Hormati yang tidak berpuasa
Esensi dari berpuasa sejatinya adalah menahan nafsu, menghargai orang lain, dan memupus ego individu atau kelompok.
Esensi dari berpuasa sejatinya adalah menahan nafsu, menghargai orang lain, dan memupus ego individu atau kelompok. Bukan memaksa orang lain yang tidak puasa atau tidak seiman untuk menghormati kita yang sedang berpuasa.
Namun, selama ini kita sangat familiar dengan istilah 'Hormatilah orang yang sedang menjalankan ibadah puasa'. Penghormatannya pun dimaknai dengan berbeda-beda. Misalnya warung-warung makan yang biasa buka di siang hari diharuskan ditutup, atau misalkan dibuka harus ditutup dengan tirai, supaya tidak terlihat orang yang berpuasa.
Mungkin karena alasan ingin mengubah stigma memaknai puasa inilah, Menteri Agama Lukman Hakim Syaifudin beberapa waktu lalu melontarkan kalimat-kalimat yang mungkin dianggap kontroversial lantaran melawan arus: Warung makan tidak perlu tutup selama Ramadan.
Seperti diduga, komentar menteri Jokowi ini langsung kontroversial. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) secara lantang meminta Lukman Hakim untuk minta maaf, sementara tak sedikit tokoh serta masyarakat mengecam. Tapi ada juga yang mendukung pernyataan Menag ini, lantaran puasa sejatinya adalah urusan manusia dengan Tuhannya, sehingga tidak patut memaksa orang lain untuk menghormati yang sedang menjalankan ibadah puasa.
Jika selama ini, umat Islam yang mayoritas di Indonesia sudah kerap 'dihormati', maka sudah saatnyalah penghormatan itu juga diberikan kepada mereka-mereka yang selama ini menghormati bulan Ramadan, meski mereka bukan pemeluk Islam. Kesadaran saling memahami dan menghormati antar-pemeluk agama lebih penting ketimbang sekadar penghormatan terhadap simbol-simbol yang kadang justru memicu kontroversi.
Merdeka.com pada tematik kali ini mengangkat tema menghormati mereka-mereka yang tidak puasa. Selamat membaca.