petita dibenarkan berdasarkan hukum acara pidana Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 182 ayat (4) KUHAP.
Kejaksaan Agung (Kejagung) menanggapi duplik atas terdakwa korupsi Asabri, Heru Hidayat. Heru dituntut hukuman mati karena terlibat kasus korupsi Asabri dan Jiwasraya sekaligus.
Kapuspenkum Kejagung, Leonard Eben Ezer mengatakan, perlu dipahami bahwa putusan Hakim yang bersifat ultra petita dibenarkan berdasarkan hukum acara pidana Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 182 ayat (4) KUHAP.
-
Kapan Atang Sendjaja meninggal? Pada 29 Juli di tahun itu menjadi hari duka bagi AURI.
-
Kapan Hendarman Supandji menjabat sebagai Jaksa Agung? Hendarman Supandji menjabat sebagai Jaksa Agung pada periode 2007-2010.
-
Siapakah Asha Ramadia Ananda Tanjung? Asha Ramadia Ananda Tanjung adalah seorang anggota TNI Angkatan Udara dengan pangkat Sersan Dua (Serda).
-
Kapan R.A.A Kusumadiningrat memimpin? Sebelumnya, R.A.A Kusumadiningrat sempat memerintah pada 1839-1886, dan memiliki jasa besar karena mampu membangun peradaban Galuh yang cukup luas.
-
Siapa Ki Arsantaka? Ki Arsantaka merupakan putra dari Bupati Onje II, pemimpin Kadipaten Onje (cikal bakal Kabupaten Purbalingga).
-
Kapan Purnawarman meninggal? Purnawarman meninggal tahun 434 M.
Menurut dia, pasal tersebut mengatur musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.
"Artinya berdasarkan ketentuan tersebut, majelis hakim dalam memutus suatu perkara tidak semata-mata hanya berdasarkan pada surat dakwaan. Namun juga berdasarkan atas segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang," kata Leonard dalam keterangannya, Selasa (22/12).
Leonard melanjutkan, ratio logis yang dianut KUHAP adalah Hakim dalam memeriksa perkara bersifat aktif dan bebas mempertimbangkan segala sesuatunya yang terkait dengan perkara yang sedang diperiksa tersebut.
Korupsi Heru
Oleh karena itu, sepanjang hal tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan masyarakat luas atau publik maka putusan Hakim harus berani mengakomodir nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
“Termasuk di dalamnya berani menerapkan asas hukum yang dianggap memberikan rasa keadilan dan kemanfaatan kepada masyarakat dan negara,” tegas Leonard.
Dia mengatakan, di dalam perkara aquo, terdakwa didakwa dengan Pasal 2 ayat 1 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan pada saat di persidangan ditemukan hal-hal yang memberatkan akibat perbuatan pidana yang dilakukan oleh Terdakwa yaitu di dalam perkara PT. Asabri, Heru Hidayat telah melakukan suatu perbuatan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.
Dalam perkara itu, menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp22,7 triliun. "Dimana atribusi dari kerugian keuangan negara tersebut dinikmati oleh terdakwa Heru Hidayat sebesar Rp12,6 triliun," tegas Leonard.
Contoh Vonis di Luar Dakwaan
Dalam praktik peradilan, lanjut dia, Hakim memutus perkara di luar dari pasal yang didakwakan kepada Terdakwa adalah bukan sesuatu hal yang baru. Dia pun mencontohkan sejumlah kasus serupa yang telah terjadi.
Misalnya, putusan perkara atas nama Susi Tur Andayani hanyalah salah satu contoh sebagai penegasan bahwa Putusan Hakim diberikan kebebasan untuk memutus perkara di luar dari pasal yang didakwakan oleh Penuntut Umum kepada Terdakwa.
Susi merupakan kurir suap Akil Mochtar dalam jual beli perkara kasus sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi. Dalam putusannya, majelis hakim memvonis Susi melanggar pasal di luar dakwaan jaksa penuntut umum.
Bukan cuma itu, kata Leonard, masih ada beberapa putsan lain yang menggambarkan kebebasan hakim dalam memutus. Antara lain dalam putusan Hakim pada Pengadilan Negeri Boyolali dengan Terdakwa I Agus Santoso dan Terdakwa Yusroni dalam kasus pengeroyokan. Serta Putusan Mahkamah Agung dengan Terdakwa Idris Lukman bin Lokman Hendrik dalam kasus narkoba.
Leonard menambahkan, selain itu di dalam persidangan terungkap fakta bahwa terdakwa tidak memiliki sedikit pun empati dengan beritikad baik mengembalikan hasil kejahatan yang diperoleh dan telah dinikmatinyanya secara sukarela serta tidak pernah menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah salah.
"Bahkan telah dilakukan berulang-ulang karena beranggapan bahwa transaksi di pasar modal yang dilakukannya adalah perbuatan perdata yang lazim dan lumrah. Padahal banyak pihak dirugikan terutama negara dirugikan dengan timbulnya kerugian keuangan negara yang dinikmati oleh Terdakwa Heru Hidayat dari dua perbuatan pidana tindak pidana korupsi yang dilakukan secara berulang-ulang Jiwasraya dan Asabri," tegas Leonard lagi.
Isi Duplik
Diketahui, Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat, dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum. Heru diyakini melakukan korupsi bersama mantan Dirut Asabri Adam Damiri dan Sonny Widjaja dkk. Kerugian negara ditaksir hingga Rp 22,7 triliun.
"Menuntut agar majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini dapat memutuskan menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan pemberatan secara bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang," ujar jaksa saat membacakan tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar, Senin (6/12).
Isi Duplik
Tim Penasihat Hukum Heru Hidayat, Kresna Hutauruk menilai Jaksa sudah kehabisan akal dengan menuntut hukuman mati terhadap kliennya. Pernyataan itu disampaikan Kresna dalam sidang dengan agenda duplik, atau jawaban atas replik tim jaksa Kejagung dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) yang digelar di Pengadilan Tipikor, Senin (20/12).
Menurut, Kresna, replik yang dibacakan tim jaksa Kejagung pada Kamis, 16 Desember 2021 kemarin menggunakan dalil putusan pengadilan yang sudah dibatalkan dalam putusan kasasi.
"Kami sangat menyayangkan tindakan JPU yang menggunakan dalil putusan Pengadilan Negeri yang sudah dibatalkan oleh putusan kasasi hanya untuk memaksakan tuntutan di luar dakwaan yang jelas menyimpang. Ini menunjukkan JPU sudah kehabisan akal," ujar Kresna.
Menurut Kresna, tak ada hal baru dalam replik Kejagung selain mengulang surat dakwaan terhadap Heru Hidayat. Menurut Kresna, satu-satunya hal baru dalam replik tersebut yakni, JPU mengutip putusan pengadilan terhadap perkara Susi Tur Andayani di mana hakim memutus di luar dakwaan.
Kresna menilai, Kejagung seolah mengabaikan putusan pengadilan terhadap Susi yang sudah dibatalkan dalam putusan kasasi karena hakim memutuskan di luar dakwaan. Putusan Susi yang dimaksud yakni perkara suap terhadap Hakim MA Akil Mochtar.
"Kami sudah membantah dalil JPU tersebut sebab putusan pengadilan perkara tersebut sudah dibatalkan oleh putusan kasasi yang berkekuatan hukum tetap dengan alasan pemeriksaan di sidang Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dan musyawarah Majelis Hakim didasarkan atas surat dakwaan jaksa," kata Kresna.
Padahal, Kresna memandang jaksa tidak boleh menyesatkan masyarakat dengan memaksakan sesuatu yang berada di luar koridor hukum. Tuntutan pidana mati terhadap Heru Hidayat menurutnya sudah melanggar aturan karena menuntut di luar dakwaan.
"JPU tidak boleh menyesatkan masyarakat dan menghalalkan segala cara dengan kekuasaannya untuk menuntut terdakwa di luar surat dakwaan," kata Kresna.
Diketahui, dalam surat dakwaan terhadap Heru Hidayat dalam kasus Asabri, jaksa Kejagung tidak mencantumkan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor merupakan pasal yang mengatur pidana mati bagi terdakwa jika melakukan korupsi dalam keadaan tertentu seperti bencana nasional, krisis moneter, atau pengulangan tindak pidana. Namun, dalam tuntutan, jaksa Kejagung justru menuntut Heru Hidayat dengan pidana mati.
Kresna juga menyayangkan tindakan jaksa yang kembali memaksakan tuduhan kerugian negara dalam kasus Asabri sebesar Rp 22 triliun hanya dengan menghitung uang keluar Asabri periode 2012-2019. Padahal dalam periode tersebut Asabri tidak hanya keluar uang, melainkan juga menerima keuntungan dari penjualan saham.
"Apabila metode penghitungan hanya menghitung uang keluar, tentunya bukan hanya Asabri yang mengalami kerugian, perusahaan seluruh dunia juga akan mengalami kerugian. Oleh karena itu jelas kerugian negara dalam perkara ini tidak tepat," kata Kresna.
Diketahui, Jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung (Kejagung) menuntut terdakwa perkara dugaan korupsi Asabri, Heru Hidayat dengan pidana hukuman mati. Jaksa meyakini Heru terbukti bersama-sama sejumlah pihak lainnya telah melakukan korupsi dalam pengelolaan dana PT Asabri (Persero) yang merugikan keuangan negara sekitar Rp 22,78 triliun.
(mdk/rnd)